
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
(QS Al-Baqarah: 183)
Ayat ini merupakan ayat ’langganan’ para dai dan daiah ketika mengisi ceramah pada saat Ramadan
Menurut pakar tafsir M. Quraish Shibab dalam Tafsir Al-Misbah juz 1 Allah berbicara tentang memelihara jiwa manusia lewat ajakan mesra untuk berpuasa.
Memang Al-Baqarah 183 ini sering dinamakan ayat puasa, karena memang inilah dalil tentang kewajiban puasa di bulan Ramadan. Ayat puasa ini dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman walau seberat apapun, untuk melaksanakan puasa.
Jadi kalau ada orang yang mengaku dirinya Islam tetapi tidak puasa, berarti imannya perlu dipertanyakan, dan kalau demikian pantaskah ia menyebut dirinya orang Islam? Di sinilah kita bisa melihat mana orang yang beriman dan tidak.
Puasa dalam konteks ini, bukanlah puasa seperti layaknya pasien yang disuruh puasa oleh dokternya, atau para artis yang puasa untuk program dietnya. Tetapi puasa di sinilah adalah puasa dari makan dan minum, meninggalkan yang dilarang Allah serta jangan sampai menghilangkan pahala puasa yang dimulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Terbit fajar merupakan awal dimulainya puasa. Dalam sebuah riwayat dijelaskan mengenai masalah terbit fajar ini.
Sahl bin Sa’ad r.a berkata,” ketika turun ayat kulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khai thul abyadhu minal khaithil aswadi (makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam) dan belum turun kalimat lanjutannya minal fajri, maka orang-orang jika akan berpuasa mengikat di kakinya tali putih dan hitam, kemudian ia tetap makan dan minum sehingga dapat membedakan warna kedua tali itu, lalu Allah menurunkan minal fajri, maka dengan turunnya itu mereka mengerti bahwa yang dimaksud dengan putih, hitam itu ialah siang dan malam.”(HR Bukhari-Muslim)
Di dalam riwayat yang lain, Adi bin Hatim r.a berkata: ”Ketika turun ayat hatta yatabayyana lakumul khai thul abyadhu minal khaithil aswadi, maka saya ambil benang hitam dan benang putih dan aku letakkan keduanya di bantalku, dan tiap bangun aku lihat, maka tetap aku tidak dapat membedakan, hingga pagi hari aku pergi kepada Nabi SAW dan aku beritakan kepadanya, tiba-tiba Nabi SAW bersabda: itu adalah hitam (gelap) malam dan putih (terangnya) siang”. (HR Bukhari-Muslim)
Kata Ashiyam juga artinya menahan diri. Menahan diri pada dasarnya dibutuhkan oleh setiap orang apakah kaya atau miskin, tua atau muda, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit. Hanya orang-orang yang beriman sajalah yang mampu menahan diri dari segala godaan yang datang daripadanya. Kalau godaan dari hal-hal yang haram hal itu sudah biasa, tetapi jika godaannya datang dari hal yang awalnya halal namun ketika puasa menjadi haram, ini sesuatu yang sangat luar biasa.
Karena itu, panggilan untuk melaksanakan puasa tidak ditujukan kepada setiap manusia, tetapi hanya kepada orang-orang yang beriman.
Oleh karena itu, patutkah kita menyebut diri orang yang beriman jika kita tidak berpuasa? Dan kalaupun berpuasa apakah hanya menahan diri dari lapar dan haus saja, atau mampu menahan hal-hal lainnya yang dapat menghilangkan pahala puasa. Kita sendirilah yang tahu akan niat dan keinginan kita.
Ramadan tinggal beberapa hari lagi, mari kita jadikan sisa Ramadan tahun ini untuk selalu melaksanakan perintah Allah yang sangat berguna ini, karena target Ramadan tidak hanya sebatas la’allakum tattaqun (menjadi orang yang bertakwa), tetapi juga menjadi la’allakum tasykurun (menjadi orang yang bersyukur) dan la’allahum yarsyuduun (menjadi orang yang cerdas).
Semoga kita dapat menggapai itu semua. Amiin.