Oleh: War Djamil
IKLAN di dalam media massa. Pendapat publik? Pro-kontra. Sebagian publik mengatakan tiada masalah, bahkan publik juga memerlukan adanya iklan sebagai bagian dari informasi terkait barang dan jasa. Suatu saat butuh produk tertentu, setidaknya sudah ada informasi sebagai gambaran untuk menentukan pilihan atau sebagai pembanding antar produk sejenis.
Sebagian publik lain berpendapat sebaliknya. Sepanjang belum ada rencana membeli barang atau terkait jasa tertentu, ya tidak butuh iklan. Bahkan sebagian kecil dengan ekstrem berkata: “iklan mengganggu” saat menikmati sajian media. Kata mereka, iklan pada lembaran koran telah “mencuri” perhatian untuk menatap iklan yang tidak dibutuhkan saat itu. Atau, ketika asyik nonton film, sinetron maupun tayangan acara khusus, terhenti karena iklan yang akan lewat.
Itulah cerminan sebagian kecil dari pro-kontra publik terhadap iklan. Tak mengherankan pendapat tersebut muncul, karena publik belum mendapat info tentang arti penting iklan bagi media massa serta dari sisi iklan yang butuh media. Publik ini berkomentar dengan pertimbangan dirinya yang berhak menikmati sajian yang diperlukannya, namun agak melupakan hak media itu sendiri.
Iklan bagai urat nadi dalam tubuh media. Publik sangat tahu, iklan yang menghidupi media. Begitupun, iklan tak boleh sombong, karena sajian iklan ditempatkan melalui media massa. Dan, media juga tak boleh sombong, sebab butuh pemasukan untuk biaya operasional atau biaya produksi. Dari sisi ini terbangunlah kerjasama antara media dengan pemasang iklan (baca: = produsen).
Khusus di Indonesia, sebelum tahun 1999 diberlakukan ketentuan perbandingan jumlah iklan berita dengan iklan yakni 60 : 40. Pernah juga berita 70 persen dan iklan maksimal 30 persen. Kini, peraturan itu tak berlaku. Media massa bebas untuk sajian berita dan tayangan iklan. Hal ini serupa dengan harga jual koran misalnya, yang dulu ditetapkan oleh Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), sekarang harga jual bebas.
Namun demikian, tarif iklan pada media juga relatif beda. Termasuk pemberian diskon, seumpama memberikan sekitar 30 persen, tetapi pemasang iklan mendapatkan hingga 40 persen pada media lain. Tarif iklan umum yang tergolong komersial dengan tarif paling tinggi, berikutnya yang lebih rendah yakni kelompok iklan nonkomersial atau juga disebut iklan sosial. Lain lagi, yang lebih murah yaitu iklan baris/singkat/mini. Meski iklan warna tarifnya tiga atau empat kali lipat dari iklan hitam-putih, disebabkan penggunaan tinta warna memang berbiaya tinggi.
Kalau Anda berada di luar negeri tentu akan menikmati iklan dalam jumlah besar. Artinya, koran dengan seratusan halaman, biasanya total lembaran iklannya mencapai 40 persen. Itu biasa. Ketika koran berada pada titik puncak tertinggi sebelum kehadiran internet yang melanda dunia saat ini, sejumlah koran khusus iklan terbit dengan gratis. Publik mendapatkan koran itu dipersimpangan jalan atau di kios-kios koran. Gratis, karena biaya produksi sudah tertutup dan bahkan dengan keuntungan besar.
Meski tiada berita atau tulisan, publik juga mengambil koran ini. Siapa dia ? Pelaku usaha dan sebagian konsumen. Koran ini mereka butuhkan untuk berbagai keperluan. Mungkin memonitor produk barang atau jasa tertentu. Mungkin pula, menyimak sisi pemasaran atau mungkin murni mencari informasi terkait rencana membeli produk barang atau keperluan jasa.
Sajian iklan dalam media massa tentu terikat dengan ketentuan tentang periklanan. Ya, biro-biro reklame sangat memperhatikan peraturan dimaksud. Etika dalam beriklan dengan tujuan agar iklan yang disajikan tidak melahirkan reaksi publik yang berakibat hukum. Untuk itu, kata-kata atau kalimat maupun gambar dalam iklan memang harus taat pada ketentuan tersebut.
Pelanggaran atas ketentuan periklanan dapat berakibat fatal. Bukan saja iklan yang ditayang itu harus dicabut, dibatalkan atau dianggap tidak ada, bukan mustahil dapat berpindah ke ranah hukum. Ini tentu harus dihindari, agar produk tersebut tidak anjlok dalam pemasarannya.
Dalam kehidupan dunia media massa, juga dikenal adanya iklan gratis. Meski dalam jumlah sangat kecil, biasanya untuk kepentingan pemerintah (negara) yang karena tiada biaya khusus tetapi perlu disosialisasikan. Misal, dalam upaya memerangi peredaran narkoba. Atau dalam ikut menggaungkan program Keluarga Berencana (KB) dan lain-lain. Atau, dari pihak swasta yang mengajak warga untuk ambil bagian dalam Gerakan Penghijauan dan sebagainya.
Namun suatu hal yang tetap harus menjadi catatan semua pihak, media massa butuh pendapatan dari iklan. Untuk itu, pemerintah atau pihak swasta hendaknya memasang iklan dengan bayaran tertentu. Kalau banyak iklan gratis, bermakna media merugi dan sukar mempertahankan kesinambungan hidupnya. Dan, khusus bagi koran, laba dari harga jual fisik, tergolong sangat kecil sehingga tak cukup menutupi biaya produksi atau ongkos cetak. Sekali lagi, iklan menjadi faktor penentu dalam kelangsungan hidup media massa.
#