
Oleh: Rhinto Sustono
BUMI Aceh menyimpan banyak kekayaan alam. Saat demam batu akik menggejala beberapa tahun lalu, akik asal daerah berjuluk Serambi Mekah menjadi buruan para pecinta dan kolektor. Betapa tidak, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) setempat bahkan merinci ada 13 jenis batu mulia yang tersimpan di perut bumi Aceh.
Daerah penyebarannya juga cukup merata, dari wilayah barat, tengah, dan timur. Bebatuan asal Aceh ini memiliki kadar kekerasan mulai 4 mohs - 7 mohs. Ragam jenis akik asli asal Aceh ini, yaitu giok, garnet/idocrase, agate, kalsedon, kristal kuarsa, peridotit, kayu terkersik, opal, obsidian, jasper, chert, dan krisopras.
Ada dua jenis yang menjadi primadonanya, solar dan bio solar. Karena kejernihan warna dan tentu saja semburat serat yang membayang indah di sela-sela bebatuannya, kedua jenis batu yang termasuk golongan sama, yaitu idocrase ini banyak diminati penggemarnya.
Meskipun termasuk jenis yang sama, antara batu solar dan bio solar tetap memiliki perbedaan. Hal mendasar yang menjadi pembeda adalah warna dasar dari kedua batu itu. Untuk batu solar, pada dasarnya didominasi cokelat dengan sedikit bias kehijauan. Tak hanya hijau, banyak juga batu solar yang agak oranye.
Banyak yang mahfum, akik asal Aceh umumnya tergolong jenis idocrase dan kristal. Dinamakan batu solar karena warnanya yang mirip dengan bahan bakar solar yang kuning-kehijauan. Di pasaran, ada pula jenis akik cincau yang juga hampir menyamai akik solar dan bio solar. Ketiganya juga berasal dari Aceh.
Untuk jenis batu solar, biasa terlihat jernih. Jika dipandang tidak ada kapur atau pun lumut yang mungkin menghiasi. Sedangkan pada batu bio solar, warna dasarnya merupakan kebalikan dari batu solar. Warna dasar batu ini biasa dihiasi hijau dengan bias kecokelatan. Batu bio solar juga terkadang mengandung warna agak cokelat.
Keindahan batu solar dan bio solar memang menarik siapa pun, terlebih bagi pecinta dan kolektor akik. Dua jenis batu ini harganya masih terjangkau. Namun untuk kualitas yang baik, saat booming dulunya, di pasaran bisa dibanderol sehargaRp3 jutaan ke atas.
Seiring permintaan yang menurun, harga kedua jenis akik ini kini juga menyesuaikan hokum ekonomi. Begitupun untuk kembali menggairahkan semangat dan kebanggaan memakai produk asli alam tanah air, sebaiknya kita perlu menggas ulang agar pesona akik kembali mengembang.
Model Pilihan
Pesona batu akik memang tidak boleh padam. Apalagi untuk pemakaian di kalangan generasi muda. Tak hanya bagi kaum pria, kalangan hawa juga semestinya sepenuh hati melirik pesona akik dalam negeri untuk dikenakan dalam berbagai kesempatan.
Tren batu akik bisa digairahkan, salah satunya dilokaborasikan sebagai penunjang fashion yang popular di masyarakat. Agar terlihat kekinian, model potongan akik bisa didesain sedemikian rupa melalui ide-ide kreatif.
Tak melulu dijadikan sebagai cincin dengan pengikat yang itu-itu saja. Namun polanya bisa dirubah lebih atraktif dan dinamis. Bahkan untuk dipakai kaum hawa, pengikat cincinnya bisa berbahan dasar emas, perak, titanium, maupun logam mulia lainnya.
Dengan pengikat cincin yang berdesain beragam, akik solar dan bio solar tidak harus ditampilkan dalam sebentuk ukuran besar layaknya dipakai sebagai cincin pria. Namun bisa didesain berdimensi lebih kecil, bentuk polanya juga tidak melulu oval. Akan terlihat manis jika persegi atau bahkan bulat.
Kesan simpel dan elegan justru akan muncul jika dimensi mata cincin kecil ada di jari manis perempuan. Pun bukan hal yang tidak mungkin, tampilan liontin berbahan batu solar dan bio solar menghiasi juntaian perhiasan kalung wanita.
Bros baju dan jilbab muslimah berbahan bebatuan alam Aceh ini juga akan semakin indah jika disepadankan warnanya dengan tampilan pakaian yang dikenakan. Tidak terkecuali dipakai sebagai perhiasan gelang. Mengapa tidak dicoba?