Cerpen

Petualangan Sepasang Mata

petualangan-sepasang-mata

Oleh: Adi Zamzam

Cerita ini dimulai ketika aku menemukanmu melamun sendirian di sudut kafe yang baru saja buka. Seperti sebuah denyut jantung yang berjuang melawan sepi sendirian. Benar-benar sen­dirian. Aku merasa telepon geng­gam di tangan seolah-olah bisa menyelamatkanmu dari tikaman sepi yang tak punya belas kasihan.

Mula-mula aku melompat, la­lu mengendap-endap mendekati mejamu. Kau tak menyadari ke­ha­diranku lantaran terlalu asyik bercinta dengan telepon geng­gam. Seolah sosok di seberang yang mengirimkan percakapan semu, benar-benar nyata ada di ha­dapanmu. Padahal, begitulah, aku jamin, dua puluhan menit ke depan kau pasti akan kembali me­­rasai tikaman sepi. Betapa pun sekarang kau tertawa cekikikan, tak peduli dengan kedatangan se­orang pramusaji yang mengantar­kan pesanan. Jus melon dan roti bakar berbalur meises dan susu. Tawa genitmu, terasa betul dibuat-buat.

Apa kau pikir sosok di sebe­rang dapat terus tertawan oleh ta­wamu itu? Bisa kubayangkan, ketika senyum genitmu itu di­temukan oleh mata yang kelapar­an. Mungkin seperti saat ini. Kau memang terlihat begitu segar dan memesona. Tentu saja aku berbe­da jauh dengan lelaki itu. Bahkan aku memiliki pikiran lain tentang­nya, tipe seperti apa dia.

Mungkin lelaki itu juga tahu, di balik kekenesan berlebihan akan selalu ada sepi menikam. Kegem­bi­raan berlebih, kau tampakkan itu hanyalah sebatas kamuflase untuk menutupi kesepian akut yang mendera. Lihat saja ketika kau terbebas dari sihir telepon geng­gam itu. Ketika melihat lalu-lalang keramaian di bawah sana, kesepian memancar jelas dari ma­ta­mu dan jari-jemarimu yang tiba-tiba beku.

Aku duga, kau pasti enggan turun dan lalu menunggu di sana. Lebih baik kehilangan sedikit uang demi mendapatkan damai di pojok café. Daripada harus menghadapi ratusan pasang mata yang menatap dengan beragam prasangka. Bagaimana tak?

De­ngan bibir merah menyala, bedak tebal pemulus muka. Kaus ketat berbungkus baju gemerlap yang menyuguhkan pemandang­an indah belahan dada. Ditambah celana ketat yang memamerkan berisinya pantat, serta sepatu high heels di atas lima centi, bagaima­na orang-orang tak langsung me­ne­bak bahwa tarifmu tinggi? Ha­nya lelaki berduit yang berani me­nyapa. Selebihnya, pasti para ma­ta yang mencibir atau hanya be­rani menikmatimu diam-diam.

Padahal sebenarnya tidak. Ke­tika sepi mulai bertindak dan kau terkapar di hadapannya lantaran telanjur biasa dengan hiburan.

Duh, betapa menyedihkannya. Menikmati penderitaan yang di­tutup-tutupi dengan kepura-pu­raan. Lihatlah, tidakkah mereka me­lihat ini? Ketika rasa gelisah mulai menguasaimu. Kau bahkan belum menyentuh minuman yang telah diantar. Beberapa kali kau kembali memencet-mencet tele­pon genggam, beberapa kali pula kau terperangkap kekosongan di keramaian bawah sana. Suara be­risik kereta yang datang dan per­gi seolah tak mengganggu pen­dengaranmu.

Mungkin kau tengah memba­yang­kan menjadi salah seorang dari mereka yang hendak pulang ke kampung halaman. O, betapa me­nyakitkannya rindu dengan kampung halaman. Aku bisa turut merasainya, lantaran aku pun me­miliki nasib yang sama.

