Meminimalisasi Dampak Polusi Suara

meminimalisasi-dampak-polusi-suara

Oleh: Ali Munir

Menurut Wikipedia, polusi suara adalah gangguan pada lingkungan disebabkan oleh bunyi atau suara yang mengakibatkan ketidaktente­raman makhluk hidup dan lingkungan di sekitarnya. Pen­cemaran bunyi biasanya bersumber dari mesin, he­wan dan manusia yang meng­ganggu aktivitas atau kese­imbangan kehidupan manusia atau hewan.

Pencemaran bunyi yang menimbulkan kebising­an da­pat disebabkan sumber suara yang bergetar. Ge­taran suara mengganggu keseimbangan molekul udara di sekitarnya sehingga molekul-molekul uda­ra ikut bergetar. Getaran sumber ini menyebabkan ter­ja­dinya gelombang rambatan energi mekanis da­lam medium udara. Rambatan ge­lombang di udara ini dikenal sebagai suaru atau bunyi yang dapat me­nimbulkan ganggu­an kenyamanan dan kesehat­an.

WHO membedakan ting­kat polusi udara menjadi tiga bagian. Pertama, polusi yang mulai meng­aki­bat­kan iritasi (gangguan) ringan para pan­ca indra dan tubuh, serta te­lah menimbulkan kerusakan pada eko­sistem lain. Kedua, polusi yang sudah mengaki­bat­kan reaksi fatal pada tubuh dan menyebabkan sakit yang kronis. Ketiga, polusi yang menyebabkan zat-zat pence­marnya demikian besarnya sehingga menimbulkan gang­guan dan sakit atau kematian dalam lingkungan.

Ada beberapa penyebab polusi suara. Pertama, adalah industri. Kebanyakan indus­tri menggunakan mesin-me­sin besar dan peralatan yang mampu menghasilkan sejum­lah besar kebisingan dan mem­produksi suara besar. Ke­bisingan ditimbulkan oleh aktivitas mesin yang diaki­batkan oleh getaran atau ge­sekan, benturan atau ketidak­seimbangan gerakan bagian mesin. Terjadi pada roda gi­gi, batang torsi, piston, fan, bearing, dan lain-lain. Juga di­akibatkan pergerakan uda­ra, gas, dan cairan dalam pro­ses kerja industri, misalnya pada pipa penyalur cairan gas, outlet pipa, gas buang, jet, flare boom, dan lain-lain.

Kedua, adalah pencemaran kota yang buruk. Fe­no­mena ini sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang. Kondisi perumahan yang pa­dat, ada­nya keluarga besar berbagi dalam ruang yang ke­cil dan sempit, adanya pe­rebutan parkir, kemacatan lalu lintas yang menyebabkan bunyi klakson kendaraan saling sahut-sahutan, ada­nya perkelahian kare­na mem­­pe­­rebutkan fasilitas-fasilitas po­kok menye­babkan polusi sua­ra yang da­pat meng­ganggu ling­kungan masyarakat.

Ketiga, adalah adanya ke­giatan sosial. Misalnya pes­ta pernikahan, prosesi pengu­buran jenazah, adanya pub, diskotek, pusat hiburan ma­lam, konser mu­sik, pentas se­ni, kegiatan keagamaan, kam­panye po­­litik, dan lain-lain. Volume suara yang biasanya pe­nuh atau kegiatan hingga tengah malam membuat kon­­disi orang yang hidup di de­katnya berpotensi ter­ganggu sehingga menyebabkan tidur pun kurang nyaman bahkan sulit untuk tidur karena ling­kungan menjadi sangat beri­sik.

Keempat, adalah adanya sarana transportasi. Antara lain kendaraan di jalan raya yang lalu lalang, pe­sawat ter­bang di atas rumah, atau ke­re­ta bawah ta­nah yang meng­hasilkan suara berat. Bentuk gang­guannya adalah kebi­singan yang dapat mengu­rangi ke­mampuan men­de­ngar dengan baik. Bahkan un­tuk sekadar bercakap-ca­kap pun terpaksa dengan sua­ra keras atau berteriak agar dapat didengar oleh lawan bi­cara.

Kelima adalah adanya akti­vitas konstruksi. Ke­giat­an konstruksi seperti pertam­bangan, pem­bangunan jem­ba­tan, bendungan, bangun­an, stasiun, jalan, jalan raya, dan lainnya berlangsung di ham­pir setiap wilayah. Kegiatan konstruksi bahkan ber­lang­sung setiap hari dengan per­alatan konstruksi yang ber­potensi berisik dan menim­bulkan suara kegaduhan. Mi­salnya konstruksi gedung tinggi yang memerlukan pa­ku bumi sebagai fondasi awal, tentu menimbulkan den­tuman suara yang meme­kakkan telinga bagi yang ber­ada di dekatnya.

