Ibaratkan Orkestra, Gurulah Konduktornya

ibaratkan-orkestra-gurulah-konduktornya

Oleh: Erri K Sinaga SPd. Tujuan paling mendasar dari suatu sis­tem pendidikan, yaitu harus bisa mem­bangun semangat cinta belajar  pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas cinta belajar, apapun yang diha­dapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai dan mengubahnya. Sistem pendidikan dan para­digma usang harus diganti dengan yang baru. Zaman terus berubah. Kreativitas dan imajinasi adalah kunci bagi cerahnya dunia pendidikan kita di masa depan.

Sejauh ini, sekolah hadir lebih banyak sebagai lembaga pembelajaran yang hanya mengedepankan aspek kognitif. Padahal, sebagaimana dikatakan Benyamin S Bloom, setiap anak didik memiliki bukan ha­nya ranah kognitif, tetapi juga ranah afek­tif dan psikomotorik. Sekolah yang hanya mengedepankan aspek kognitif sesungguh­nya mengingkari jati dirinya sebagai lem­baga pendidikan.

Ki Hajar Dewantara membedakan antara pengajaran dengan pendidikan. Pengajaran diartikan sebagai proses mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan  kepada anak didik, sedangkan pendidikan dimaknai se­bagai proses menuntun para murid agar mereka tumbuh menjadi manusia seutuh­nya.

 Setiap anak didik tidak saja harus men­jadi cerdas secara intelektual, namun me­reka juga harus cerdas secara emosional dan spiritual. Sekolah dalam mendidik anak ha­rus berorientasi  holistik dan humanis, yak­ni proses pembelajaran yang mengha­silkan pengembangan  kognitif, afektif dan psiko­motorik secara berimbang. Dalam hal ini, peran dan fungsi guru sangatlah pen­ting.

Bobbi DePorter bahkan memberikan penggambaran tentang peran dan fungsi gu­ru. Posisi guru dalam konteks pembelajaran tidak ubahnya seperti seorang konduktor dalam sebuah orksestra. Harmoni dan irama yang indah akan lahir dari para pemain, jika sang konduktor  piawai dalam memimpin orkestra.

Tidak hanya itu, dalam pandangan Prof Dr Moh Fakry Gaffar, mantan Rektor IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia) guru memegang strategis teruta­ma dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Meskipun per­kembangan teknologi pembelajaran ber­kem­bang pesat, namun dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat mul­tikultur, peranan guru tetaplah dominan.

Guru merupakan bagian penting dari sumber daya pendidikan yang sangat me­nen­tukan keberhasilan sebuah pendidikan. Guru merupakan sebuah kunci dalam me­ningkatkan mutu pendidikan. Karena itu, posisi guru berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif. Me­ngingat demikian penting peran dan fungsi guru, maka kompetensi guru  harus terus ditingkatkan. Kemampuan mengajar dan men­didik harus terus diasah. Kepribadia­n­nya harus terus dimatangkan agar mampu menjadi figur teladan bagi anak didiknya. Kecakapan sosial dan profesionalitasnya  juga harus terus ditingkatkan agar mampu menjelma menjadi pribadi yang bermanfaat baik di lingkungan tempatnya bekerja mau­pun di masyarakat.

Itulah sebabnya, seorang guru tidak bo­leh cepat puas dengan apa yang telah dica­pai, melainkan harus berupaya untuk men­jadi lebih baik.  Orang yang cepat puas tidak akan pernah bisa menjadi hebat. Lebih dari itu dalam pandangan Napoleon Hill, orang yang cepat puas termasuk golongan orang-orang yang dibenci Tuhan. Saatnya guru  men­jadi agen perubahan. Seorang guru tidak hanya hadir di tengah-tengah para murid sekedar memenuhi kewajibannya me­ngajar sebaliknya seorang guru harus te­rampil sebagai pemantik bagi anak didik­nya.

Sebagaimana yang  dikatakan oleh Ka­thy Paterson bahwa,” Mendidik dengan baik dapat diibaratkan orang yang sedang menyalakan api, di mana semakin lama api tersebut akan semakin membara”. Mendi­dik dengan baik akan membantu para siswa merasa senang untuk belajar dan mem­biar­kan mereka terus berkembang  menyalakan api semangat belajarnya”.

Perlu Kesadaran

Marah merupakan ekspresi yang sering dilakukan oleh banyak guru untuk me­nyi­kapi kondisi kelas atau perilaku murid yang tidak bisa diatur. Kita tidak sadar bahwa ini adalah sikap yang tidak baik di hadapan peserta didik. Ilustrasi sederhananya seperti ini: jika kita punya pesawat televisi yang sudah cukup tua, yang gambarnya kadang muncul kadang tidak. Apa yang sering kita lakukan ketika gambarnya tidak muncul. Sepertinya hampir semua orang sepakat untuk menjawab “digebrak”. Mengapa di­gebrak? Karena kita tidak paham cara kerja televisi. Kalaupun saat digebrak gambarnya terus nongol itu pastilah sebuah kebetulan. Barangkali ada kabel yang kendur, saat digebrak nyambung lagi atau persisnya jadi bagus. Tetapi jika hal seperti itu terjadi lagi dan kita “menggebraknya” lagi berulang-ulang tetapi gambarnya tidak muncul lagi. Apa sebenarnya yang terjadi? Pesawat televisi kita hampir bisa dipastikan tambah “remek” alias rusaknya semakin parah.