Di satu sisi kampung itu menyimpan dan menyandera banyak kenangan. Di sisi lain mungkin kampung itu sekarang sudah menganggapmu sebagai orang asing. Kota ini men­ja­dikanmu seorang tawanan, betapa pun kau memiliki kebeba­san untuk melakukan atau menja­di apa pun yang kau suka. Kau pun lantas beranggapan bahwa yang rindu pulang itu hanyalah masa kanakmu belaka. Itulah sebabnya kemudian kau mengin­syafkan diri takkan bisa mengusir rasa rindu itu. Yang bisa kau laku­kan hanya­lah mengecohnya, agar tak sering-sering menimbulkan penderitaan.

Lihatlah, betapa riang wajah­mu ketika telepon genggam kem­bali memperdengarkan nada de­ring. Senyummu melebar lantaran terbebas dari tawanan sepi. Entah apa yang terjadi kemudian, se­nyummu mendadak surut seketi­ka.

“Tak jadi? Kenapa?” Mulutmu mengatup seketika. Telepon genggam kau turunkan tiba-tiba. Kebahagian telah pergi dari wajahmu.

Berselang menit kemudian, ke­dua matamu tertambat ke mi­nu­man yang lama kau acuhkan. Untung tadi aku telah melompat turun ke bawah kursi di hadapan­mu. Dari posisi strategis ini, aku bisa leluasa menikmati matamu, mengintip sepi yang berdiam di sana.

Dadaku sudah berdetak ken­cang membayangkan andai tadi kau mengambil gelas itu dan lalu menemukanku di sebaliknya. Kau tahu, mengamati seseorang tak akan menarik lagi jika yang di­amati mulai menemukanmu. Apalagi jika yang kau amati sadar bahwa ia merupakan objek yang menarik untuk diamati. Matanya pasti kemudian akan menertawa­kan dan mengejekmu habis-ha­bisan.

“Hahaha…, kena kailku kau ya!” lalu dirinya pun akan sengaja menjadikan seluruh tubuh sebagai umpan. Kemudian kau terseret-seret, syukur-syukur jika kemudi­an kau mendekatinya untuk me­mangsa atau rela dimangsa dan lalu terjerat dalam hubungan yang entah apa namanya.

Jadi, memang lebih baik tidak ketahuan seperti ini. Misalnya saja ketika kau lengah dan beralih ke arah lalu-lalang orang-orang yang menunggu atau gegas setelah men­dengar suara kedatangan kereta. Stasiun Gambir seolah telah mencuri nyawamu. Orang yang tengah tertawan sepi biasa­nya kewaspadaannya selalu ber­kurang.

Aku pun bisa leluasa melom­pat ke rambutmu saat kesadaran­mu masih tercuri. Sejenak aku ma­buk aroma wanginya. Ah, ter­nyata masih shampoo dan parfum merk itu! Sejenak aku tersesat dalam belantara hitamnya. Hitam wangi yang entah sudah berapa kali dijamah tangan-tangan asing.

Barangkali saja, kau tengah menunggu seseorang yang sudah mengumbar janji. Kau sebenar­nya sudah bersungguh-sungguh ingin berhenti menjadi makanan berjalan. Kau capek memberi ma­kan mata-mata liar yang hanya sekadar ingin mencicipi keelokan rupa dalam alam fantasi. Nyatanya apa yang terjadi?

Kali ini pun ter­nyata sama saja. Setelah uang menyelesaikan transaksi, janji-jan­ji masih saja mudah diingkari. Kau masih saja dianggap sebagai stasiun,  tempat singgah untuk pulang dan pergi dari rasa penat yang sewaktu-waktu menyergap. Apakah mungkin persoalannya lantaran kau sebatang kara?

Sekian waktu sebatang kara, toh dadamu tetap terlihat tabah dan tangguh memperlihatkan diri. Di atas alun gerak rambutmu yang bergelombang, sesekali aku bisa menyaksikan dua bukit kembar yang amat menantang itu. Entah sudah berapa pasang mata yang pernah bertamasya ke sana. Entah sudah berapa tangan yang menya­pa dengan hasrat sesaat. Padahal pastilah kau juga pernah capek menantang realita, semua yang berduit hanya menganggapnya se­bagai tempat bermain-main belaka.