Keenam adalah pekerjaan rumah tangga. Se­bagian be­sar pekerjaan di rumah diban­tu dan di­lengkapi oleh per­alatan elektronik. Meski alat ini me­rupakan kontributor kecil terkait polusi suara, na­­mun intensitas suara yang se­ring dalam ruangan kecil ber­potensi memberikan dampak yang serius. Ke­bisingan da­lam ruangan sempit bisa me­me­kakkan telinga, apalagi ka­lau dihasilkan setiap hari.

Pencemaran bunyi dapat menyebabkan berbagai gang­guan, seperti gangguan fisio­logis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian. Ada yang meng­go­longkan gangguannya beru­pa gang­guan auditory, misal­nya gangguan terhadap pen­de­ngaran, dan gangguan non auditory seperti ganggu­an ko­munikasi, ancaman bahaya keselamatan, menurunnya per­forma kerja, stres dan ke­le­lahan.

Upaya Minimalisasi

Polusi suara telah menjadi keniscayaan di tengah laju per­kembangan zaman dan pesatnya pemba­ngunan. Po­lu­si suara masih sulit untuk benar-benar dihilangkan dari sebuah lingkungan hidup. Na­mun ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk me­minimalisasi dampak po­lusi udara agar kese­hatan ling­kungan sekitar dapat ter­jaga.

Pertama, melalui budaya toleransi dan kearifan lokal. Kasus pengeras suara (toa) masjid menjadi pembelajaran dilematis yang mesti dicari jalan keluar terbaiknya. P

ada daerah tertentu yang rawan kon­flik dan beragam latar be­lakang agama war­ganya perlu kearifan dan musyawa­rah bersama. Ma­sing-masing individu dan komunitas pen­ting untuk mampu mengukur dampak suara atas penye­leng­garaan kegiatan ibadah­nya bagi lingkungan sekitar. Menghilangkan ego dan le­bih mengutamakan kepen­ting­an orang banyak demi men­jaga toleransi antar sesa­ma.

Kedua, melalui pendidik­an karakter. Pendidikan da­pat membangun karakter etis, memberikan pe­nyadaran ser­ta membentuk sifat positif terhadap lingkungan sekitar.

Melalui pendidikan masya­ra­kat semakin memiliki kesa­daran terhadap alam sekitar terutama dari hal-hal yang sa­ngat kecil, misalnya mem­buang sampah pada tempat­nya. Me­lalui pendidikan me­reka dapat mengetahui ber­ba­gai pencemaran alam dari segi efek-efek negatif terha­­dap lingkungan dan manusia.

Ketiga, mengoptimalkan penggunaan alat pere­dam sua­ra. Bangunan yang berpo­tensi menim­bulkan suara bi­sing penting mengikuti stan­dar ran­cangan bangunan per­edam kebisingan yang dike­luarkan oleh Direktur Jende­ral Bina Marga (1999).

Keempat, dengan trans­for­masi pengetahuan. Transfor­masi ini penting dilakukan secara masif ke­pada publik terkait penyebab dan dampak pen­cemaran suara terhadap lingkungan dan manusia.

Kelima, Pemerintah harus berperan dalam membuat hu­kum untuk melindungi alam sekitar. Pengawasan oleh pe­jabat lingkungan perlu di­ting­kat­kan. Pengusaha pabrik harus mendapatkan pengeta­huan tentang berbagai bentuk pencemaran dan dampaknya terhadap lingkungan sebelum memulai operasi pabriknya.

Sehingga pemilik pabrik dapat memasang alat pere­dam suara dalam setiap pro­duknya sehingga ke­bisingan dapat diminimalisir, teruta­ma untuk pabrik kendaraan. Pab­rik kendaraan perlu memi­kir­kan produksi kendaraan yang mesinnya lebih senyap dan ramah lingkungan.

Keenam, melalui keterpa­duan antar pihak. Pengelo­la­an polusi suara mesti disadari semua pihak sebagai tang­gung jawab bersama. Peme­rin­tah dapat bertindak seba­gai regulator sekaligus fasi­li­tator. Pengelolaan polusi suara dilakukan guna memi­nimalisasi risiko dampaknya. Pencegahan perlu dipriori­tas­kan daripada penanganan pasca kejadian. Indikator ke­berhasilan pengelolaan ada­lah terbentuknya lingkungan yang nyaman, sehat dan da­mai.

Selain itu, masyarakat ju­ga harus memperhatikan alat-alat yang dapat menim­bulkan kebisingan. karena de­lapan puluh persen penye­bab pencemaran suara ini da­tangnya dari manusia sendi­ri. Terutama peralatan rumah tangga, seperti tidak terlalu ba­nyak memakai alat elek­tro­nik yang menimbulkan sua­ra bising, tidak berteriak dalam berbicara atau tidak mendengarkan musik dengan earphone dengan sangat ke­ras.

Karena secara tidak lang­sung hal itu bisa mengurangi kelelahan otak dalam mende­ngar.

()

Baca Juga

Rekomendasi