Harta dan Cara Terbaik Menyikapinya

harta-dan-cara-terbaik-menyikapinya

Oleh: Adlin Budhiawan, M.Hum

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al-Munafiqun: 9)

KEBERADAAN harta bagi kita sebagai manusia merupakan kebutuhan hidup yang sangat diapresiasi keberadaannya. Adapun cara kita mengapresiasi­nya dengan mencari, mengejar, me­nuntut, mengeruk hingga menggapainya sehingga berada di sekitar kita dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tak ada satupun ma­nusia di muka bumi ini yang mengabaikan harta dalam hidupnya karena manusia butuh harta saat menjalani kehidupan.

Meskipun demikian, kedudukan harta yang begitu dibutuhkan manusia jangan sampai melalaikan tentang hakikat keberadaannya di bumi ini. Harta yang ada di bumi ini tentu tidak datang dan hadir dengan sendirinya, pasti ada yang mencip­takannya. Maka, manusia harus ingat bahwa harta yang tersedia di muka bumi ini merupakan milik sang Khalik, sang Malik, yakni Allah SWT. Allah berfirman: “Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi” (QS. Ali Imran: 109). Kepemilikan harta oleh manusia hanya sebatas mengelola, dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, bukan mutlak memiliki. Oleh karenanya, jangan pula harta membuat diri manusia tertipu hingga melupakan Allah sebagai sebenar-benar pemilik.

Seorang muslim sesungguhnya sadar bahwa dirinya sendiri merupa­kan hasil karya dan kreasi Allah, namun yang menjadi masalah, ia se­ring lupa bahwa harta yang dise­matkan Allah kepadanya juga milik-Nya. Seringkali saat ia ber­hasil menggapai dan mendapatkan suatu harta, ia menggenggam erat dan menumpuk hartanya hingga berlim­pah-limpah. Alhasil, sinkro­nisasi antara memenuhi kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat men­jadi tidak seimbang. Hal ini tentu harus diwaspadai oleh muslim manapun.

Alquran dan sunah telah mem­beri panduan kepada muslim bagaimana cara menyikapi harta yang dimilikinya. Pertama, yang harus diingat seorang muslim adalah harta merupakan ujian dari Allah. Pada prinsipnya, harta adalah ujian bagi manusia. Seseorang yang disibukkan hidupnya dengan men­cari harta ia akan mendapat status kaya, apabila tidak giat, maka ia akan menjadi miskin. Meskipun demikian, kaya dan miskin sese­orang karena harta sepenuhnya ada­lah qadha dan qadar Allah dan keduanya menjadi ujian saat hidup di dunia dan dimintai pertang­gung­jawabannya kelak. Allah Berfirman: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengu­ji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian (yang sebe­nar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembali­kan.” (QS. Al-Anbiya’: 35). Ahli tafsir mem­beri pendapat bahwa di antara ujian yang berupa keburukan yakni salah satunya adalah kemis­kinan. Adapun ujian yang berupa kebaikan yaitu salah satunya keadaan kekayaan. Maka dari itu, seorang muslim tidak boleh meng­anggap keberadaan harta yang ada padanya akan ber­jalan normal pada kehidupan. Kaya atau miskin yang ia semat, keduanya hanya “status” belaka yang menjadi penguji manusia di muka bumi. Bahkan, Umar bin Khattab pernah berujar terkait harta dengan ungka­pan: “kekayaan dan kemiskinan adalah dua tunggangan, aku tidak peduli yang mana aku tunggangi. Kekayaan dan kemiskinan hanyalah ujian dari Allah SWT”.

Kedua, yang harus diyakini seorang muslim adalah harta meru­pa­kan amanah Allah. Memak­nai harta sebagai amanah tentu tidak mu­dah, mengingat kita sering lalai dalam urusan ini. Kalau sudah me­nyadari bahwa harta sejatinya bukan milik mutlak manusia, maka harta yang diberikan Allah kepada kita harus dikelola dan dimanfaat­kan untuk kebaikan hidup. Salah satu pengelolaan tersebut adalah de­ngan mengeluarkan sebagian harta kepada orang yang membu­tuhkan. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan zakat, infak, sedekah, hibah atau da­lam berbagai bentuk kegiatan lainnya.

Pada harta seseorang tentu ada hak orang lain, yang artinya bahwa seorang muslim yang hartanya berlebih memiliki tanggung jawab kepada mereka yang hartanya hanya sekedar cukup atau tidak memiliki harta sama sekali. Melaksanakan hal tersebut tentu tidak mudah, apalagi sifat rakus dan tamak seringkali merajai diri hingga manusia lupa dengan sifat dan sikap nabi yang begitu mulia terkait harta. Dalam riwayat, pernah suatu waktu Rasulullah SAW. memberi nasihat kepada Abu Dzar yang isinya “Nabi SAW memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya): Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, beliau memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku....” (HR. Ahmad).

Maka dari itu yang harus diingat seorang muslim terkait amanah harta ini adalah kelak juga akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Rasulullah bersabda: “Dari Abu Barzah al-Aslami ra. bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Seseorang pada hari kiamat nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: Tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya untuk apa dipergunakan, tentang hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan dan fisiknya untuk apa diperlakukan”. (HR. Tirmidzi).

Adapun yang ketiga, yang harus dilakukan seorang muslim adalah memupuk amal melalui harta. Rasulullah SAW. bersabda: “Se­orang manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR. Mus­lim). Pada hadis lain, Rasulullah bersabda: “seorang hamba berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan”. (HR. Muslim).

Indikasi pada hadis tersebut adalah bahwa harta utama yang ter­semat pada manusia hanyalah tiga, yakni makanan yang dimakan, pakaian yang dikenakan dan harta yang disedekahkan. Jika boleh ber­kata jujur, apalah gunanya me­ngum­pulkan makanan seba­nyak-banyak­nya, kalau ujung-ujungnya akan menjadi basi. Apa juga gunanya mengumpulkan pakaian sebanyak-banyaknya kalau pada akhirnya akan usang. Sejati­nya, makanan dan pakaian yang menjadi kebutuhan utama di bumi tidak akan menjadi modal utama untuk mengh­adap Ilahi. Maka, jadikan makanan dan pakaian tersebut berkorelasi dengan segala harta benda yang kita punya untuk disedekahkan karena harta yang disedekahkan tentu menjadi modal besar seorang muslim berte­mu Ilahi nantinya. Dengan berse­dekah, sesung­guhnya seorang mus­lim telah mem­per­siapkan bekal untuk kehi­dupan kelak. Kebaikan dengan memupuk amal melalui harta akan menjadi salah satu investasi terbesar seorang muslim dalam menggapai ridho Allah SWT.

Semoga, harta yang telah kita gapai kini telah kita sikapi sebaik mungkin dengan ketiga hal tersebut. Insya Allah harta kita tidak akan menjadi laknat, melainkan menjadi nikmat dan rahmat Allah SWT. Amin ya Rabb.

()

Baca Juga

Rekomendasi