
Oleh: J Anto
PASANGAN peneliti Cut Rizlani Kholibrina dan Aswandi Anas dari Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2HK) Aek Nauli, Simalungun, berhasil menciptakan tobarium parfum dengan memanfaatkan minyak kemenyan toba diramu atsiri flora hutan. Sebuah inovasi agar harum kemenyan Toba sebagai komoditas ekonomi bertahan melintasi perjalanan waktu panjang.
Pada 2015 saat tengah mengisi liburan di Singapura, Cut Rizlani Kholibrina tak melupakan kegemarannya berburu parfum. Ia memang penyuka dan kolektor parfum. Saat di gerai sebuah mal ada pesta diskon parfum, ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Alumni program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB Bogor 2005 ini lalu membeli sebotol parfum. Harganya lumayan menguras isi dompet. Tak soal baginya. Kata Cut Rizlani, begitu mencium aroma parfum itu, ia langsung jatuh cinta. Namun ada yang membuatnya kaget saat mengamati botol parfum itu. Bukan ukuran botol yang kecil, tapi saat matanya tertumbuk pada tulisan styrax pada komposisi parfum.
“Wah, parfum ini mengunakan kemenyan,” tuturnya. Ia pun lalu memerlihatkan parfum itu kepada Aswandi Anas, suaminya. Sebuah inspirasi lalu lahir seketika itu juga. Kenapa tidak membuat parfum dari kemenyan toba?
Sejak 2011, Cut Rizlani dan Aswandi Anas memang akrab dengan dunia kemenyan. Di kalangan petani yang ada di sekitar dataran tinggi Danau Toba, kemenyan populer disebut haminjon. Keduanya ahli silvikultur teknologi budidaya hutan.
Kemenyan Toba atau styrax sumatrana tumbuh di Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Tapanuli Utara dan Samosir. Ada tujuh jenis pohon kemenyan, namun yang banyak dibudidayakan petani adalah kemenyan toba dan kemenyan durame (sytrax benzoin). Kedua jenis pohon kemenyan itu memiliki kualitas getah yang lebih padat dan jernih sehing harga jualnya relatif lebih mahal.
Selama ratusan tahun kemenyan dari Sumatera Utara ini telah jadi sumber penghidupan utama petani. Kemenyan bahkan telah jadi salah satu jenis barang rempah-rempah yang paling dicari para pedagang dari berbagai negara ribuan tahun silam. Kemenyan dicari untuk bahan obat-obatan, juga untuk ritual religi.
Mengutip Daniel Perret dalam bukunya Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (2010), para pedagang dari Tiongkok misalnya disebut telah mengenal kemenyan di bagian utara Sumatera awal abad ke-6 M. Di Tiongkok kemenyan digunakan para tabib untuk pratik pengobatan.
William Marsden yang menulis History of Sumatra, 1783, menyebut kapur barus dan kemenyan sebagai komoditas berharga di Pulau Sumatera. Marsden menjelaskan, kemenyan yang telah diolah dikirim ke Eropa dan Arab sebagai bahan pelengkap acara ritual, ekspektoran (mengeluarkan dahak), dan pembuatan balsem yang terkenal dengan nama turlington dan untuk obat (Marsden, 1999:105).
Namun seiring waktu, kejayaan kemenyan makin memudar. Produksi getah kemenyan petani makin menurun dari waktu ke waktu. Menurut Cut Rizlani, penurunan itu cukup signifikan hingga 1.440 ton/hektar dalam empat tahun terakhir. Luas hutan kemenyan juga setali tiga uang. Jika pada 1990 masih 21.119 hektar, pada 2008 tinggal 16.359 hektar. Produktivitas setiap pohon menghasilkan getah kemenyan per tahun kini rata-rata tinggal 0,5 kg – 0 ,75 kg. Padahal hasil penelitian menyebutkan pohon kemenyan unggul bisa memproduksi getah kemenyan 2 kg per tahun.
Rendahnya tingkat produktivitas itu terkait usia pohon yang rata-rata sudah tua, sementara regenerasi terbilang lambat karena mengandalkan secara alami.
