Ramadan Tanpa Bapak

ramadan-tanpa-bapak

Oleh: Alda Muhsi

Kenangan bersamamu adalah air mata tak bermuara.

LANGHIT bercat kusam ketika aku meratapi gundukan tanah di pemakamam yang telah ditaburi bunga-bunga. Serupa detak dadaku yang berselimut duka. Aku paham keinginanmu mengakhiri usia. Bukan pada kemewahan yang bergelimang. Kau lebih memilih pergi dalam kesunyian. Sebab segalanya tak akan merepotkan. Cukup sudah membuat orang lain sibuk musabab penyakit yang kau derita. Dan kau tahu, aku sangat menyesali cara kepergian itu.

Aku mendapatimu sudah dingin dan kaku di tubuh ranjang bisu yang tak lagi berderit. Napasmu sudah tidak terasa dari tiga sumber berbeda. Kuletakkan telapak tanganku ke dahimu, suhunya tak biasa. Lebih dingin dari kota kita ketika musim hu­jan. Lalu kugeser perlahan ke bawah tenggorokan untuk mencari sisa denyutnya, barangkali masih terselip. Namun, tak kurasa apa-apa.

Tubuhku mulai mengikuti suhu tubuhmu. Aku merasakan dingin yang kiat lekat. Kembali aku mencari denyut nadi se­senti di bawah telapak tanganmu. Namun, hasilnya sama saja. Aku tidak mendapati getaran di sana. Kurasa getarnya berpindah ke jantungku yang berdebar semakin kuat.

Dadamu tak lagi kembang kempis, begitu pula perutmu yang tipis. Aku semakin kehilangan harapan ketika kuangkat jariku dan kuletakkan di antara lubang hidung dan bibirmu. Tidak ada gerakan angin yang mengembus bulu-bulu di jariku. Tidak ada hawa panas yang menghangatkan gigil jemariku. Pada saat itu aku yakin kau telah kembali.

Orang-orang sibuk membereskan meja dan kursi untuk me­nyemayamkan mayatmu. Sementara aku tak dapat melakukan apa-apa. Aku seperti pekerja yang tersetrum tegangan tinggi memandangmu dalam kekosongan.

“Sudah kau telepon semua keluarga?”, sayup-sayup suara tetangga mengalun di telingaku.

Jujur saja, aku tak kuat mengabarkannya. Walau terus ku­coba untuk membendung kesedihan, namun memang tak semudah kata-kata. Tak sebiasa ketika kita menenang­kan orang lain.

“Bagaimana, sudah dikabarkan?”

Aku menggeleng.

“Cepat beri kabar, termasuk saudara yang berada di luar kota agar mereka segera datang. Fardu kifayah harus dilaksanakan secepatnya agar mayat tidak tersiksa.”

Pak, mungkin kau melihat bagaimana kesibukan kami mempersiapkan segalanya. Aku jadi ingat kau pernah bilang inilah ketakutanmu di hari tua. Takut merepotkan banyak orang.

“Bapak sudah tua, gak bisa apa-apa lagi, sebentar lagi juga mati. Tapi ada satu ke­inginan bapak yang belum kesampaian. Ting­gal di sebuah kampung yang asri, punya ke­bun bunga yang segar jauh dari polusi, jauh dari kehidupan kota yang penuh sesak. Bapak ingin menikmati hari tua di wahana itu. Tapi, tak perlu kau pikirkan, bekerja sajalah dengan baik, kejar mimpi dan cita-citamu.”

Mendengar perkataan itu timbul pertaru­ng­an dalam batinku. Aku berpikir inilah satu-satunya kesempatan untuk membaha­gia­kanmu setelah aku gagal membawamu ke tanah suci untuk berangkat haji. Tapi di mana harus kucari uang untuk mewujud­kan­nya, sementara untuk menanggung cicilan motor, biaya tagihan listrik, dan air bulanan saja aku sudah megap.

Ingatan-ingatan lalu yang hanya sebatas lewat kini melekat, dan aku tak bisa melupa­kan detailnya. Bagaimana caramu mengung­kapkannya, bagaimana kekece­waan­mu terhadap hidupmu yang tidak ada artinya, bagaimana kekesalanmu terhadap kelemah­an dirimu bagi keluarga. Kau selalu menge­luh tidak mampu berbuat apa-apa bagi kami. Tentu saja kau salah, ketegaran dan keta­bahan­mu mengakui semuanya menjadi nilai sangat berharga sebagai motivasi agar kami bisa melebihi harapanmu. Tapi sayang, harapan itu belum terlaksana sampai saat ini. Sampai ketika ruhmu berpisah dengan jasad. Dan kupikir itulah sesal kedua yang mengambang di hatiku.

Keinginanmu yang hendak memiliki kebun tidak lantas sirna begitu saja karena aku tidak mampu mewujudkannya. Pelan-pelan kau kumpulkan tanaman-tanaman di pekarangan rumah hingga bermacam-ma­cam jenisnya, mulai dari tanaman hias sam­pai bibit pepohonan. Semuanya kau rawat dan tata sedemikian rupa. Kau memiliki se­macam taman sederhana di pekarangan rumah kita. Tak jarang para tetangga melirik tanaman yang kau rawat dan mereka tertarik untuk membelinya. Tentu saja kau meng­ambil keuntungan untuk membeli lebih banyak tanaman lagi.

