Pulang, Bukan Kembali ke Masa Lalu

pulang-bukan-kembali-ke-masa-lalu

PADA diskusi, “Bagaimana Batak Dulu, Kini dan Masa Depan”, Jimmy Sihaan mengupas asal mula orang Batak. Menurut­nya, orang Batak, seperti suku-suku lain di Sumatera, berasal dari Indocina (Mongol). Mereka bermigrasi ke Sumatera dan wilayah lain di nusantara dengan membawa modal budaya yang sama.

Dalam buku Batak Na Marserak, mengu­tip Paul Pedersen, JP Sitanggang menyebut, asal mula suku Batak adalah keturunan imigran gelombang kedua, yaitu Proto Melayu, yang datang dari China Selatan. (JP Sitanggang: 2014).

Dalam esei anjang berbentuk surat yang terbit berseri di Bintang Minggu (1959-1960) – koran edisi Minggu, Harian Bintang Timur – dan kemudian dibukukan dalam Hoakiau di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dengan mengutip sejumlah antropolog, juga menyebut nenek moyang bangsa Indonesia datang menyebar dari Asia ke Asia Tengga­ra, Kambo­ja, Annam, Vietnam, Burma, Filipina, dan Indonesia.

Mereka datang dalam dua gelombang, yang dinamai Palaeo Mongolid dan gelom­bang kedua yang disebut Neo Mongolid. Dengan demikian nenek moyang bangsa Indonesia termasuk ras Mongolid. Pramoed­ya juga mengutip pendapat William F. Ogburn yang mengatakan, bila sekelompok manusia berpi­sah dari kelompok induknya, tinggal di daerah yang berlainan, maka faktor-faktor alam setempat akan memben­tuk sifat baru fisik dan rohaninya. (Pramoed­ya Ananta Toer: 1998).

Modal budaya yang dibawa dari asal mereka beremigrasi, menurut Jimmy Siahaan, lalu menjadi identitas budaya masyarakat yang ada di nusantara. Meski ada perbedaan, hal itu lebih pada sajian budaya materialnya. Namun jika bicara nilai, bisa dibilang hampir tidak ada perbedaan. Dalam arti setiap suku bisa saling meng­apresiasi.

Menurutnya, evolusi kebudayaan pada masing-masing suku tergantung pada tantang­an alam dan perkembangan masyara­katnya. Sebenarnya tak hanya budaya material dan imaterial yang memiliki perbedaan.

Mengisolasi Diri

Budaya masyatakat Batak berkembang sampai tingkat tertentu, seperti ditemui peneliti barat, Van der Tuk, Junghun, dan Modigliani. Orang Batak yang tinggal di kawasan Danau Toba dikenali telah mempu­nyai aksara, penanggalan, bahasa, keperca­yaan, dan sistem kemasyarakatan.

Pada awal Masehi, kebudayaan orang-orang di nusantara terpengaruh dengan kedatangan agama Hindu dan Buddha. “Kebudayaan Batak juga terpengaruh, tapi hanya sedikit,” ujarnya. Sejak terjadinya akulturasi akibat pengaruh budaya Hindu dan Buddha, mulai muncul perbedaan antara kebudayaan Batak dengan yang disebut Melayu.

Perbedaan itu, menurut alumni Fakultas Teknik ITB 1979 itu, makin jelas saat masuknya pengaruh Islam dari Turki Ottoman pada abad ke-15 menggantikan pengaruh Hindu dan Budha. Melayu lalu menjadi Islam, juga budayanya. Tapi orang Batak tidak ikut terpengaruh, sehingga tidak disebut orang Melayu lagi. Hal itu berlaku sampai orang barat datang.

Setelah masuknya agama Islam, orang Batak menutup diri dengan sistem sosial yang erat berkaitan dengan kepercayaannya. Tiap komunal atau huta mengurus diri sendiri. Pada waktu tertentu ada kerjasama yang disebut horja semarga dan horja bius kumpulan dari Parbaringin. Dari Parba­ringin pada wilayah tertentu muncul nama yang lebih sohor. Sisingamangaraja merupa­kan salah satu dari nama itu.

