Kemampuan India Menjadi “Negara Adikuasa” Dipertanyakan

kemampuan-india-menjadi-negara-adikuasa-dipertanyakan
New Delhi, (Analisa). Di sepanjang sejarah, para menteri keuangan India selalu membawa dokumen anggaran tahunan mereka ke Parlemen dalam sebuah tas kantor. Gaya klasik itu menjadi ciri khas potret mereka yang keesokan harinya terpampang di halaman depan surat kabar.

Namun, tradisi itu tidak lagi dite­rus­kan oleh menteri keuangan India yang baru, Nirmala Sitharaman, sosok wanita pertama yang menjabat posisi tersebut. Jumat pekan lalu, Sitharaman membawa dokumen anggaran tahunan dalam balutan kain merah yang dilipat -- sejenis kain yang biasa digunakan sebagian komunitas pedagang di India untuk menyimpan catatan mereka.

Setelah menggemparkan media de­ngan gayanya yang berbeda dari men­teri-menteri keuangan sebelum­nya, wakil menteri keuangan Sitharaman me­njelaskan menteri keuangan baru itu memang sengaja meninggalkan tra­disi lama yang diwarisi dari bangsa Ing­gris itu. Perubahan yang digagas Sit­haraman merupakan langkah awal India menuju “negara yang sangat kuat (adikuasa)”. Tetapi di balik pernyataan tersebut, kemampuan India justru di­pertanyakan. Apakah pemerintah pa­ham betul apa makna “adikuasa” dan apa­kah anggaran yang disiapkan pe­merintah mampu membawa India men­jadi “negara adikuasa”?

Salah satu hal yang menggelitik rasa penasaran yakni alokasi anggaran pe­merintah untuk pelayanan dan pera­watan negara terhadap angkatan ber­sen­jata India. Di bawah kepe­mimpinan Sitharaman, pengeluaran untuk per­tahanan nyaris tidak mendapat per­ha­tian. Dalam separuh pidato perta­ma­nya di hadapan publik, menteri keua­ngan itu bahkan tidak menyebutkan berapa angka yang akan dialokasikan.

Sektor pertahanan India mungkin dikesampingkan karena selama pe­merintahan Perdana Menteri Narendra Modi, pengeluaran untuk sektor terse­but hampir stagnan tidak mengikuti laju inflasi selama bertahun-tahun. Bah­kan, nilai persentasenya men­capai rekor terendah dari produk do­mestik bruto (PDB). Sejak Tiong­kok mem­per­malukan India dalam pe­rang pe­r­batasan yang traumatis pada 1962, pe­merin­ta­han di zaman siapapun terus menekan pengeluaran untuk perta­hanan. Tahun lalu pengeluaran ke sek­tor itu kurang dari 1,6 persen dari PDB.

Bermisikan menjadi “negara adi­kua­sa” di abad ke 21, alih-alih me­majukan sektor pertahanan, mungkin Pe­merintah In­dia mengalokasikan le­bih banyak anggaran ke rakyatnya sen­diri. Tapi nya­tanya, alokasi anggaran untuk pendi­d­i­kan hanya 3,4 persen -- turun dari alokasi anggaran tahun lalu 3,7 persen dan 4,3 persen pada 2014 saat Modi pertama kali mengambil alih kepemimpinan. Sementara alokasi anggaran untuk kesehatan hanya 1 persen dari PDB. Belanja modal juga ditekan dari 9,2 triliun rupee pada tahun lalu menjadi hanya 8,7 triliun ru­pee tahun ini.

Kelompok tani India juga masih perlu mendapat perhatian khusus. Me­reka sangat membutuhkan refor­masi pertanian yang memungkinkan ter­bukanya akses ke pasar nasional dan internasional daripada hanya sekadar bergantung pada pengadaan pemerin­tah. Namun, belum ada tanda-tanda per­ubahan dalam agenda pemerintah mes­kipun jelas-jelas program penga­daan India memicu kontroversi di Or­ganisasi Perdagangan Dunia (WTO). Program itu juga menjadi ham­batan utama India untuk melaju ke perun­dingan dagang multilateral.

Banyak tantangan

Saat ini India dihadapkan pada tan­tangan-tantangan perlambatan siklis dan struktural. Awalnya dipicu oleh kemacetan kredit dan investasi, dengan laju peluncuran proyek-proyek baru yang merosot ke level rendah 14 tahun pada 2018. Perlambatan yang sekarang lebih disebabkan oleh krisis manu­fak­tur dan ekspor akibat lemahnya ke­ahlian dan daya saing India.

Anggaran tahunan Sitharaman me­nawarkan harapan solusi bagi per­masalahan kredit dan investasi. Per­usa­haan-perusahaan keuangan non-per­bankan India akan diberi bantuan sedangkan bank-bank sektor publik akan direkapitalisasi dan kelompok bis­nis kecil akan difasilitasi dengan pin­jaman berbunga rendah serta pen­cairan dana yang lebih cepat.

Pemerintah juga mengumumkan akan mulai menerbitkanobligasi ber­de­nominasi dolar -- satu hal yang sebe­lumnya menjadi ketakutan besar bagi Pemerintah India. Langkah besar ini di­harapkan mampu mendorong inves­tasi sektor swasta dan bukan digunakan untuk belanja pemerintah. Penerbitan obl­igasi India berdenominasi dolar men­jadi kabar baik di pasar-pasar obli­gasi dan mungkin semakin membuka ruang bagi Bank Sentral India (RBI) untuk melanjutkan penurunan suku bunga.

Kendati demikian, kemampuan Ind­ia untuk tampil kuat dan bertahan dalam jangka panjang tetap belum me­yakinkan. Kegagalan program ke­ahlian yang digagas oleh pemerintah tidak memadai anggaran. Bukannya mendorong pertumbuhan ekspor de­nga­n daya saing yang lebih mum­puni masuk ke rantai pasokan global, Shi­taraman justru melanjutkan kebijakan Modi yang semena-mena menaikkan tarif impor untuk melindungi industri dalam negeri.

Dengan banyaknya tantangan yang harus dilewati, India mungkin masih belum layak menjadi “negara adi­kua­sa”, bahkan untuk disebut sebagai ne­gara yang perekonomiannya ada di zo­na nyaman dengan pendapatan mene­ngah ke atas sekalipun. (Blmbrg/asri)

()

Baca Juga

Rekomendasi