Aku ingat bugenvil yang paling kau senangi. Kau bilang bugenvil bisa dijual dengan harga tinggi kalau dalam satu pohon bisa tumbuh bunga beraneka warna. Ya, aku melihat bugenvil yang kau miliki, merah muda, ungu, putih, kuning, dan lainnya ham­pir lengkap sepuluh warna, tapi tidak bersatu dalam pohon yang sama. Kupikir kau akan mencari cara agar sukses melakukannya.

“Merawat bugenvil ini tak terlalu susah, setiap kena hujan dan kena panas bunganya akan muncul sendiri, jadi tidak perlu dipu­puk,” katamu suatu sore ketika kudapati kau tengah asyik menggunting daun-daun kering.

“Kau sudah lihat pohon sawo di pojok sana? Bapak punya dua pokok yang buahnya begitu banyak,” katamu girang.

Aku segera menuju arah ujung telunjuk­mu. Dan memang benar rimbun buahnya tak mampu menopang bebatang pohonnya yang pendek.

“Buahnya manis, nanti kalau sudah ranum boleh kau coba,” serumu kembali.

Ya, tapi sayang belum sempat kita cicipi buahnya kau terserang penyakit ganas yang melumpuhkan dirimu. Kau juga tidak bisa berbicara dengan jelas. Separuh tubuhmu tidak bisa bergerak sesuai kehendak, yang membuatmu jadi malas beraktivitas seperti biasa.

Sejak saat itu pula tamanmu tidak terurus. Aku yang selalu sibuk merasa sangat bersa­lah. Tapi kuharap kau mau memaafkan­ku. Aku tak tahu harus melakukan apa terhadap tanaman-tanaman itu. Kau belum sempat mengajari apa saja yang harus kulakukan untuk menangani semuanya. Padahal aku ingin sekali menjadikan tanaman-tanaman di taman kecilmu sebagai pengingat, paling tidak sebagai sesuatu yang mencitrakan dirimu. Ketika orang-orang datang bertamu mereka merasakan kehadiranmu melalui taman itu. Sehingga kerinduan-kerinduan atasmu sedikit terobati ketika berada di sana. Tapi, lagi-lagi aku gagal mewujudkannya.

Suatu pagi, seminggu sebelum kau dipanggil Tuhan, aku menemukan hal yang aneh di tamanmu. Bugenvil yang sudah lama tak terjamah tiba-tiba mengeluarkan bunga berwarna hitam. Aku memutar ulang percakapan-percakapan kita soal bugenvil, dan rasanya tak pernah kau katakan bugenvil memiliki warna hitam. Kutelusuri kebun-kebun bunga tempat yang biasa kau singgahi, tidak juga kutemukan bugenvil berwarna hitam. Kutanya dengan beberapa tukang kebun kawakan, mereka juga berpendapat sama. Tidak ada yang pernah melihat bugenvil hitam.

“Ah, barangkali jenis baru.”

“Atau terjadi persilangan dengan pohon lain.”

“Barangkali kekeringan karena tak disiram.”

Begitulah beberapa pendapat. Bugenvil hitam itu tentu bukan karena layu. Aku bisa memperhatikannya dengan jelas, warna hitamnya yang pekat sangat identik.

Sejak kemunculannya pertama kali bugenvil hitam selalu muncul hingga sehari sebelum kematianmu. Itu yang kemudian membuatku sadar mungkin bugenvil hitam itu adalah pertanda. Kupikir mereka datang bersama malaikat pencabut nyawa untuk mengakhiri hidupmu.

Ramadan ini menjadi tahun ketiga tanpamu, tapi kali ini benar-benar tanpamu. Dua tahun ke belakang kau ada, namun tak berdaya. Kini kau sungguh-sungguh tiada. Aku tak bisa mengintipmu yang tengah berbaring di kamar. Tidak ada lagi teriakan kerasmu yang tak jelas. Tidak ada juga aroma tubuhmu yang kadang menghilangkan selera makan. Tapi kini segalanya benar-benar kurindukan.

Ramadan selalu punya kisahnya tentangmu. Bagaimana sehatmu diambil kembali oleh Tuhan, dan bagaimana kematian mengantarmu ke depan gerbang Ramadan yang terbuka.

Semasa hidup kau begitu gagah, punya banyak kolega untuk sekadar bercanda maupun berusaha. Tapi setelah jatuh sakit hingga kematian menjemput, kau seolah bukan siapa-siapa. Kematianmu membuat aku sadar bahwa kita lahir dan pulang dalam kesendirian. Dan dengan kematianmu aku jadi paham siapa yang benar-benar mencintaimu dan siapa yang hanya menjadikanmu sebagai hiasan semata.

***

Rintik hujan menyentuh peci hitam yang kukenakan. Aku mendengar suaranya mengetuk kepala, seolah mengisyaratkan agar aku segera pulang. Ya, kurasa aku harus pulang, sudah siapkah Bapak menjawab pertanyaan-pertanyaan Munkar dan Nakir? Sebab terhitung tujuh langkah aku menjauh mereka akan datang. Mereka selalu tepat waktu, tidak seperti kita manusia. Bapak jangan takut karena aku selalu mendoakan sepanjang waktu. Sebab hanya itu yang kini aku punya dan aku bisa.

Medan, Mei 2019

()

Baca Juga

Rekomendasi