Betapa aku jadi ingin datang secara jantan kepadamu untuk bi­lang, “Apakah kau bersedia denganku? Kita senasib di kota ini. Kita sama-sama pendatang yang selalu kesepian. Bukan uang yang kutawarkan, tapi ketulusan. Bagaimana?” Kau pasti akan lang­sung mencibirku dan bahkan mungkin akan bilang, “Perbaiki saja nasibmu yang tak lebih baik dariku itu.”

Kita memang pernah saling butuh. Kita adalah masing-masing yang sendiri-sendiri.

Aku tahu, di balik dandanan­mu yang ingar itu sebenarnya kau merindukan ketenangan untuk ber­teduh. Aku tahu, lagakmu yang sok menantang sebenarnya ha­nya­lah kamuflase untuk me­nyem­bunyikan ketakutanmu jika diabaikan dunia. Kau sudah ter­lalu lama diabaikan. Kau takut ji­ka hanya sepi yang peduli de­nganmu. Itulah mengapa akhirnya kau rela menerima kehadiran uang, kau rela menyambut keda­tangan orang-orang yang sekadar iseng bertamu.

Alangkah menyedihkannya nasibmu….

*  *  *

“Hendraaa…!”

Aku tersentak mendengar suara yang amat kukenal itu. Sampai kukira itu suaramu. Aku buru-buru menyelusup sembunyi ke balik gelombang hitam rambut­mu.

“Maaf kalau kenyamanan Mbak jadi terganggu. Apakah Mbak mau pesan menu lagi?” ujar suara yang memanggilku tadi. Membuatmu menggeleng dan lalu meletakkan minuman yang baru saja kau pedulikan.

“Sekali lagi maaf ya, Mbak….”

Aku hampir saja terpekik ke­tika tangan suara itu menemukan tempat persembunyianku. Tanpa belas kasihan dia segera memu­ngut­ku dari wangi rambutmu dan menyusupkanku di saku baju. Aku meronta-ronta. Sia-sia saja.

Dia bahkan menamparku de­ngan kalimat kasar begitu me­ngembalikanku ke rumahku. Se­orang pemuda yang kehilangan dua bola mata, diam-diam meng­amati seorang perempuan yang tengah duduk sendirian di sudut kafe.

“Pekerjaanmu masih banyak! Kau digaji bukan untuk bengong setiap kali ada pelanggan cantik!” semburnya.

Aku pun kembali terpuruk ke setumpuk pesanan menu yang su­dah menunggu. Bau masakan dari bilik sebelah telah mengem­balikan kesadaranku secara pe­nuh. Aku harus segera mengantar makanan ke meja lain yang baru saja mengirimkan menu pesanan. Oh, selamat tinggal hai perempu­an yang kesepian…

“Maaf, ini, sekadar untuk uang jajanmu,” suaramu di malam itu kembali mengiang jelas di telinga­ku. Suara yang menggoyahkan iman seorang pramuniaga jomlo dengan gaji pas-pasan. Padahal ada banyak hal yang ingin ku­sampaikan kepadamu. Sebelum semuanya berakhir begitu saja. Dengan mudahnya.

Seperti sebuah transaksi. Se­perti SMS-mu yang tiba-tiba ma­suk ke dalam nomorku, hingga kemudian mengunci rasa kepena­saranku. Dan lalu semalam suntuk khayalanku terbawa-bawa ke du­nia fantasi. Padahal, seperti yang kita tahu, kesepian ini abadi.

Duh, sebenarnya aku butuh to­pi untuk bersembunyi dan me­nyembunyikan kegugupan ini. Biarlah. Biarlah dia juga tahu, aku juga bekerja. Tak hanya menjaja­kan kesenangan sesaat bagi orang-orang yang berniat membe­linya.

Baiklah, mata. Mari tinggalkan saja dia dengan kamuflasenya itu. Toh nanti, kalau butuh, dia mungkin bisa memanggilmu lagi. Mari, urus saja kesepianmu sen­diri yang kadang begitu menyiksa ini.

Stasiun Gambir, 15 April 2016-2017.

()

Baca Juga

Rekomendasi