Menyingkap Kematian Personel KPPS

menyingkap-kematian-personel-kpps

TIDAK ada yang janggal saat Arin, anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), bertugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 10 Kelurahan Maruyung, Kecamatan Limo, Depok, Jawa Barat, 17 April 2019. Tubuh pria berusia 59 tahun tersebut masih terlihat bugar saat melayani warga yang mencoblos hing­ga sore menjelang.

“Sebelum pencoblosan juga masih sehat kondisi bapak saya. Dia masih terlihat semangat saat memasang ten­da di TPS. Tapi, pas tengah malam (23.00 WIB), kondisi bapak saya mulai terlihat lelah dan mulai menge­luh tidak enak badan,” ujar Annur­maniah, putri Arin, saat ditemui detikX di rumahnya pekan lalu.

Saat itu proses perhitungan suara masih berlangsung. Namun, karena kondisi tidak memungkinkan, Arin diantar Annurmaniah pulang, yang kebetulan juga bertugas sebagai anggota KPPS. Setiba di rumah, Arin berpesan kepada Annurmaniah me­nyu­ruh adiknya jadi pengganti.

Keesokan harinya, Arin memerik­sakan diri ke RSUD Depok. Menurut dokter yang memeriksanya saat itu, dia mengalami kelelahan dan disa­rankan berobat jalan. Terhitung sudah tiga kali bolak-balik Arin pergi ke RSUD Depok untuk periksa. Tapi siapa sangka, Jumat, 26 April 2019, Arin mengembuskan napas terakhir.

“Kondisi terakhir Bapak sangat lemah waktu itu. Sampai harus pakai kursi roda. Dokter hanya bilang HB (hemoglobin) Bapak rendah,” ucap Annurmaniah sambil berlinang air mata.

Honor yang diberikan tak seban­ding dengan tugas, yakni Rp500 ribu dan, setelah dipotong pajak, sampai ke tangan Rp470 ribu."

Dikatakan Annurmaniah, sebenar­nya Arin menjadi petugas KPPS sejak 2004, yakni saat pemilihan legislatif dan presiden dipilih secara langsung. Namun, diakui Annur­maniah, pemilu kali ini, yang digelar serentak, me­mang membuat para anggota KPPS harus bekerja lebih keras dari pemilu-pemilu sebelumnya.

Tugas yang berat semakin membe­bani Arin, yang menjabat Ketua RT 01 RW 03, Kelurahan Maruyung. Pa­sal­nya, sebelum hari pencoblosan, dia harus mempersiapkan segala per­leng­kapan untuk TPS, seperti mengurus tenda, mengantar undangan, mengum­pulkan warga untuk jadi anggota KPPS, serta harus bolak-balik ke kelu­rahan memberikan laporan ini dan itu. “Bapak saya itu bukan kali ini saja jadi KPPS. Sebab, bapak jadi RT itu sejak 2003 dan Pemilu 2004 sudah mulai aktif,” jelas Annurmaniah.

Namun, pada Pemilu 2019, yang digelar serentak, pengalaman panjang Arin jadi KPPS ternyata dibuat tidak berdaya. Dengan kotak suara seba­nyak lima buah, proses pencoblosan hingga penghitungan suara pun ber­jalan panjang. Bahkan sampai menje­lang Subuh baru selesai.

Bukan itu saja. Kata Annurmaniah, durasi pencoblosan yang panjang, surat suara yang kurang, serta kesa­lahan peng­hitungan jumlah surat suara se­hingga harus dihitung ulang mem­buat proses semakin panjang dan tegang.

Hal senada dikatakan Ahmad Fauzi, Ketua KPPS TPS 11 Kelurahan Maru­yung, Kecamatan Limo, Depok. Dia mengatakan meninggalnya Arin karena kelelahan akibat proses penco­blosan dan penghitungan suara yang panjang.

“Pak Arin bekerja bukan hanya pas hari pencoblosan saja. Beberapa hari sebelumnya dia sudah sibuk dengan rapat-rapat di kelurahan. Apalagi di RT yang dia pimpin ada dua TPS, yak­ni TPS 10 dan TPS 11. Saya lihat sendiri dia pontang-panting mengurus per­siapan di TPS,” ujar Fauzi saat di­temui detikX secara terpisah.

Masih teringat jelas oleh Fauzi be­tapa sibuknya Arin mencari calon ang­gota KPPS, termasuk dirinya. Bahkan karena tidak ada yang mau, beberapa orang yang dia kenal dekat langsung ditunjuk saja menjadi KPPS. Bahkan Fauzi sempat memprotes saat dirinya langsung ditunjuk menjadi ke­tua KPPS tanpa ada persetujuan darinya.

“Saya nggak mau sebetulnya jadi KPPS, apalagi jadi ketuanya. Nah, mungkin karena tidak ada lagi yang mau, Pak Arin langsung menunjuk sa­ya jadi ketua KPPS sambil membawa SK (surat keputusan). Alasannya, ba­nyak warga yang tidak mau jadi anggota KPPS,” kata Fauzi.

Fauzi cukup maklum terhadap sikap sejumlah warga yang menolak jadi petugas KPPS. Penyebabnya, tugasnya sudah terbayang berat karena pemilu serentak. Ditambah lagi, menurut Fau­zi, honor yang diberikan tidak seban­ding dengan tugas.

