
Oleh: Khaddin
PERKEMBANGAN dan kemajuan zaman membuat kebanyakan masyarakat khususnya di Aceh Utara perlahan mulai terbiasa menggunakan alat-alat modern, baik di bidang pertanian maupun sektor lainnya di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kebiasaan tersebut mengakibatkan alat-alat tradisional yang merupakan warisan turun temurun di tengah masyarakat Aceh, secara perlahan mulai ditinggalkan akibat masyarakat memilih alternatif lain, agar pekerjaan lebih cepat dan memudahkan.
Sebut saja “jingki”, salah satu alat penumbuk tradisional, yang sudah turun-temurun digunakan masyarakat untuk menumbuk padi menjadi beras, menumbuk beras menjadi tepung dan juga menumbuk berbagai biji-bijian lainnya. Alat tradisional ini sudah ditinggalkan seiring munculnya teknologi saat ini.
“Sekarang ini, keberadaan jingki sudah langka, karena mayoritas masyarakat sudah menggunakan tenaga mesin, seperti menggiling padi sebelumnya menggunakan jingki kini pakai pabrik keliling, begitu juga tepung sudah digiling menggunakan mesin,” ujar Nafsiah, warga Gampong Teungoh, Sawang, Aceh Utara saat ditemui Analisa di kediamannya, Kamis (13/6).
Tahun 1980, mayoritas rumah penduduk, terutama rumah dengan arsitektur adat Aceh di desa-desa, memiliki jingki. Alat ini kala musim panen berfungsi untuk menumbuk padi menjadi beras dan membuat tepung untuk kebutuhan membuat kue terutama menjelang Lebaran.
Jingki dibuat menggunakan kayu berkualitas dilengkapi dengan dua batang kayu penyangga di sisi kiri dan kanan, sedangkan bagian depan terdapat lesung (batu semen berlubang), dan kayu bulat yang berfungsi sebagai penumbuk biji-bijian dalam lusung itu.
Di bagian belakang dilengkapi sebuah lubang, sehingga setiap bagian belakang alat ini diinjak ramai-ramai kemudian dijatuhkan langsung menumbuk padi atau beras di dalam lesung.
Kini, lanjut Nafsiah, keberadaan jingki di rumah-rumah warga desa terutama di Aceh Utara sudah menghilang, apalagi rumah arsitektur adat Aceh sudah berubah menjadi rumah beton, otomatis warga sudah tidak menggunakan lagi alat tradisional ini.
“Alat penumbuk tradisional ini terancam tinggal cerita, kalaupun ada yang masih melestarikan hanya beberapa orang saja dari generasi tua. Anak-anak sekarang ini mayoritas sudah tidak mengenal alat tradisional warisan indatu ini,” sebutnya.
Nafsiah punya kisah tersendiri dengan jingki ini, karena semasa kecilnya di Desa Teungoh, Kecamatan Sawang, Aceh Utara, mayoritas masyarakat menggunakan alat tradisional ini menumbuk padi usai dijemur agar menjadi beras.
Begitu juga saat menjelang Lebaran Idulfitri dan Iduladha, mayoritas kaum perempuan terutama ibu rumah tangga bergotong royong menggunakan jingki ini untuk menumbuk beras menjadi tepung untuk kebutuhan membuat kue.
“Dulu kebutuhan tepung untuk membuat kue Lebaran ditumbuk, sedangkan sekarang ini sudah serba mudah dan cepat karena semua kebutuhan tinggal beli di pasar,”cetusnya.
Nafsiah memutuskan melestarikan alat tradisional ini di dekat rumahnya. Baginya, alat ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar sebelum kemunculan pabrik padi keliling dan mesin giling tepung. “Sayang kalau jingki ini tidak dilestarikan, paling tidak sesekali dapat digunakan untuk menumbuk padi dan beras,” pungkasnya.