
Oleh: J Anto
SEBAGAI kekayaan budaya terapan, usianya sudah lebih dari 2.000 tahun. Meski begitu, primbon Tionghoa, Tong Shu, hingga kini masih dipercaya memiliki tuah. Untuk mendapat hari baik dalam urusan nikah, bisnis, karir, rumah (kantor) baru, kesehatan, sampai mengurangi nasib buruk, banyak orang Tionghoa minta nasehat dari ahli “buku segalanya tahu” itu.
Berita utama koran terkemuka di Hong Kong, Did Bad Feng Shui Kill Bruce Lee? Sepekan setelah bintang kungfu paling terkenal itu meninggal mendadak dalam usia 32 tahun. Pertanyaan seperti dalam judul berita itu mungkin tidak terlalu bermakna bagi kebanyakan orang. Namun pertanyaan itu langsung menyengat komunitas Tionghoa di berbagai penjuru dunia, dari Singapura hingga London.
Sekadar diketahui, nama Tionghoa Bruce Lee adalah Lee Shiu Loong yang berarti naga kecil. Setelah berhasil mendapat peruntungan besar dari bisnis film laga, Bruce Lee memutuskan membeli vila di kawasan mewah Kowloon Tong di Kowloon. Keseluruhan kawasan itu, meski cukup populer di kalangan orang Tionghoa muda kaya, cenderung ditinggalkan oleh orang-orang Tionghoa tua tradisional karena faktor fengsui buruk.
Tahu akan fakta ini, Bruce Lee lalu memanggil ahli nujum bumi yang kemudian memasang cermin patkwa dibatang pohon, di luar rumah untuk meningkatkan fengsui baik. Namun sesaat sebelum kematiannya, angin topan meniup pohon itu lalu memecahkan cerminnya.
Kowloon itu sendiri berarti 9 naga. Kesembilan naga itu rupanya cemburu atas tantangan si naga kecil Lee Shiu Loong. Mereka menyerang saat Bruce Lee tak terlindungi. Tak pelak, Bruce Lee pun tewas secara tragis dalam usia sangat muda di puncak kesuksesan kariernya.
Segalanya Tahu
Nukilan kisah Bruce Lee, terdapat dalam buku The Book of Chinesse Beliefs karya Frena Bloomfield. Buku itu terbit 1983, menggali jagad kehidupan orang-orang Tionghoa kebanyakan yang memraktekkan tradisi dan sistem keyakinan religi yang telah berusia ribuan tahun. Buku itu tidak bercerita tentang para filsuf, kaisar atau sastrawan Tiongkok mashur seperti banyak ditulis sejarawan atau peneliti budaya.
Salah satu kepercayaan tua itu adalah fengsui, yang hanya merupakan salah satu isi atau bagian dari buku Tong Shu. Dalam buku Manusia dan Kebudayaan Han karya Guru Besar Emeritus UI, Prof. Gondomono, Ph.D, disebutkan kosmologi masyarakat Tiongkok kuno memercayai bahwa bumi mengandung kekuatan adikodrati yang tanpribadi (impersonal) yang disebut fengsui. Secara harfiah, feng artinya angin dan shui air.
Menurut Gondomono, fengsui berarti berdenyut atau mengalir melalui konfigurasi tanah dan perairan yang membentuk permukaan bumi. Fengsui diyakini merupakan sumber utama keberuntungan dan kesialan manusia. Keberhasilan selalu dikaitkan dengan pengendalian fengsui yang baik dan benar, sedangkan kesialan dikaitkan dengan ketidak mampuan mengendalikan fengsui.
Secara harfiah Tong Shu itu berarti buku segalanya tahu. Memang selain memuat fengsui, Tong Shu juga memuat jimat atau mantra penolak bala, informasi tentang perawatan bayi, daftar ramuan untuk penyakit tertentu, bagaimana pasangan suami isteri memilih jenis kelamin laki-laki bagi calon anak mereka, tafsir tentang mimpi, membaca garis wajah untuk menentukan karakter dan nasib orang (physiognomy), membaca garis tangan untuk meramal nasib seseorang (palmistry), kutipan kata-kata bijak (etika dan moral), firasat atau pertanda, pengetahuan numerologi (angka baik dan buruk dan masih banyak materi yang lain.
Dalam praktik sehari-hari, orang lebih banyak menggunakan Tong Shu untuk mendapat petunjuk hari baik. Terutama mereka yang hendak membuka usaha baru, menaikkan omzet dagang atau bisnis, memasuki rumah baru, memperbaiki rumah, melakukan perjalanan jauh, menikah dsb.
Pengaruh Tong Shu sangat besar bagi orang Tionghoa. Jejaknya hingga kini dapat dilihat dari fakta bahwa setiap tahun, buku setebal kurang lebih 5 cm itu, terus-menerus dicetak. Tak terkecuali di negara kita. Walau tidak ada data resmi, namun diperkirakan hampir satu juta eksemplar seiap tahun, Tong Shu laris manis terjual. Perkiraan ini dikaitkan dengan sebaran orang-orang Tionghoa perantauan yang ada di Asia Tenggara, Eropa, Amerika Utara, dan Australia.
“Orangtua saya juga mengoleksinya,” ujar salah seorang pengurus Perhimpunan Perempuan Tionghoa Indonesia (PINTI) Sumut, Herlina Fu.
Menurut Suhu Berry CWT dari Vihara Setia Buddha, Medan Tembung, Tong Shu bersumber dari ajaran taoisme yang dikembangkan oleh Lao Tzi. Kitab Tong Shu itu sendiri telah mengalami beberapa kali penyempurnaan. Salah satu yang ikut menyempurnakan buku Tong Shu menurut Suhu Berry CWT adalah Zang Tian Shi, dengan menambah jimat atau mantra.
