Pameran Lukisan Chryshnanda Dwi Laksana;

Potensi Tersembunyi di Tengah Masyarakat Harmoni

potensi-tersembunyi-di-tengah-masyarakat-harmoni

Oleh Dr. Agus Priyatno, M.Sn. PAMERAN lukisan merespons kondisi terkini masyarakat, diselenggarakan 20-29 Mei 2019 di Galeri Cipta I Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Tema pameran, “Rukun”. Sebuah kondisi masyarakat yang diharapkan oleh pelukis yang memamerkan karya-karyanya. Konsep pamerannya berangkat dari kondisi masyarakat yang rukun berubah menjadi anarki. Bahkan chaos ketika ada elipobus (elit politik busuk) berpolitik secara tidak etis dan tidak bermoral.

Elipobus tidak bersikap kesatria menerima kekalahan, berusaha menjadi penguasa dengan segala cara. Masyarakat yang hidup damai, menyim­ pan potensi berbahaya tersembunyi di dalamnya.

Setelah selesai pencoblosan Pemilu 17 April 2019,  dalam suasana aman dan damai, masyarakat menunggu hasilnya. Sebagian besar masyarakat menerima apa pun hasil dari pemilu berbiaya triliunan rupiah ini. Di luar dugaan, suasana damai menjadi memanas di masyarakat.

Mulai bertebaran berita-berita palsu atau hoaks di media sosial, saling serang melalui media. Dunia politik sarat dengan banyak kepentingan. Ada kepentingan negara, kelompok, dan individu. Di luar itu ada kepentingan global, kepentingan bangsa-bangsa lain.

Dunia politik menjadi perebutan berbagai kalangan karena ujungnya adalah kekuasaan. Muaranya kesejahteraan, prestise, dan kehormatan. Dunia politik diperebutkan dengan banyak cara, dari cara terhormat, hingga penuh tipu daya.

Di negeri ini politik adalah sarana untuk mengua­sai sebuah negara bernama Indonesia. Wilayahnya luas dengan sumber daya alam kaya raya. Politik digunakan untuk berkuasa terhadap penduduknya yang berjumlah banyak dengan aneka budaya.

Sebuah wilayah dengan daya tarik luar biasa. Sejarah menunjukkan, karena begitu menariknya wilayah ini banyak bangsa ingin menguasainya. Dari bangsa Eropa, Jepang, hingga kekaisaran Tiongkok pernah berupaya menjadikan wilayah ini menjadi kekuasaan mereka.

Negeri yang didirikan dengan banyak pengorban­an jiwa, penuh pertumpahan darah dalam setiap pergantian penguasanya. Dari zaman kolonial hingga merdeka, pergantian kekuasaan diiringi dengan pertikaian sesama bangsa.

Pemilu yang baru saja terselenggara bukannya menjadi instrumen demokrasi untuk memperoleh kekuasaan secara terhormat, tetapi menjadi alasan bersengketa. Keadaan masyarakat seperti itu bisa berujung pada kondisi anarki dan chaos.

Setiap orang tidak lagi patuh pada peraturan, mereka bisa bertindak sendiri-sendiri membuat kekacauan. Bisa menimbulkan kerusakan dan kehancuran di mana-mana. Kehidupan masyarakat yang tenteram, rukun dan damai bisa terancam. Berpolitik tanpa etika dan moral hanya akan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan sesama bangsa.

Kondisi masyarakat seperti itu menjadi perhatian dan keprihatinan seorang perwira polisi yang gemar melukis, Brigjend Pol Dr Cryshnanda Dwi Laksa­na. Keadaan itu membuatnya resah dan gelisah. Sebagai seorang polisi tentu dia ingin masyarakat hidup rukun, tenteram, dan damai. Situasinya justru menjurus pada kondisi sebaliknya. Sebagai seorang polisi, dia melihat adanya bahaya tersembunyi yang berpotensi anarkis dan chaos. Situasi yang sangat  membahayakan masyarakat.

Sebagai polisi yang gemar melukis, yang dilihat dan dirasakannya diekspresikan melalui warna, berupa lukisan. Dia menyatakan, lukisannya mengekspresikan suatu kondisi seperti yang ditulis Plato dalam bukunya The Republic.

Di dalam buku tersebut diuraikan masyarakat diibaratkan sebagai binatang besar, buas, dan liar. Kesenangannya makan, minum dan seks. Para pawang pengendali binatang kaum politikus.

