Era Baru Dunia Keinsinyuran di Indonesia

era-baru-dunia-keinsinyuran-di-indonesia

Oleh: Ir Prastiwo Anggoro ST IPM Asean Eng ACPE

BULAN April 2019 merupakan sebuah milestone bagi para insinyur-insinyur di Indonesia. Setelah tertunda hampir 5 tahun, Undang-undang No 11 Tahun 2014 tentang keinsinyuran akhirnya mempunyai turunan peraturan, yaitu Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2019 (mulai diundangkan pada 18/4/2019). Peraturan pemerintah (PP) ini menjadi penting karena memuat detail mengenai pelaksanaan sertifikasi, pengawasan praktek keinsinyuran sampai kepada ancaman pidana dan perdata kepada malpraktek di dunia keinsinyuran.

Insinyur pada hakekatnya adalah seorang sarjana teknik. Gelar insinyur disandang oleh lulusan teknik sebelum tahun 1994, dan akhirnya digantikan dengan gelar ST (sarjana teknik-strata 1). Kini gelar insinyur dihidupkan kembali melalui jalur perguruan tinggi (Program Studi Profesi Insinyur)

Menurut data dari Kemenristekdikti tahun 2017 (Grand Design SDM Infrastruktur), prediksi kebutuhan sarjana teknik pada tahun 2024 mencapai 132.000 orang. Diprediksi per tahun kenaikan kebutuhan sarjana teknik mencapai 8-10 persen sedangkan supply sarjana teknik sangat terbatas. Sebagai contoh di tahun 2019 sarjana teknik lulusan  dari perguruan tinggi hanya di angka 1.800, sedangkan kebutuhan di dunia kerja mencapai 88.000 sarjana teknik.

Belum lagi ditambah minat akan calon mahasis­wa untuk mengambil jurusan teknik masih rendah. Mahasiswa teknik berada di urutan ke-3 setelah jurusan pendidikan dan ekonomi, yaitu 13,63% dari 4.361.972  mahasiswa (Sumber Kemenristekdikti 2017). Jika dibandingkan jumlah lulusan sarjana teknik per tahun, Indonesia berada di bawah Malaysia, Thailand dam Vietnam, yaitu hanya 194 sarjana teknik per tahun per 1 juta penduduk. Hal tersebut menjadi dilema bila dibandingkan dengan data kebutuhan dunia kerja akan sarjana teknik.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2019, menunjukkan penggangguran di lulusan universitas naik menjadi 25 persen dari tahun 2017. Sebanyak 129,4 juta penduduk bekerja, namun didominasi oleh lulusan SD, yakni 41 persen dan SMA 18 persen, lulusan universitas paling rendah, yakni berada di angka 10 persen.

Data-data tersebut di atas terasa miris, jumlah peminat pada keteknikan sangat rendah dan pengangguran di level sarjana pun masih tinggi. Padahal kebutuhan akan sarjana teknik setiap tahun meningkat. Alhasil ini membuka celah eksodus insinyur asing untuk masuk ke dunia kerja di Indonesia. 

Oleh karena itu, untuk memperkecil gap antara dunia pendidikan tinggi, khususnya keteknikan dan dunia kerja/industri guna menciptakan lulusan perguruan tinggi yang siap kerja dan memenuhi ekpektasi dari dunia kerja, perlindungan terhadap profesi insinyur perlu dijamin secara menyeluruh. Sebenarnya, Indonesia telah memiliki regulasi dan peraturan dalam bentuk Undang-undang No 11 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2019. Tugas pemerintah adalah merealisasikannya dengan serius.

Dalam peraturan pemerintah, yaitu pasal 10 ayat 2 dan pasal 16 ayat 1 juga mengatur mengenai prodi progam profesi insinyur yang diadakan oleh PERTI bekerja sama dengan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), yang bertujuan agar prodi sebanyak 24 SKS dapat memberikan bekal bagi lulusan teknik sebelum memasuki dunia kerja.  Setelah mendapat gelar insinyur, seorang insinyur perlu dijamin oleh negara dari segi  remunerasi yang setara dan berkeadilan (pasal 25 huruf g) dan diberi kesempat­an  untuk berperan di dalam pembangunan nasional (pasal 26 huruf i).

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) merupakan lembaga yang diamanatkan oleh undang-undang untuk memfasilitasi perolehan asuransi profesi bagi seorang insinyur (pasal 29 ayat 1) dan seorang insinyur asing sendiri yang bekerja di Indonesia diharuskan untuk memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur yang dikeluarkan oleh PII (pasal 23 ayat 3 dan ayat 4).

Selain memuat hak dan perlindungan bagi seorang insinyur bersertifikat (STRI = surat tanda registrasi Insinyur) di atas, Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2019 juga memuat jenis pelanggaran dan jenis sanksi bagi pelanggar (Seseorang yang bukan insinyur namum melakukan praktek keinsinyuran), yaitu sanksi admisnistratif, sanksi penghentian sementara kegiatan keinsinyuran, sanksi pembekuan izin kerja, dan pencabutan izin kerja bagi insinyur asing. Sedangkan sanksi yang lebih berat yaitu pidana penjara dan denda diterapkan apabila kegiatan keinsinyuran berakibat kecelakaan, cacat dan hilangnya nyawa seseorang seusai Undang-undang No 11 Tahun 2014 pasal 50.

Benang merah dari berlakunya peraturan pemerintah tentang keinsinyuran (berbagai benefit dan perlindungan yang tertuang di dalamnya) terhadap ketersediaan lulusan sarjana teknik apabila ditarik lebih dalam dampak kepada minat calon mahasiswa pada pendidikan keteknikan di perguruan tinggi akan memberikan era baru bagi dunia Keinsinyuran di Indonesia, terutama dalam menyongsong bonus demografi dan era industri 4.0.

Penulis  Wakil Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Cabang Kota Batam periode 2017-2019.

()

Baca Juga

Rekomendasi