Minimnya minat menjadi anggota KPPS membuat persyaratan yang di­atur Peraturan KPU Nomor 32 Tahun 2018 tak sepenuhnya berjalan. Misal­nya tentang syarat sehat jasmani dan rohani yang tertulis dalam poin ketujuh peraturan tersebut. Menurut Fauzi, tanpa tes kesehatan saja, warga banyak yang tidak mau menjadi ang­gota KPPS, apalagi harus dilakukan tes kesehatan.

Masalah lain yang membuat para anggota KPPS lelah, tegang, dan stres adalah minimnya bimbingan teknis (bimtek) yang dilakukan Komisi Pemi­lihan Umum. Gembar-gembor bakal ada bimtek di tiap RW, khususnya di Depok, tidak terwujud.

“Jangankan bimtek, alat peraga saja tidak turun-turun. Alasannya masih ada di KPU. Jadi kita itu bimteknya meramal-ramal saja. Sebab, buku pan­duan baru turun dua hari menje­lang pencoblosan. Ribet pokoknya,” ungkap Fauzi.

Hal yang kurang-lebih sama me­nim­­pa Mangsud (47), anggota KPPS yang beralamat di Jalan Swadaya RT 05 RW 02 Kampung Buaran, Kelu­rahan Paku Jaya, Kecamatan Serpong Utara, Tangerang Selatan. Mangsud meninggal dunia sepuluh hari setelah pencoblosan.

Menurut sang istri, Supriyati, awal­nya suaminya sehat-sehat saja. Me­mang suaminya mengidap penya­kit gula dan pagi hari sebelum pemu­ngutan suara sempat cek gula darah. Namun se­jauh itu normal-normal saja. Mang­sud bersama anggota KPPS lainnya ter­paksa begadang hingga pagi untuk menghitung suara.

Selain karena menghitung banyak surat suara yang memakan waktu, Mang­sud terbebani secara psikologis tidak boleh ada kesalahan sedikit pun dalam rekapitulasi yang rumit itu. Sem­pat ada salah rekapitulasi, sehing­ga penghitungan dimulai dari awal. Terle­bih seluruh proses diawasi oleh saksi, Panwas, dan masyarakat sekitar.

“Masalahnya benar-benar tidak bisa istirahat. Dan selalu ada tuntutan untuk terus dilanjutkan, ada tuntutan dihitung dengan benar, nggak boleh ada kesala­han. Terus ada tekanan dari saksi dan Panwas. Jadi, meskipun tidak ada teka­nan secara langsung, tapi dengan kebe­radaan mereka di TPS, kan secara piki­ran timbul bahwa ‘harus benar, po­koknya harus benar’. Itu tekanannya,” kata Supriyati.

Sudah begadang, Mangsud, yang bekerja di sebuah pabrik cat, langsung masuk kerja sehari pascapemungutan suara. Kondisi Mangsud tambah drop. Tubuhnya layu dan lelah akut. Ia pun dibawa ke rumah sakit. Mangsud me­ngeluh sakit di bagian tulang dan rusuk. Hingga akhirnya pada 27 April malam Mangsud mengalami sesak napas he­bat.

“Saya langsung bangun, buru-buru memapah dia keluar untuk ke klinik. Baru di depan rumah, sambil saya pa­pah jalan, dia bilang, ‘Ma, Papa ng­gak kuat lagi.’ Ya Allah. Saya heran, ini tadi sehat-sehat saja, kenapa lang­sung begini,” ucap Supriyati sambil menangis.

Menurut dokter di klinik, Mangsud didiagnosis terkena serangan jantung. Mangsud lantas dirujuk ke Rumah Sa­kit Omni Alam Sutera, Tangerang. Sem­pat mendapat pertolongan di IGD, kondisi Mangsud berangsur tenang dan membaik. Namun, tak berselang lama, Mangsud meninggal dunia.

Sama seperti Arin, Mangsud sebe­tul­nya sudah dua kali menjadi anggota KPPS. Karena pada dua kali pemilu se­belumnya Mangsud menjadi ketua KPPS, pada Pemilu 2019 ini, ia ber­tugas menjaga tinta. Dan pada pemilu kali ini, tidak diterapkan tes kesehatan sebagai syarat untuk menjadi anggota KPPS.

Dipicu Kelelahan

Dokter Anwar Santoso, SpJP, dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardio­vaskular Indonesia, mengatakan kele­lahan bukan faktor tunggal yang me­nyebabkan kematian. Kelelahan itu bisa memicu meningkatnya risiko terkena serangan jantung bagi orang yang me­miliki penyakit jantung.

Hal yang sama diungkapkan ahli he­matologi dari Universitas Indonesia, Profesor Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM. "Bekerja berlebihan bisa menye­babkan jantung tidak kuat atau menjadi pemicu stroke. Apalagi jika ada riwayat darah tinggi, diabetes, merokok, dan bekerja berhari-hari, bisa saja me­ninggal mendadak," kata Zu­bairi.

Sementara itu, Kementerian Kese­hatan menyebut ada 13 penyakit yang rata-rata diderita anggota KPPS yang meninggal dunia. Penyakit itu antara lain gagal jantung, hipertensi, stroke, asma, gagal ginjal, dan TBC. Ke­men­kes sampai saat ini terus meng­in­ves­tigasi kasus kematian anggota KPPS itu. Hingga saat ini, berdasarkan data KPU, anggota KPPS yang mening­gal dunia mencapai 486 orang dan ribuan lainnya sakit. (dtc)

()

Baca Juga

Rekomendasi