Dia tahu cara mengendalikan binatang tersebut. Tahu memberi kesukaan atau kesenangannya. Tahu kapan mengalah saat binatang itu mengamuk dan tahu mengancam dan menakut-nakuti binatang tadi. Ibarat tersebut merupakan gambaran tentang masyarakat yang bisa dikendalikan oleh sekelom­pok orang.

Lukisan-lukisannya berupa komposisi warna, titik, garis, bidang yang dikreasikan secara spontan. Warna-warna dikuaskan, dicipratkan, dilelehkan, atau dituangkan mengikuti intuisinya. Tersusunlah warna, bidang, garis, titik dan unsur-unsur rupa lainnya menjadi sebuah lukisan.

Terkadang lukisannya dibubuhi tulisan dalam bahasa Indonesia atau Jawa. Tulisan tentang pendapatnya, kesannya, filosofi, dan ajaran-ajaran bijak dari masyarakat Jawa. Tulisannya memiliki relevansi dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Metode melukis seperti itu sudah dilakukannya sejak bebera dasa warsa lalu.

Salah satu karyanya, berupa kompoisisi warna yang dibuat dengan sapuan-sapuan kuas secara spontan. Lukisan diciptakan secara intuitif, tidak melalui perancangan terlebih dahulu.  Dia meng­ikuti keinginan hatinya, mengalir begitu saja seperti mengalirnya air sungai. Lukisan lainnya diciptakan dengan mengombinasikan warna, garis, titik, bidang, serta unsur-unsur rupa lainnya dengan teks dalam bahasa Indonesia.

Teks-teks berisi filosofi hidup, nilai-nilai kema­nu­sia­an, pandangan, ajaran-ajaran atau tentang persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyara­kat. Perpaduan warna dan kata-kata saling mendu­kung mengungkapkan apa yang dia rasakan ataupun gagasan-gagasannya.

Dalam berkarya, dia tidak terikat pada konvensi-konven¬i penciptaan karya. Dia lebih mengutama­kan kebebasan dalam menuangkan gagasan-gagasannya. Dia secara bebas mengikuti apa yang mau dikerjakannya. Dengan metode berkarya demikian, karya-karyanya tampak dinamis, segar, dan profokatif.

Ada juga lukisannya yang sangat dinamis dengan sapuan-sapuan warna anarkis terbentuk susunan bidang, garis, titik, serta elemen-elemen rupa secara tak terduga. Warna-warna gelap dan terang saling mengisi menciptakan nuansa atrtaktif. Tulisan-tulisan berupa aksara latin dibubuhkan di antara warna-warna. Mengungkapkan pandangannya melalui susunan huruf-huruf.

Lukisan lainnya dengan kombinasi huruf-huruf Jawa, membentuk kalimat-kalimat arif dari ma­syara­kat Jawa. Ajaran-ajarran bijak leluhur yang masih relevan dengan keadaan masyarakat seka­rang. Ajaran tentang tatakrama, penghormatan pada nilai-nilai hidup, dan kebaikan-kebaikan terhadap sesama manusia.

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang hidup dengan tatakrama tinggi. Masyarakat yang menghormati nilai-nilai kehidupan bersama dan sangat menekankan harmoni atau keselarasan. Nilai-nilai luhur yang kini mulai lekang, mulai menghilang ditelan perubahan zaman.

Lukisan tentang Semar mengekspresikan wajah Semar, tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa. Semar adalah rakyat jelata yang hidup sederhana. Sebenarnya Semar adalah penjelmaan dewa. Dia mengajarkan kebaikan di tengah keluarga dan masyara­ kat­nya. Dia adalah pengasuh sekaligus penasihat para ksatria Pendawa dalam versi wayang Jawa.

Semar adalah abdi yang memiliki kesaktian tinggi. Meskipun hidup di kalangan rakyat jelata, dia sangat dihormati di kalangan para ksatria dan juga para dewa. Nilai-nilai luhur dari kesenian tradisi ini sudah tidak lagi dipahami sebagian masyarakatnya.

Beberapa lukisan yang dibahas adalah beberapa contoh lukisan karya Chryshnanda. Banyak karyanya yang lain.  Produktivitasnya dalam mencipta karya sangat tnggi. Di saat masyarakat mulai muncul gejala perpecahan, lukisan-lukisan­nya berusaha mengingatkan kita akan nilai-nilai. Hidup rukun, damai, dan sejahtera. Nilai-nilai sudah ditanamkan oleh leluhur kita sejak dulu kala. Kita adalah masyarakat yang menghormati kesela­ras­an hidup bersama.

Penulis; Dosen Seni Rupa FBS Unimed dan Pengelola Pusat Dokumentasi Seni Rupa Sumatera Utara.

()

Baca Juga

Rekomendasi