Oleh: Ahmad Afandi
Kebanyakan orang menilai Medan merupakan kota yang paling nyaman dijadikan tempat tinggal. Dengan alasan ekonomi, letak geografis, maupun komponen masyarakat sosial lebih menyenangkan. Barangkali hal tersebut memang benar bagi segelintir orang yang hidup berkecukupan untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Mereka memiliki pendapatan lebih untuk memudahkan segala urusan. Jika tak semua orang merasakan bukti dari statement itu, lalu bagaimana dengan nasib mereka yang masih membutuhkan bantuan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup?
Mereka masih memerlukan, bahkan bergantung kepada alam untuk makan. Keberadaan mereka yang masih dalam kategori tersebut masih sangat nyata dan terlihat hidup di kota metropolitan terbesar ke 3 dalam bangsa ini.
Me-repost segala bentuk kegiatan masyarakat di Kota Medan yang masih memprihatinkan, menjelaskan betapa nyatanya kerusakan lingkungan itu. Jika dahulu sungai dijadikan sumber kehidupan bagi sebagian masyarakat, kini tak lagi kita dapati.
Di beberapa sungai di Medan, hanya sedikit orang yang menggantungkan hidupnya dari sungai. Sebab umumnya sungai sudah tercemar, baik dalam kategori normal hingga yang paling parah.
Kalau dulu masyarakat mencuci di sungai, kini mereka rela mengeluarkan uang untuk mencuci pakaiannya di loundry. Bukankah hal sederhana itu membuktikan tercemarnya sungai kita?
Masyarakat pun tak ingin menggadaikan kesehatan karena memanfaatkan sumber alam yang sudah tercemar. Seakan kalimat kita cerdas memilih yang terbaik, namun belum tentu baik dalam melakukan sesuatu bagi sekitar kita dan orang lain. Sekarang, pertanyaannya: Adakah sungai di Kota Medan yang masih asri?
Beberapa Sungai di Kota Medan adalah Sungai Belawan, Badera, Sikambing, Sungai Putih, Babura, Sungai Deli, Sulang-Saling, Sungai Kera, dan Sungai Tuntungan. Pemerintah juga telah membuat kanal besar dengan nama Medan Kanal Timur agar dapat mencegah banjir di beberapa wilayah Kota Medan.
Bagi penulis, sungai di Kota Medan tak ubahnya sebuah waduk yang dipenuhi sampah. Kita bisa melihat langsung tekstur warna, bau dan rasanya. Lalu pencemaran itu bahkan mengelilingi setiap pinggiran di dasar sungai.
Seandainya terjadi banjir, banyak orang menyalahkan masyarakat yang berada di pinggiran sungai. Masyarakat yang membuang sampah sembarangan jelas menjadi penyebab banjir. Karena itu, masyarakat diharap memiliki sikap ramah lingkungan.
Di pemukiman padat penduduk di pinggiran sungai, lalu lintas sering macat akibat banjir. Bahkan air sungai yang sangat bau mengairi rumah penduduk, sehingga berbagai aktivitas terhambat.
Memang umumnya sungai yang ada di Kota Medan sudah tercemar. Sungai Deli misalnya, pencemarannya berasal dari limbah 50 industri yang beroperasi di sepanjang sungai itu, dan penumpukan sampah. Di hilir didapati pencemaran cuprum dan amoniak. Di tengah Sungai Deli ditemukan limbah organik dari rumah tangga dan hotel. Sedang di hulu sungai pencemaran berasal dari proses erosi.
Berdasarkan data Bapedalda Sumut, di sepanjang DAS Deli terdapat 89 saluran pembuangan limbah domestik ke sungai. Di sepanjang sungai 71 kilometer (km) ini terdapat 48 lokasi pembuangan sampah pada bantaran sungai. Sungai Deli mempunyai anak sungai, antara lain Sungai Sikambing, Sungai Babura, Sungai Petani, dan Sungai Simaimai.
Kengganan masyarakat untuk mencuci pakaian di sungai merupakan fakta bahwa pencemaran sungai di Kota Medan sudah sangat mengkhawatirkan.
(Penulis adalah mahasiswa perbankan syariah Universitas Potensi Utama Medan)