Mencari Walikota Paris Van Sumatera

mencari-walikota-paris-van-sumatera
Oleh: Jones Gultom. Meski kurang lebih 1 tahun lagi, namun suhu Pilkada Kota Medan 2020 sudah mulai memanas. Sejumlah nama dikabarkan telah meramaikan bursa calon Walikota Medan periode 2020-2025. Mereka berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang  profesi. Antara lain, Edy Ikhsan (akademisi) Sutrisno Pangaribuan, Ikhwan Ritonga dan Dahnil Anzar, Meutyia Hafid, Prananda Surya Paloh (politikus), Baharuddin Sahputra (pegiat kesenian) Maruli Siahaan (purnawirawan polisi). Memang terlalu dini menyebut nama, namun dalam catatan penulis, nama-nama tersebut mulai rajin mengisi panggung-panggung publik di Kota Medan.

Sebagai Kota terbesar ketiga di Indonesia, Kota Medan terbilang seksi. Kota yang pada abad ke-18 menjadi Paris Van Sumatera, dikenal karena banyak hal. Apakah itu keragaman masyarakatnya, potensi ekonominya, keunikan para politisinya, sejarah tembakau Deli-nya, maupun seni budayanya. Tapi dari semua itu, kini Medan lebih dikenal sebagai kota banjir. Kota dengan drainase yang paling buruk. Tak cukup sampai di situ, setahun terakhir, Kota Medan juga dikenal  sebagai kota terjorok se-Indonesia.

Sungguh ironis, padahal Kota Medan dulunya dirancang sebagai hunian yang nyaman, terutama untuk taipan-taipan dari seluruh negara di dunia. Dengan kata lain, Kota Medan di masa kejayaan Tembakau Deli itu sudah dibayangkan akan menjadi pusat ekonomi dunia sekaligus tempat tinggal yang nyaman bagi para pengusaha lintas negara. Berdasarkan sejarah, dijadikannya Medan sebagai kota inti berdasarkan penelitian bahwa kota ini merupakan daerah bebas banjir. Hal itu dikarenakan adanya dua sungai besar yang membelah Kota Medan, yakni Babura dan Deli. Kedua sungai ini menjadi tempat penyaluran air, sehingga air tidak tergenang meskipun hujan turun berhari-hari. Karena itu, sejak diresmikan Belanda pada 1909, diprediksi Medan akan bebas banjir minimal untuk 200 tahun ke depan.

Namun prediksi itu ternyata meleset.  Sudah berbilang dekade, kota ini menjadi kota langganan banjir. Tidak perlu hujan berhari-hari, dalam hitungan jam pun, hujan bisa membanjiri Kota Medan. Hal itu terjadi bukan karena penataan awal kota yang salah, namun fungsi dua sungai yang dulunya menjadi penyalur air sudah berubah. Bukannya menyalurkan air, banjir justru kerap terjadi karena luapan kedua sungai ini. Sungai tidak lagi menampung debit air, dikarenakan ekosistem resapan dan daerah aliran sungai yang rusak dan dijadikan pemukiman warga. Air yang masuk ke sungai pun tidak tertampung dan akhirnya tumpah ruah ke permukaan jalan. Kini Medan telah menjadi kota paling tak nyaman dan paling tidak layak dihuni.

Tentunya berbagai persoalan itulah yang akan menjadi produk "jualan" para kontestan bakal calon Wali Kota Medan. Meski solusinya tidak mudah, namun isu ini akan menjadi "jualan" bagi setiap kontestan. Isu menjadikan penataan Kota Medan yang bebas banjir, bebas macet dan bebas preman itulah yang kini menghiasi panggung politik Pilkada Medan 2020.  Dari sana, untuk beberapa bulan ke depan, masyarakat akan memiliki waktu untuk mengkaji solusi siapa yang paling rasional dan logis. Jika ini yang dijadikan dasar masyarakat untuk memilih jagoannya, niscaya ada harapan Kota Medan berubah sedia kala. 

Syarat

Hemat saya, masalah Kota Medan hanya satu, yakni goodwill atau niat baik stakeholder-nya. Niat baik itu tentu dasarnya adalah menaati  aturan. Tidak perlu visi-misi yang bombastis. Kota Medan sudah terbentuk dan barangkali secara perwajahan kota sulit untuk diubah. Hal paling rasional yang bisa dilakukan adalah membenahi, bukan melakukan terobosan baru. Itupun semua tergantung pemimpinnya, apakah memang serius, mau dan mampu. Sehingga menurut saya, pemimpin yang diperlukan untuk memimpin Kota Medan ini adalah dia yang memiliki syarat sebagai berikut: 

Pertama, tidak feodal. Menurut saya ini penting, mengingat Medan adalah rumah bersama bagi belasan suku. Di Medan dan juga secara umum terjadi di semua kabupaten/kota di Sumatera Utara, feodalisme adalah ciri para pemimpinnya. Tidak perduli kualitas, seseorang bisa menjabat posisi penting, hanya karena dorongan feodalisme itu. 

Kedua, tegas. Karakter tegas tentu tidak sama dengan keras apalagi kasar. Tegas dapat diekspresikan dengan tutur kata maupun sikap yang luwes. Ciri ini termasuk yang paling umum diidealkan masyarakat, terutama di akar rumput. Hal itu menjadi gambaran ideal dari sebaliknya kenyataan yang ada, di mana orang Medan dikenal keras bahkan terkesan kasar, namun nyatanya tidak selalu tegas.

Ketiga, melek seni dan sejarah. Kenapa syarat ini penting? Seni bagi orang Medan sudah semacam kodrati. Dengan kesenian ruang-ruang publik akan dengan mudah dikuasai. Menguasai  ruang publik  berarti  menguasai masyarakatnya. Berdampingan dengan seni itu, referensi sejarah juga penting dimiliki pemimpin Kota Medan. Sejarah akan memperlihatkan kecenderungan-kecenderungan yang mungkin tidak terpetakan. Lagi pula pemimpin yang memahami sejarah daerah yang dipimpinnya sudah memiliki modal lebih dibanding yang abai sejarah.

Keempat, mau capek dan berani. Barangkali syarat ini yang paling sulit ditemukan karena sudah pasti bertentangan dengan tujuan mereka menjadi pemimpin yang ingin hidup enak dan serba dilayani.  Bila memang ingin menjadikan Kota Medan lebih baik lagi, sudah pasti pemimpinnya akan capek luar biasa. Mengapa, karena ia akan berhadapan dengan berbagai persoalan, termasuk menghadapi orang-orang bermacam tipe dan karakter. 

Belum lagi harus berhadapan dengan berbagai sistem yang mungkin sudah berlangsung lama untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Termasuk yang dipelihara para mafia dan  jaringannya di internal birokrasi itu. Terlanjur, selama ini Kota Medan menjadi “surge” bagi mereka. Memutuskan jaringan ini, selain capek juga sangat berisiko. Tidak heran, untuk bisa langgeng, selama ini Wali Kota Medan biasanya cari aman atau justru berjejaring dengan kelompok-kelompok yang bermain "di balik panggung" itu.  

Dari keempat syarat ini, bila kemudian pilkada Kota Medan berlangsung hari ini, maka akan sulit siapa yang akan dipilih. Meski begitu, untuk satu tahun ke depan masih ada waktu tersisa untuk menilai siapa yang paling mendekati. Atau mungkin masih ada orang yang paling tepat yang belum muncul. Publik Medan pun masih setia menunggu Ksatria Piningit, Ratu Adil ini turun gunung. 

***Penulis adalah jurnalis tinggal di Kota Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi