
Oleh: Suadi. Sungai memainkan peran multifungsi dalam siklus keseimbangan alam. Selain menampung air bersih, tempat mencari rezeki bagi nelayan dan habitat ideal berbagai biota air, sungai juga berfungsi sebagai jalur transportasi air. Eksistensi dan fungsi sungai mulai terancam ketika manusia membuang sampah ke dalamnya. Banyaknya sampah yang dibuang menyulap sungai menjadi tong sampah.
Sungai memiliki peran vital menjaga keseimbangan lingkungan. Ketika sungai dikotori oleh sampah, limbah, dan menjadi dangkal, maka hal-hal tersebut merusak keseimbangan ekosistem sungai yang sudah mapan sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Ketika keseimbangan sungai kolaps, maka akan muncul efek domino yang tidak hanya mengobrak-abrik ekosistem di dalamnya, tetapi juga merugikan kehidupan manusia yang tinggal di sekitarnya.
Sungai yang dulunya ramah tamah memberikan kehidupan, kini marah membara dengan memberikan respon horror berupa erosi, longsor, banjir dan membawa berbagai penyakit. Karakter dan rupa sungai benar-benar berubah secara radikal akibat dijadikan tong sampah.
Sungai terus meneror manusia dalam bentuk bencana dan penyakit. Sayangnya, manusia kurang peka atas perubahan rupa dan karakter sungai. Mereka hanya menyalahkan tanpa pernah memperlakukan sungai dengan ramah sebagaimana dulu kala.
Budaya Permisif Buang Sampah
Budaya buang sampah dan buang limbah sembarangan di tanah air sudah dianggap lumrah. Kebiasaan tersebut terlanjur jadi budaya permisif yang mendarah daging. Jangankan sungai yang merupakan alam terbuka, di tempat-tempat seharusnya steril dari sampah seperti tempat ibadah, perkantoran, gedung pemerintah, fasilitas publik dan tempat hajatan pesta, di tiap selesai acara di tempat-tempat tersebut selalu ada sampah berserakan, minimal di bagian halaman. Apalagi di pasar, pinggir jalan, tanah lapang dan warung.
Asumsi sementara, mungkin pikiran sesat mereka sudah ter-setting sedemikian rupa sehingga menganggap bahwa sungai adalah tempat yang mampu mengurai sampah. Padahal faktanya tidak begitu. Sungai tidak bisa mengurai sampah, terutama sampah plastik, kresek dan kaca. Sungai hanya bisa menghanyutkan sampah dari satu tempat ke tempat lain. Semakin banyak sampah dibuang ke sungai, semakin banyak sampah mengambang dan memenuhi dasar sungai. Lambat laun, sungai tersumbat, dangkal, aliran air macet dan akhirnya menciptakan banjir.
Jikapun sampah yang dibuang bersifat organik dan bisa terurai (misalnya limbah sayur mayur, makanan sisa dan sebagainya), tetap memberikan pengaruh buruk kepada komposisi air sungai. Ia mencemari air sungai menjadi keruh, busuk dan menjadi sarang kuman penyakit.
Sungai Jadi Tong Sampah
Sampah-sampah yang dibuang seringkali mejeng memenuhi pinggir sungai, menempel di rerumputan dan semak belukar. Terkadang sampah-sampah juga tersangkut akar pohon, menumpuk di satu tempat sehingga dangkal atau hanyut pindah tempat di bawa arus sungai dari hulu ke hilir atau dari hilir ke hulu. Sampah yang dibuang benar-benar tidak bisa hilang begitu saja. Sampah tersebut malah menempuh perjalanan panjang tanpa tujuan.
Sungai yang dulu jernih dan sedap dipandang mata kini jadi berbau, airnya kehitam-hitaman dan biota-biota di dalamnya perlahan punah. Sampah berbentuk limbah cair baik dari rumah tangga (air sabun, pestisida, air bekas cuci baju dan perkakas) maupun limbah pabrik (termasuk restoran dan hotel), sukses mengubah wujud sungai menjadi tong sampah raksasa yang beracun. Pasalnya limbah cair kimiawi yang dibuang ke sungai bukan sekali dua kali, tetapi teratur tiap menit dan detik.
Tidak percaya? Lihat perumahan warga, restoran-restoran, hotel, gedung-gedung perkantoran dan pabrik-pabrik industri yang berlokasi di dekat sepanjang aliran sungai. Diam-diam mereka memasang pipa untuk mengalirkan sampah dan limbah cair ke sungai. Memang praktis limbah hilang karena larut dalam air. Namun, karena komposisi limbah jauh lebih besar dari debit air sungai maka otomatis turut mengubah air sungai menjadi keruh, bau, jadi sarang penyakit dan banyak biota di dalamnya mati tak mampu beradaptasi dengan zat kimia.
Sanksi Berat
Budaya buang sampah ke aliran sungai akan terus berlanjut sampai hari kiamat. Kenapa begitu? Karena tipikal manusia yang terbiasa berbuat buruk sulit diubah secara drastis menjadi baik. Apalagi yang melakukannya adalah komunitas besar satu kota dan satu bangsa negara.
Meskipun negara aktif dan gencar mendorong masyarakat untuk hidup bersih, tidak buang sampah sembarangan ke sungai, bermunculan aneka organisasi/LSM peduli sungai dan kebijakan rutin negara mengeruk dan membersihkan sungai dari sampah, semua itu ibarat balsam. Hanya bersifat temporal. Sembuh sebentar, kambuh kemudian.
Jalan terbaik adalah menyadarkan masyarakat secara kolektif. Jika tidak sadar juga, maka cara efektif adalah dengan menerapkan sanksi berat bagi siapapun yang buang sampah ke sungai.
Manusia diberi privilege oleh Tuhan berupa akal pikiran yang jadi pembeda tegas dengan makhluk lain. Secara teori, manusia cukup diberi tahu maka akalnya merespon dengan tindakan berhenti buang sampah ke sungai. Namun, aktifitas manusia buang sampah ke sungai secara berulang bisa jadi menegasikan kepemilikan privilege yang diberi Tuhan, ataukah sebenarnya punya tapi tak digunakan dengan baik.
Dalam konteks inilah perlu kiranya sanksi berat untuk terapi menyadarkan tipe manusia seperti itu. Karena kata-kata sudah tidak mempan membuat dirinya sadar.
Banyak negara maju menerapkan sanksi berat bagi orang yang buang sampah sembarangan dengan denda uang jutaan. Seperti Singapura, Jepang dan Jerman. Sanksi di sana tetap ada meskipun negara-negara tersebut maju, masyarakatnya beradab dan terdidik, kesadaran kolektif pelestarian lingkungan tinggi dan melek dampak buruk buang sampah sembarangan.
Sanksi berat yang diterapkan negara untuk memastikan alam bawah sadar rakyatnya komitmen dalam menjaga lingkungan dengan tidak buang sampah sembarangan, termasuk ke sungai.
Di sini pertanyaan menggelitik muncul, perlukah Indonesia membuat kebijakan sanksi berat serupa untuk oknum-oknum yang buang sampah sembarangan, terutama memperlakukan sungai seperti tong sampah?
Pertanyaan semacam itu kembali ke hati nurani pemegang kebijakan: berani membuat gebrakan seperti itu atau tidak. Atau sudah terlanjur nyaman berlumut dalam status quo yang sudah ada. ***
Penulis alumnus UMSU S1 & UNNES S2. Dosen STAIN Mandailing Natal.