
Oleh: Hidayat Banjar.
beberapa literatur mengatakan bahwa kursi dulunya hanya dimiliki oleh orang-orang berduit. Tidak semua kalangan dapat memilikinya. Bahkan disebutkan juga, kursi diduduki orang-orang tertentu, penguasa, orang-orang kerajaan dan sejenisnya. Sehingga memiliki kursi –ketika itu – berarti memiliki status atau strata tertentu.
Sampai kini pun – meski hampir setiap keluarga telah memilikinya – kursi mempunyai makna tersendiri yang mungkin berbeda dengan meja. Kursi pada titik tertentu adalah simbol status.
Setiap kali berhadapan dengan meja makan, ayah pasti menduduki kursi yang telah ditentukan untuknya. Kami anak-anak tak pernah keberatan duduk di kursi yang juga telah ditentukan untuk kami.
Kepada ayah, bukan tempat duduk saja yang diistimewakan ibu. Piring dan gelas pun diberikan yang berbeda dengan kami. Piring dan gelas ayah jauh lebih besar daripada yang diberikan ibu pada kami.
Ketika di tahun pertama perkuliahan, dosen mengatakan kepada kami bahwa gaya hidup demikian adalah warisan feodal. Memang aku akui, ayah – jika ditarik dari garis keturunan – termasuk ‘darah biru’ juga.
Memasuki tahun kedua perkuliahan, aku beranikan diri bertanya kepada ibu tentang keistimewaan yang diberikannya kepada ayah tersebut, seperti gulai kepala ikan, bila belum dicicipi ayah, niscaya kami anak-anak tak boleh menikmatinya. Pun keistimewaan-keistimewaan lainnya.
“Ayah itu kan kepala rumah tangga. Kalau di dalam negara kerajaan, Ayahmu itu rajanya. Jika di dalam negara republik, ayahmu – di rumah ini – presidennya. Jadi wajarlah kalau ia mendapat porsi yang lebih dari kalian,” ibu memberi keterangan padaku.
Pada awalnya aku tidak sepakat dengan sikap ibu yang menurutku terlalu memanjakan ayah. Namun setelah aku bekerja pada sebuah perusahaan swasta – di tahun ketiga perkuliahan – sadarlah aku bahwa setiap orang punya kursinya masing-masing, punya kedudukan dan tempatnya masing-masing.
Sebagai karyawan baru, aku ‘dipelonco’ oleh senioran. Tiga bulan aku menerima honorarium yang jumlahnya hanya separo dibanding karyawan lama. Setelah itu, barulah aku diberi kursi serta porsi yang sama dengan mereka. Tapi, kursi kami karyawan tentu saja berbeda dengan kepala personalia, begitu juga ruangannya. Staf-staf mendapat tempatnya tersendiri, yang masih juga berbeda dengan kami.
Nah, yang menarik, para staf hampir berebutan mengangkat tas direktur tatkala ia ke luar dari mobil. Ruangan direktur pun tersendiri pula. Lalu, aku pun bertanya dalam hati, apakah ini juga sisa feodalisme? Jawabannya, bisa ‘ya’, bisa juga ‘tidak’, terpulang dari persepsi mana kita memandang. Yang jelas, kami di keluarga sampai sekarang tidak pernah cekcok hanya karena porsi ayah yang berbeda dengan kami. Begitu juga di perusahaan tempatku bekerja, tidak pernah karyawan merisaukan kursinya yang berbeda bentuknya dengan para staf dan direktur.
Saya tidak mengetahui sejak kapan kursi dengan makna leksikal (kamus) ada di dunia. Secara leksikal, makna kursi adalah tempat duduk, yang setiap bangsa memilikinya dengan bentuk berbeda. Kursi di Jepang tentu beda dengan di Amerika, Jerman, atau di Indonesia. Cuma, fungsinya secara umum sama. Sama-sama untuk tempat duduk. Secara struktural, makna kursi dapat berubah menjadi ‘kedudukan’.
Di dalam kehidupan keseharian antara kursi yang bermakna leksikal (denotatif) dengan kursi yang bermakna gramatikal (konotatif) sukar dibedakan. Lihatlah pada acara-acara formal, kursi-kursi yang paling depan biasa sekali berbeda bentuk dan jenisnya dengan kursi pada deretan keempat, kelima dan seterusnya. Di sini, kursi yang berbeda ini, melambangkan status orang yang mendudukinya, jabatan orang yang mendudukinya.
Makna kursi pada titik tertentu beriringan dengan porsi yang diberikan atau didapatkan. Ya, kursi dan porsi dapat dikatakan dua sejoli yang tak dapat dipisahkan. Justru itu, setiap pemilu, ‘kursi’ diperebutkan.
Pada zaman sebelum, lengsernya Presiden Soeharto, kondisi partai dapat diumpamakan Planet Neptunus yang formasinya terdiri dari satu planet besar dengan dua planet kecil. Ke mana pelanet besar bergerak, ke situlah kedua pelanet kecil mengikutinya.
Timbulnya banyak partai – yang jelas-jelas memperebutkan ‘kursi’ untuk mendapatkan porsi – memang merupakan suatu kewajaran. Ketidakwajaran ada pada cara-cara memperoleh kursi tersebut yang terkadang dilakukan dengan politik patgulipat atau petak-umpet.
Perbedaan pendapat sah-sah saja, perebutan kursi pun sah-sah saja. Yang tidak sah itu adalah, jika semuanya dilakukan dengan cara memanipulasi rekapitulasi perhitungan suara, misalnya.
Berbagai upaya dilakukan kedua pasangan kandidat presiden. Ada dengan upaya koalisi kebangsaan, ada pula dengan koalisi rakyat. Harapan kita, janganlah “pertarungan” tersebut menafikan kepentingan yang lebih besar: keutuhan sebuah bangsa. Menjual program adalah sah-sah saja, tetapi menjual nurani dengan cara melakukan pencurian suara di TPS, adalah perbuatan naif. Ini jangan sampai terjadi. Bukankah filsuf mengingatkan fox populi fox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. ***
Penulis adalah peminat masalah sosial budaya tinggal di Medan.