Oleh Azmi TS. KOTA dalam pandangan seniman seni rupa tak selalu sama dengan pendapat awam. Realitas suatu kota besar pastilah fenomenanya adalah gemerlap, lalu lintas macet dalam deretan panjang. Pemukiman nan padat yang dihuni berbagai lapisan masyarakat mulai kelas bawah, hingga kaum berduit.
Bertumpuknya bangunan gedung tinggi mencakar langit, hingga yang biasa adalah pemandangan yang lazim. Suasana makin bertambah ramai saat jam kerja berdetak, lalu-lalang pejalan kaki, memadati ruang yang tersisa. Coba kita sejenak mengalihkan suasana ibu kota tadi dalam rekaan para pelukis Ivan Haryanto dan Dede Eri Supria.
Kedua pelukis yang sudah sering melukiskan suasana kota besar bukan seperti apa adanya, melainkan mengajak kita larut dalam ruang imajiner. Tak terbayangkan kota rekaan dua seniman ini, mempermainkan imajinasi semata, melainkan mengarah kontroversi. Kepekaan kedua seniman ini memang pandai menuangkan ide-ide yang belum terbayangkan sama sekali oleh publik.
Ketajaman intuisi ditambah kepekaannya dalam merekam setiap dinamika perkembangan sebuah kota besar sungguh luar biasa. Seniman bisa saja melukiskan kota yang super sibuk, tetapi di buat sepi, tanpa lalulalang dan kesibukan orang-orang. Bahkan seorang Ivan Haryanto memang sengaja, menghilangkan orang-orang tersebut.
Gambaran kotapun terasa aneh kitapun dibuat penasaran realita kota bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya. Begitu pula Dede selalu melukiskan kota dengan menempatkan seorang di tengah-tengah himpitan gedung-gedung. Teknik yang digunakannya dengan cara menggabungkan beberapa fotografi, disusun sedemikian rupa.
Teknik melukis dengan fotografi ini adalah kekuatan yang menjadikan kedua pelukis sebagai seniman papan atas hingga kini. Karya lukisan mereka bisa dikategorikan kreasi unik gabungan teknik konvensional dengan menyeting dari fotografi. Kemajuan teknologi digital saat ini sebetulnya sudah mudah dilakukan oleh non seniman, asal sudah menguasai aplikasi.
Menurut keduanya tetap meyakini karya orisinal tangan lebih merasa percaya diri, ketimbang mengutak-atik komputer. Berburu objek mereka tetap saja disuplai dari hasil jepretan foto, tetapi untuk proses sketsa hingga selesai, dikerjakan di studio.
Pencahayaan dan kesulitan menempatkan objek yang rumit adalah tantangan buat mereka. Hal inilah yang membuat mereka masih yakin bahwa kemampuan olahan rasa belum bisa tergantikan sekalipun oleh mesin canggih. Belum lagi meramu warna agar tetap menunjukkan kekuatan lebih, dari sebuah lukisan adalah hal yang tak kalah penting.
Kesan bertentangan dalam hal pengarapan objek dan persepektif oleh mereka berdua, menunjukkan tetang lanskap kota. Jadi kota rekaan yang sengaja dilukis untuk membuktikan kota besar tak selalu sama dalam penafsiran. Pandangan publik, para tokoh politik, penyair, hingga kritikus tentang lanskap kota bisa berbeda.
Mungkin saja ada kesan lain ketika melihat lukisan imajiner kota ala seniman seperti Ivan dan Dede. Rekaan imajiner itu dalam visualnya bisa ada pada keadaan sesungguhnya di masa yang akan datang. Rekaan imajiner lanskap kota ini, sebuah kegamangan atau bentuk peringatan mereka semata-mata. Siapapun memaklumi bahwa kemajuan kota besar berdampak kepada strata kehidupan sosial, itulah realitas yang dihadapi.