“Sama seperti usia manusia, produktivitas kerja saat usia 20 tahun tentu beda saat berusia 60 tahun,” ujarnya membuat analogi. Cut Rizlani dan Aswandi Anas ditemui di Galeri Lebah di Kawasan BP2LHK Aek Nauli, Simalungun, Selasa (14/5).
Menurur Aswandi, konflik petani kemenyan dengan perusahaan pemilik HTI makin menambah runyam. Belum lagi harga kemenyan yang fluktuatif. Kadang 1 kg dihargai Rp200 ribu, kadang Rp 300 ribu. Padahal di pasar internasional, harga kemenyan relatif stabil.
Bertubi menghadapi masalah, banyak petani lalu memilih menebang pohon kemenyan mereka dan mengganti dengan tanaman kopi atau sawit. Situasi ini membuat mereka prihatin. Jika tidak ada keberpihakan serius dari para pemangku kepentingan, bukan mustahil harum kemenyan toba dan durame suatu saat tak lagi tercium. Itu sebabnya, sebagai peneliti mereka tergerak untuk mencari bibit pohon kemenyan unggul.
Bibit Unggul
“Saya awalnya memang hanya bermaksud mencari bibit unggul kemenyan untuk dibudidayakan di Aek Nauli, lalu hasilnya dimanfaatkan petani untuk memertahankan usaha kemenyan mereka,” tutur Cut Rizlani. Selama 3 tahun, pasangan suami-isteri ini keluar-masuk hutan bertemu dan berdialog dengan petani. Mereka juga meminta petani menunjukkan pohon yang paling banyak menghasilkan getah kemenyannya.
Semua pohon ditandai, dicatat secara berkala hasil getahnya. Getah kemenyan umumnya dipanen 4 – 6 bulan sekali. Dari hasil observasi, mereka lalu memilih beberapa pohon sebagai pohon induk untuk dibudidayakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli. Budidaya itu dilakukan lewat teknik silvikultur.
Kini pohon-pohon kemenyan itu telah berusia 3 tahun. Namun menurut Aswandi, besar pohon kemenyan tersebut sudah seperti pohon usia 5 tahun. Di tengah usaha pemuliaan bibit unggul pohon kemenyan itulah, Cut Rizlani menggagas pengembangan parfum kemenyan. Hilirisasi getah kemenyan menjadi parfum itu diyakini kelak mampu memperbaiki ekonomi petani kemenyan.
Meski perempuan kelahiran Tapaktuan itu bukan ahli pembuat parfum, namun tak lama sepulang dari liburan di Singapura, ia langsung melakukan reksperimen meramu parfum. Tentu sebelumnya ia telah berkonsultasi dengan beberapa ahli kimia. Ia juga ‘melahap’ saejumlah referensi, termasuk booklet yang dibawa dari Singapura.
Ia juga membeli kemenyan dari petani untuk didestilasi jadi minyak kemenyan, termasuk menyuling beberapa flora hutan untuk dijadikan minyak atsiri. Setelah itu mulailah Cut Rizlani meramunya menjadi parfum.
Indera Penciuman
“Untuk mendapatkan aroma parfum, saya hanya mengandalkan indera penciuman saja. Sangat subjektif saya akui,” tuturnya. Ia juga memanfaat Aswandi sebagai tester. Saat parfum hasil racikannya diperkenalkan ke teman-temannya di kantor, komentar mereka beragam. “Wah aroma apa ini? Seperti minyak telon”, “Enggak enak aromanya”, bahkan ada yang bilang “Seperti bau minyak setan”.
Alumni IPB jurusan Manajemen Kehutanan 2002 itu sempat 4 bulan frustrasi mendengar komentar-komentar itu. Tapi ia tak putus asa. Ia terus melakukan berbagai eksperimen untuk mendapat aroma parfum yang enak. Saking banyaknya eksperimen, ia harus berkali menghirup bubuk kopi untuk menetralkan indera penciumannya.
Butuh waktu 2 tahun baginya untuk mendapat formula aroma yang cocok. Puncaknya terjadi saat malam hari. Dalam kegundahannya, berdoa, meminta pertolongan kepada Tuhan. Usai salat, dalam keheningan malam, ia lalu melakukan eksperimen lagi. Setelah selesai, suaminya yang masih tertidur, ia bangunkan. Dalam keadaan belum sepenuhnya sadar, Aswandi diminta mencium aroma parfum hasil racikan terbarunya.