Zhang Tian Shi dikenal sebagai dewa pengobatan. Ia memiliki keahlian membuat obat-obatan panjang umur yang diperoleh dari buku-buku kuno, dan menciptakan berbagai hu (jimat) untuk menolak berbagai macam penyakit dan bala. Hingga kini jimat-jimat tersebut tetap dipercaya umat Tao. Salah satunya adalah baijie hu (jimat penolak bala atau bencana).
Namun istilah jimat sebagai terjemahan hu, menurut Berry CWT tidak terlalu tepat atau terlalu sempit. Hu lebih dari sekadar jimat, karena juga bermakna resep seperti yang dibuat dokter.
“Hu yang berisi kata-kata itu dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam air sebagai obat bagi pesakitan karena hal-hal gaib,” ujar Suhu Berry CWT saat dijumpai di Vihara Setia Buddha, Jalan Tirtosari, Medan Tembung, disela kesibukan melayani umat yang datang untuk bersembahyang dan berobat, Sabtu (6/7).
Jimat dalam taoisme juga dibuat untuk hal-hal baik. Taoisme sangat tegas dalam hal ini. Kekuatan gaib harus digunakan untuk kebaikan, bukan kejahatan.
Jimat atau mantra juga tidak bersifat rahasia seperti jimat dari bangsa lain. Di dunia maya setiap orang dengan mudah bisa mengakses dan melihat jimat-jimat tersebut. Tentu semua jimat itu ditulis dalam aksara Mandarin kuno. Aksara Mandarin yang belum dibakukan Pemerintah Tiongkok.
Soal apakah sebuah jampi-jampi ampuh atau tidak bagi si pengguna, bergantung pada kekuatan spiritual si penulis jimat dan derajat keyakinan si pengguna jimat.
Mengubah Nasib
Menurut Tio Ie Aoa (82), sekalipun Tong Shu bersumber dari ajaran Tao, namun siapa saja bisa memanfaatkan Tong Shu. Syaratnya hanya harus percaya. Ie Giok, nama panggilan Tio Ie Aoa, sudah sejak umur 20 memelajari Tong Shu secara otodidak. Ia mengaku belum sepenuhnya menguasai seluruh pengetahuan yang ada.
Ia lebih mendalami teknik meramal peruntungan orang lewat teknik bazi (baca patze) atau 4 pilar delapan huruf. Empat pilar itu tahun, bulan, hari, dan jam kelahiran seseorang. Keempat pilar itu menurutnya yang menentukan nasib seseorang.
Menurut Prof. Gondomono, kosmologi masyarakat Tionghoa kuno memercayai nasib seseorang sudah ditentukan oleh hubungan sebab akibat dari kekuatan-kekuatan astrologis yang ada sejak seseorang dilahirkan. Namun sejak dulu juga, orang Tionghoa kuno berusaha mengubah nasib mereka dengan memanipulasi kekuatan adi kodrati untuk mendapat bantuan dari perlindungan.
Menurut Ie Giok, nasib buruk seseorang hanya bisa dikurangi agar tak terlalu buruk, bukan diubah jadi lebih baik. Caranya dengan membuat banyak karma baik selama hidup. “Kunci mengubah nasib buruk tergantung moralitas orang itu sendiri,” ujarnya.
Membaca peruntungan juga bisa lewat karakter wajah. Orang Tionghoa kuno percaya wajah bisa menjelaskan segalanya. Buku Tong Shu menurut Ie Giok memiliki puluhan pengetahuan tentang jenis bentuk wajah orang, yang menggambarkan kecenderungan karakter dan peruntungan mereka.
Orang yang memiliki hidung besar dan dahi lebar cenderung memiliki kekuasaan yang hebat. Jika ditempatkan di mana pun, orang itu akan jadi peminpin. Orang yang memiliki daun telinga panjang, tebal, memiliki nasib baik menjadi orang kaya. Sementara orang yang memiliki daun telinga bawah lebih tinggi dari garis alis mata, orang tersebut memiliki garis nasib sebagai pemimpin.
Zaman dulu, tak sembarang orang bisa membaca dan memiliki Tong Shu. Buku biasanya dimiliki kaisar, kalangan bangsawan, dan rakyat terpelajar. Tak heran jika sangat sedikit orang yang ahli Tong Shu. Namun kini, orang dengan mudah bisa membeli dan mengoleksi Tong Shu yang di toko-toko buku dibandrol antara Rp 150.000 - Rp 200.000 per buah..
Soal percaya atau tidak terhadap isi Tong Shu. Herlina Fu, punya sebuah pengalaman. Sekitar sepuluh tahun lalu, saat perjalanan ke luar kota untuk urusan bisnis, ia mengalami kecelakaan. “Saat melakukan perjalanan bertepatan dengan shio yang ciong,” tutur Herlina. Shio yang ciong adalah shio seseorang yang pada hari dan jam tersebut dilarang melakukan kegiatan penting karena peruntungannya kurang bagus. Karena fengsui itu dilanggar, lalu terjadilah kecelakaan.
Meski memercayai Tong Shu, namun Herlina juga percaya bahwa nasib baik seseorang juga tergantung dari perbuatan, ucapan, dan pikiran baik serta mata pencaharian yang benar. “Kalau sejak kecil kita baik, dan yang buruk datang, mungkin itu karma buruk masa lalu. Kuncinya untuk mengubah karma buruk orang harus memperbanyak karma baik, tak perlu selalu pakai uang. Senyum dan kata-kata bagus juga sudah berbuat kebajikan.”