Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) Haru Koesmahargyo saat dihubungi, memandang kenaikan peringkat kredit dari lembaga pemeringkat terkemuka dunia, Standard and Poor’s (S&P), dua pekan lalu bisa menjadi “modal” agar BI tidak perlu terlalu khawatir arus modal keluar jika ingin menurunkan suku bunga acuan dari tingkat enam persen seperti saat ini.“Dan ada kemungkinan The Fed (Bank Sentral AS) akan menurunkan suku bunga. BI pun akan mengikuti,” ujar Haru di Jakarta, Rabu (19/6).
Direktur Strategi, Risiko dan Kepatuhan PT Bank Tabungan Negara (BTN) Mahelan Prabantarikso mengatakan sumber ketidakpastian dari ekonomi global saat ini memang sedang mereda, seperti perang dagang antara AS dan China. Aliran masuk modal asing juga masih deras karena kenaikan peringkat kredit Indonesia dari S&P. “Kenaikan 25 basis poin (0,25 persen) sudah cukup,” ujar dia.
Penurunan suku bunga acuan BI, lanjut Mahelan, akan menjadi pendorong bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga simpanan. Dengan begitu biaya dana (cost of fund) perbankan akan menurun. Bank Indonesia akan menggelar RDG untuk menentukan arah kebijakan ke depan pada 19-20 Juni 2019.
Otoritas moneter menetapkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar enam persen sejak rapat dewan gubernur pada November 2018.
Hal itu dilakukan setelah sebelumnya BI secara agresif menaikkan suku bunga acuan hingga 175 basis poin (1,75 persen) dalam lima kali kenaikan menjadi enam persen, untuk menangkal keluarnya modal asing dan menjaga stabilitas nilai tukar.
Kecil kemungkinan
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai kecil kemungkinan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar enam persen pada Rapat Dewan Gubernur, karena mendesaknya kebutuhan sektor riil untuk mendapat keringanan pembiayaan, guna melakukan ekspansi dalam menggerakkan roda perekonomian.
Selain itu, kata Bhima , bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (Fed) juga kemungkinan besar akan memangkas suku bunga acuannya untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi "Paman Sam" yang sejauh ini belum sesuai ekspektasi."Selama satu tahun terakhir BI sudah pro stabilitas dengan naikan bunga acuan. Sekarang saatnya pro sektor riil. Dengan bunga yg lebih rendah, biaya peminjaman sektor usaha akan lebih ringan karena nyatanya masih mahal," ujar peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu.
Selama satu tahun terakhir, BI memang bersikap hawkish atau cenderung ke pengetatan, dengan menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate hingga 1,75 persen ke level enam persen saat ini.
Hal itu dilakukan untuk membendung pembalikan arus modal asing karena ketidakpastian pasar keuangan global meningkat sepanjang 2018, yang membuat investor cenderung memilih instrumen keuangan di negara yang risikonya lebih kecil.
Namun hal yang akan menjadi pertimbangan kuat bagi BI pada penentuan kebijakan Kamis (20/6) esok adalah ketahanan eksternal. Bhima mengamini jika bank sentral memangkas suku bunga acuan dari level enam persen meski akan ada risiko bagi Indonesia terkait keluarnya modal asing.
Hal itu karena karena imbal hasil obligasi pemerintah RI akan menurun dan selisihnya semakin sempit dengan instrumen keuangan di negara-negara lain yang dari sisi risiko lebih aman."Namun jika melihat perkiraan The Fed yg akan pangkas bunga di Pertemuan The Fed Juni ini. BI juga diperkirakan turunkan bunga acuan," ujar Bhima. (Ant)