
Oleh: Ris Pasha
SEMUA orang tau, termasuk anak zaman milenial, kalau pulau buru itu angker. Angker, karena pernah dijadikan tempat tahanan politik G30S/PKI. Ribuan tahanan politik (tapol) dikonsentrasikan di sana.
Tsi Taura seorang jaksa (insan adhyaksa) yang kerap berpindah-pindah. Dalam malang melintangnya, si jaksa yang penyair ini, tentu pengalaman hidupnya juga sangat luas. Bahkan catatan hidupnya dia tulis dalam catatan hariannya. Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membahas satu persatu puisinya. Saya akan meninjaunya dari sisi lain.
Begitulah suatu saat, si jaksa diperintahkan bertugas ke Maluku Utara. Tepatnya di Ternate. Tentu tak jauh dari Pulau Buru. Banyak cerita berseliweran dalam gendang telinga si penyair. Menurut hemat saya, gema cerita itu membuat Tsi Taura mencatatnya dengan baik.
Tapol, apalagi dari Pulau Buru, pasti kader militan. Setidaknya demikian asumsi orang. Benarkah? Bisa benar, bisa tidak. Di Pulau Buru yang buas dan ganas ini, berkumpul para apol dengan profesi berbeda. Ada eks militer, eks polisi, sastrawan/seniman, politisi, dan sebagainya. Ada yang kader militan, kader setengah militan, bahkan sampai juga berita terbersit, yang tidak tahu apa-apa.
Seorang guru, mantan anggota Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) ikut sebagai tapol di Pulau Buru. Masyumi memang pernah dilarang di Indonesia. Benarkah dia seorang PKI? Lagi-lagi bisa benar, bisa juga tidak. Dia pun ditahan belasan tahun. Bekerja membuka lahan ganas dengan tangan kosong. Tak boleh memakai pisau, parang, bahkan cakul.
Rawa yang penuh ular dan binatang berbisa lainnya, dalam waktu yang cukup lama, tersulap menjadi persawahan yang luas. Hasilnya cukup untuk kebutuhan Provinsi Maluku (waktu itu Maluku masih satu provinsi). Seliweran cerita, terekam dan tercatat baik oleh Tsi Taura.
Tiba saatnya, Tsi Taura berkenalan dengan seorang wanita yang bermental kuat, anak dari tapol yang datang kemudian. Sebagai seorang jaksa, tentu dia memiliki cara sendiri untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Puluhan puisi tentang Pulau Buru, sebelumnya sudah tersimpan belasan tahun dalam catatannya.
Apakah wanita yang dikenalnya itu bernama Marissa? Bisa ya, bisa tidak. Kepiawaian Tsi Taura merangkai kata, membuat pembacanya menelusuri keliaran pikiran Taura.
Ketika Marissa mulai di publis di facebook, saya menyarankan, agar puisi-puisi Marissa bisa ikut diterbitkan dalam satu kumpulan puisi, entah apa judulnya, terserah. Menurut saya 20 judul puisi Marissa yang terpublis di facebook itu, menurut saya adalah sebuah catatan sejarah. Selain itu, Taura ingin menyampaikan keteguhan dan kekuatan seorang wanita. Tegar dan punya prinsip dalam perjuangan hidupnya.
Ada 100 puisi berjudul Marissa sampai Marissa 100 dalam satu buku. Saya terkejut, begitu cepatnya Tsi Taura merajut satu puisi dengan puisi lainnya sampai 100 puisi. Apakah Taura seorang “pabrik” puisi?
Hasil omong-omongnya dengan seseorang dari Pulau Buru membuat memorinya kembali bangkit. Catatan sekian tahun sudah berlalu kembali bangkit. Pulpennya pun indah menari-nari di atas kertas, menulis baris-baris puisi, Marissa.
Tentang buku ini, dalam sebuah pengantar yang ditulis seorang kritikus sastra, Sartika Sari, SS, M. Hum sudah dituliskan dalam buku ini. Bahkan sangat lengkap dan menarik. Sartika meniliknya dari berbagai teori yang dia pelajari dengan baik. Sebagai seorang akademisi, yang dituliskan Sartika dalam pengantarnya, cukup bernas.
Apakah Marissa hanya sebuah nama saja? Bisa iya. Apakah Marissa sebuah simbol? Saya lebih meyakini, Marissa adalah sebuah simbol. Simbol kekuatan, ketegaran, kegigihan, dan pantang menyerah.
Mata batin Tsi Taura mengembara jauh ke Maluku sana. Ke Sungai Waeapo, Lembah Waeapo, Namlea, Pantai Sanleko, Savana Jaya, dan seterusnya. Tsi Taura menggambarkan Marissa yang ringkih tak mungkin kuat menghadapi keadaaanya dan melaluinya. Untuk hidup dan kehidupan memang membutuhkan perjuangan yang tak kenal lelah, membuahkan kemenangan. Apakah semua perempuan di Pulau Buru adalah Marissa yang kuat dan mampu bertahan hidup?
Kalau saya katakan, Marissa 1 sampai 20 adalah kisah seorang perempuan Pulau Buru, selebihnya adalah Marissa yang bisa ada di mana saja. Pada Marissa 29, Taura kembali lagi ke Pulau Buru, setelah meninggalkannya pada Marissa 20. Gejolak kerusuhan yang terjadi di Maluku, nyerempet ke Pulau Buru. Orang-orang eks tapol selalu saja jadi sasaran. Rundung tak pernah berhenti menghempas mereka.
Berjuta wanita (Marissa) ada di mana-mana dengan kekuatan tekad. Mereka tetap melaksanakan tugas dalam kekuatannya. Marissa salat, mengaji, berzikir, tahajut, dan bersalawat serta makrifat. Marissa tetap membawa sajadah. Di atas sajadah itu Marissa melaksanakan zikir dan tahajut pada Sang Khalik.
Dalam kumpulan puisi Marissa itu, puisi-puisi itu, mampu mempermainkan nurani kita. Betapa banyaknya Marissa di Indonesia yang terhempas kandas dengan sejuta derita. Dengan beberapa kosa kata Melayu yang indah dan memukau, Taura menyampaikan yang dirasakan berjuta Marissa.
Bagiku rasa bahasa dalam semua puisi Taura ini, demikian memukau. Kita bisa merasakan Marissa adalah gambaran kedekatan anak mausia dengan Sang Khalik-nya. Adalah gambaran berjuta gambar lainnya.
Ada hal lain yang terlihat saya selami dalam puisi-puisi Taura, terkhusus dalam Marissa ini. Pada syair-syairnya selalu terselip syiar. Dia bersyair untuk syiar dan bersyiar dalam syair.