Nah, celakanya tindakan seperti itu pula yang sering  dilakukan para guru terhadap mu­rid-muridnya. Kalau para murid meng­alami kesulitan belajar atau gagal memaha­mi materi yang diajarkan, guru pun “meng­gebrak” murid. Apakah itu dengan kata-ka­ta, tatapan mata, raut wajah atau sikap yang melukai hati yang dapat meruntuhkan ke­per­cayaan diri murid. Alih-alih memotivasi yang terjadi justru sebaliknya membuat mu­rid jadi jatuh mentalnya , takut, tidak nya­man bahkan semakin bandal. Seharusnya gu­ru yang hebat mampu memberdayakan dan membahagiakan muridnya. Guru yang hebat berpotensi besar menghasilkan murid yang hebat juga. Hebat artinya yaitu siswa menjadi manusia yang seutuhnya. Ma­nusia yang di dalamnya tersimpan po­tensi kognitif, afektif dan psikomotorik.

Jadi haruskah ironi “ menggebrak” itu harus berlanjut? Tugas mulia guru bukanlah sekadar menjadikan para murid mem­per­oleh nilai yang tinggi, naik kelas dan lulus ujian. Tugas mulia seorang guru pun harus diwujudkan yaitu membangun kecerdasan dan sukses  murid-muridnya, baik dalam konteks religi-sosio-kultural, yaitu sukses dalam konteks tidak syirik (menyekutukan Tuhan), tidak menyakiti dan merugikan orang lain, tidak menyimpang dari nilai-ni­lai yang telah disepakati masyarakat. Tu­juan hakiki seorang guru adalah mem­bimbing muridnya agar mampu berkem­bang sebagai manusia seutuhnya.

Kita ketahui siswa sekarang termasuk generasi Z, karakter mereka aktif berburu informasi apapun. Tinggal klik kata kunci di Google, pastilah ketemu jawabannya. Oleh sebab itu, guru harus bisa memberikan sesuatu yang lebih kepada siswa, melebihi apapun yang disediakan oleh Google. Guru harus bisa mengarahkan siswa. Guru harus bisa memberikan perspektif baru atau per­spektif lain yang tidak mungkin di dapat di internet .

Siswa zaman sekarang memiliki tanta­ngan serius untuk mengarungi kehidupan. Oleh karena itu, perubahan paradigma berpikir tingkat tinggi merupakan suatu keniscayaan bagi dunia pendidikan . Siswa harus dibekali kemampuan nalar tingkat tinggi sehingga siswa berpikir logis, kritis, analitis, sekaligus kreatif-inovatif. Oleh se­bab itu, guru harus bisa mengarahkan siswa. Guru harus bisa memberikan perspektif ba­ru yang tidak mungkin didapat di internet. Guru harus memiliki komitmen untuk sela­lu berkreasi dan berinovasi agar dapat me­me­nuhi kebutuhan siswa pada era informasi yang serba terbuka.

Ibaratkan orkestra, guru lah konduk­tor­nya. Kita ketahui konduktor itu dalam se­buah pertunjukkan orkestra berperan seba­gai pemimpin dan pelatih. Konduktor meru­pakan unsur terpenting di dalam permainan orksestra, tanpa adanya konduktor, kelom­pok paduan suara akan mengalami keka­cauan di dalam permainannya.Jika pun ada yang bermain dengan baik, kalau konduktor tidak ada, itu akan sia-sia, keseragaman bu­nyi suara, nada suara tidak akan ada, hasil­nya suaranya pun akan amburadul, tidak serasi, gagal. Dalam dunia pendidikan, jika pun ada siswa yang pintar, jika tidak ada gu­ru yang berkompeten, pendidikannya ju­ga akan gagal, tidak akan tercapai aspek kog­nitif, afektif dan psikomotorik secara berimbang.

Guru mengemban peran yang berat, yak­ni membimbing para siswa agar mampu ber­kembang sebagai manusia seutuhnya, tidak boleh lagi terpinggirkan hanya karena kuatnya kecenderungan untuk mengejar kon­sekuensi, yaitu nilai dan tingkat ke­lulusan yang tinggi. Sebab, jika kita semua sibuk mengejar konsekuensi dan melu­pa­kan tujuan hakiki, maka kita bisa begitu mudahnya menghalalkan segala cara. Te­ruslah berjuang untuk menegakkan tujuan pendidikan . Mari memberi motivasi, mem­beri inspirasi kepada semua murid kita agar mereka terus belajar dan berkarya. Inilah saatnya guru menjadi agen perubahan. Di tangan seorang guru kemiskinan dapat diu­bah menjadi kekuatan. Guru yang bermutu berpeluang besar melahirkan siswa yang bermutu untuk masa depan bangsa dan negara.

Penulis adalah guru SMP RK Bintang Timur Pematangsiantar.

()

Baca Juga

Rekomendasi