Dengan kata lain, kebudayaan Batak yang ada saat itu mampu menghidupi atau mengatur masyarakat Batak sendiri. Karena itu masuk­nya orang barat ditentang masyara­kat dan Raja Sisingamangaraja XII ketika itu. Di luar Raja Sisingamangaraja saat berkuasa, ada juga beberapa nama sohor seperti Raja Pontas Tobing, Ompu Batutah­an, dan Ompu Salisi Hutauruk. Namun mereka bekerjasama dan menyediakan kompleks untuk misi peng­kristenan.

“Cekcok dan perang pun terjadi di antara para raja huta di daerah Silindung,” tutur Jimmy Siahaan. Selama peperangan, masyara­kat dan Raja Sisingamangaraja XII, pembarat­an dan pengkristenan terus berlang­sung. Banyak sekolah didirikan, banyak perlawanan juga muncul, terutama dari Parbaringin sebagai benteng terakhir habatahon.

Menjadi Terbuka

“Pembaratan dengan sendirinya membuka pandangan orang-orang Batak keluar. Orang Batak yang dulunya tertutup, sekarang terbuka. Orang Batak mulai mengikuti pendidikan dan gaya hidup barat. Adat budaya bisa dikatakan hampir semua hilang,” jelasnya.

Meski begitu, Jimmy Siahaan mengakui, pendidikan membuat orang Batak lebih unggul di Sumatera Timur, terutama saat Medan berubah menjadi kota kosmopolitan atau Paris van Sumatera, sejajar dengan kemakmuran kota-kota di Jawa akibat kebijakan Sultan Deli yang memberi konsesi pembukaan perkebu­nan.

Johan Hasselgren dalam bukunya Batak Toba di Medan, menyebut beberapa orang Batak terdidik menjadi tenaga ‘kerah putih’ pada birokrasi pemerintah kolonial dan beberapa perusahaan dagang seperti Opmi­um­regie, Delispoorweg, kantor polisi, kantor pajak, kantor kehutanan, dan perusahaan swasta. (Johan Haselgren: 2008).

Meski begitu muncul soal diskriminasi, orang Batak saat itu sebenarnya tidak mudah diterima pada birokrasi pemerintah kolonial dan perkebunan. Bahkan termasuk perkebun­an di Simalungun yang masih satu klan. Namun setelah kemerdekaan, orang Batak mengisi posisi-posisi pemerintahan lokal dan pusat, juga pada perusahaan pemerintah dan swasta. Walau diskriminasi tetap masih ada.

“Seiring waktu keunggulan orang Batak juga mulai berkurang karena pendidikan juga makin merata dan dipandang penting suku-suku lain,” ujarnya.

Saat ini, wujud diskriminasi menurut Jimmy Siahaan, muncul dalam fenomena peminggir­an pembangunan di wilayah yang dihuni mayoritas suku Batak. Sementara pada bidang budaya, ia menengarai dampak dari pembara­tan masih sa­ngat terasa sam­pai kini. Walau di­akui, de­wasa ini juga makin banyak orang Ba­tak terdidik, akibat dampak globalisasi yang hampir menggerus segala lini kehi­dupan, mulai kembali men­cari jati diri mereka.

“Ulos misalnya mulai kem­bali dikoleksi,” katanya. Na­mun pulang untuk menengok kem­bali adat dan budaya lama, me­nurutnya tak berarti kem­bali kepada keada­an­ yang du­lu.

Secara ber­se­lo­roh, pe­nyair be­ram­but pan­­jang yang puisi-puisinya sa­rat pro­tes sosial, Ju­hen­dri Cha­­niago, menyebut orang Batak sebe­nar­nya tidak kehilangan nilai-nilai habatahon mere­ka. Yang terjadi, mereka sedang lupa. Habatahon itu masih ada, bukan mus­nah. “Ha­nya habatahon tidak pernah mau dije­nguk.”

Ia mengatakan, agar orang Batak tak perlu mera­sa cemas-cemas amat de­ngan identitas kebatakan. “Se­pan­jang Danau Toba masih ada dan tanah air orang Ba­tak masih ada, itu arti­nya ma­sih ada orang-orang yang menjaga habata­hon.” (J Anto)

()

Baca Juga

Rekomendasi