
Di sinilah esensi pemilu itu sendiri yaitu menghadirkan atmosfir sejuk, damai dan tertib menggunakan hak pilih individu dalam bingkai kebebasan demokrasi. Meskipun di beberapa tempat baik di TPS domestik maupun luar negeri sempat terjadi sedikit chaos, seperti terjadi di TPS Sydney Australia, namun hal-hal tersebut menjadi catatan dan evaluasi untuk memperbaiki sistem pemilu mendatang yang lebih baik.
Kultur politik dan sikap dewasa Indonesia membangun atmosfer demokrasi patut diapresiasi. Hal tersebut menjadi kredit poin di panggung demokrasi internasional. Dunia internasional memandang reputasi demokrasi Indonesia layak dijadikan panutan.
Sebab, walaupun tensi politik domestik cukup panas, membara dan terkadang sempat membuat retak hubungan sosial pertemanan dan keluarga karena berbeda pilihan politik, namun tidak sampai membuat chaos berujung kekerasan dan konflik berdarah. Di sinilah poin mendasar kenapa demokrasi Indonesia begitu istimewa dan patut jadi panutan negara lain.
Demokrasi Berdarah
Kita akan terkejut bila melihat atmosfir demokrasi di negara lain yang tidak seceria demokrasi Indonesia. Di beberapa negara, pesta demokrasi berakhir chaos dan konflik berdarah.
Di antara negara yang kurang beruntung itu adalah Mesir. Siapa yang tak kenal negeri Mesir dengan marwah intelektual kampus Al-Azhar yang mendunia dan kisah Fir’aun tenggelam di Sungai Nil. Sayangnya demokrasi di Mesir dikekang sistem otoriter Hosni Mubarok dan terjungkal tahun 2011 oleh aksi demonstrasi rakyat di Tahrir Square, Alexandria dan Mansoura yang populer dikenal Arab Spring. Pergolakan itu menyebabkan 846 orang tewas.
Mesir kemudian menggelar pilpres demokratis dan terpillihlah Mohammed Mursi sebagai presiden tahun 2012 dan kemudian malah dikudeta militer Mesir pimpinan Jenderal Abdul Fatah As-Sisi tahun 2013. Bentrok antar pendukung memakan tumbal 42 orang tewas dan 75 orang pendukung Presiden Mohammed Mursi divonis hukuman mati.
Di negeri Turki, atmosfir demokrasi sempat dikebiri dengan kekerasan di mana 5 kali hasil pesta demokrasi dikudeta militer. Di India, Mei 2018 silam juga terseret konflik berdarah skala kecil. Bentrokan antar pendukung kandidat menyebabkan 12 orang meninggal dunia.
Nasib buruk juga menimpa negara Honduras yang terletak di Benua Amerika bagian tengah. Pasca pemilu di negara itu tahun 2017 silam, bentrokan massa dan konflik berdarah antara kubu petahana Juan Orlando Hernandez dan kubu Salvador Nassralla tidak terelakkan. Kejadian tragis tersebut menyebabkan 11 orang tewas dan 15 orang korban luka serius.
Di negara Kenya, konflik pasca pemilu lebih dahsyat. Pemilu yang digelar tahun 2007 di negeri tersebut menyulut konflik berdarah yang menyebabkan 1.300 orang tewas dan 600.000 orang terpaksa mengungsi cari tempat aman. Konflik berdarah tidak bisa dicegah ketika pendukung kontestan pilpres Mwai Kibaki dari Partai Persatuan Nasional Kenya dan Raila Odinga dari Gerakan Demokratis Oranye saling mengklaim menang pemilu.
Sekali lagi, Indonesia pantas bersyukur dan beruntung menjadi negeri yang atmosfir politiknya positif. Sepanas apapun itu, sebenci manapun itu terhadap rival politik, sedendam dan seburuk bagaimanapun menjelekkan dan membuat hoaks, faktanya pesta demokrasi Indonesia tetap ceria, tidak ada chaos, kerusuhan maupun konflik berdarah. Karena rakyat Indonesia sudah dewasa dan sadar bahwa suatu kebodohan kuadrat jika terjadi konflik berdarah gara-gara hasil pemilu tak sesuai ekspektasi.
Negara Demokrasi Terbesar Dunia
Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu 2019 di Indonesia mencapai 196 juta orang. Jumlah tersebut di level dunia adalah nomor tiga setelah India (900 juta orang) dan Amerika Serikat (231 juta orang). Secara jumlah, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Namun, sistem demokrasi Indonesia jauh lebih terbuka dan rakyat berperan langsung menentukan Presiden. Maka tidak heran redaktur khusus Kantor Berita Politik RMOL (Republika Online) Hendra J Kede dalam tulisannya (29/4/2017) menyebut Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia karena rakyat benar-benar menentukan hasil pemilu baik legislatif (DPR/DPD) maupun eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Berbeda sistem demokrasi di India, di mana Presiden dan Perdana Menteri bukan dipilih oleh rakyat secara langsung, namun ditentukan oleh Parlemen (semacam DPR-RI). Sistem demokrasi seperti itu hampir mirip di Malaysia, Belanda, UK dan Australia.
Sementara Sistem Amerika Serikat juga tidak menempatkan rakyat memilih secara langsung presidennya. Presiden ditentukan oleh Electoral College perwakilan dari 51 negara bagian. Maka tidak heran saat Pilpres 2016 di Amerika Serikat kemarin, Hillary Clinton dapat suara 59,8 juta unggul tipis dari Donald Trump yang cuma dapat suara 59,6 juta. Tapi yang dilantik jadi presiden Donald Trump.
Kesimpulannya, sistem demokrasi di Indonesia benar-benar memberikan hak istimewa tiap individu menentukan siapa pemimpinnya untuk lima tahun mendatang.
Sikap Dewasa Berdemokrasi
Pemilu mengajarkan sikap dewasa. Dewasa menentukan sikap dan dewasa menjatuhkan pilihan politik sekaligus berlapang dada menerima apapun itu hasil pemilu. Pemilu selain menjadi sarana menyuarakan aspirasi, juga menjadi panggung menghargai rahasia hak pilih orang lain. Karena muara dari pemilu itu sendiri adalah kontestasi menjaring putra-putri terbaik bangsa untuk membawa negeri ini berlayar ke arah lebih baik.
Memang rivalitas antar kubu sangat mencolok sejak 2014 sampai 2019 baik itu di media televisi, media cetak, media online (internet dan media sosial) sampai media lawas: spanduk, baliho, baju kaos berlabel politik dan selebaran.
Jikapun ada dugaan kecurangan, cukup diproses secara hukum walaupun sampai level tertinggi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan PTUN. Namun tidak sampai berujung chaos dan konflik berdarah. Sekali lagi, Indonesia menegaskan diri sebagai negara demokrasi yang sudah dewasa, berjalan sukses dan patut jadi kiblat demokrasi negara-negara lain.***
Penulis alumnus UMSU S1 & UNNES S2. Dosen STAIN Mandailing Natal.