“Wah, ini enak aromanya,” ujar suaminya,
Cut Rizlani girang, karena baru kali ini suaminya memberi komentar seperti itu. Ia lalu mencatat formula itu. Begitu seterusnya, hinggga saat ini telah ditemukan 7 varian aroma parfum, yaitu rizla (floral fresh), riedh@ (floral fruit), jeumpa (cempaka), azwa (Woody), aphis (green oceanic), tiara (oriental), dan sylvia (forest).
Saat manajer sebuah BUMN dan rombongan berkunjung ke BP2LHK Aek Nauli, Cut memberikan sampel parfumnya ke isteri sang manajer. “Wah ini enak aromanya. Ini pasti mengandung unsur kayu.” Komentar isteri manajer BUMN itu membuatnya senang. Hanya seorang penyuka parfum yang mengenali aroma minyak atsiri flora hutan.
Kali lain saat ia ke hutan dan berjumpa seorang petani kemenyan yang baru pulang dari ladangnya, ia lalu meneteskan parfum racikannya ke tangan si petani. “Oh ini wangi kemenyan,” ujar si petani.
Kini Cut Rizlani telah mampu memproduksi 1.000 botol parfum dalam ukuran 6 ml, 15 ml, dan 25 ml. Nama tobarium parfum diberikan oleh Kepala BP2LHK Aek Nauli, Pratiara. Untuk pemasaran, saat ini tobarium parfum selain dikelola Koperasi BP2LHK Aek Nauli, juga dijual secara online lewat media sosial. Sebotol ukuran 6 ml dibandrol Rp 40 ribu, sementara untuk ukuran 15 ml harganya Rp125 ribu.
Lebih Tahan Lama
Tobarium parfum diklaim memiliki sejumlah kelebihan. Pertama tidak mengandung unsur alkohol sebagaimana biasa digunakan parfum. Sifat alkohol menurutnya mudah menguap sehingga aroma parfum cepat hilang. Sebaliknya minyak kemenyan pada tobarium parfum membuat aroma parfum lebih tahan lama.
“Konsentrasi parfum alkohol biasanya hanya 30-35%, sehingga umumnya hanya tahan selama 7 jam. Sedangkan parfum kemenyan memiliki konsentrasi sebesar 60-70%, sehingga parfum ini akan tahan 2 – 3 hari jika dioleskan di baju dan bertahan selama 1 hari jika disemprotkan pada tubuh,” ujar Cut Rizlani.
Minyak kemenyan juga mampu mengikat 3 – 4 kali lebih kuat aroma parfum. Jika minyak kemenyan dicampur dengan aroma bunga, maka aroma bunga itu akan naik 5 kali. Sebotol parfum itu bisa memiliki 7 aroma berbeda. Tiap aroma yang berasal dari minyak atsiri diikat dan dikuatkan minyak kemenyan sehingga tidak bercampur.
“Karena itu dalam 2 – 3 jam setelah disemprot ke tubuh, bisa muncul aroma parfum yang berbeda-beda,” tambah Aswandi. Kelebihan lainnya adalah aroma parfum kemenyan mampu memberi relaksasi pada syaraf otak.
Tobarium parfum kini telah jadi satu dari 20 Produk Unggulan Iptek (PUI) 2019 dari Kementrian Riset dan Teknologi untuk Pengelolaan Hutan Tropis Dataran Tinggi. Pada Juni 2019, parfum kemenyan dari BP2LHK Aek Nauli ini akan dipamerkan pada ajang Indonesia Inovasion Day di Jerman
“Jika ada investor asing yang tertarik untuk berinvestasi memproduksi tobarium parfum, kita memberi syarat pabriknya harus dibangun di wilayah Toba untuk menjamin kesejahteraan petani kemenyan,” kata Cut Rizlani.
Sebuah syarat yang logis dan jelas bukan neko-neko. Tapi semua itu untuk menjamin agar kelak, harum kemenyan toba tetap tercium di kalangan petani haminjon.