Teknologi Industri Garam 4.0

teknologi-industri-garam-4-0

Oleh : Anwar Saragih.

Linimasa media sosial kita saat ini sedang dihebohkan oleh pembe­ritaan ihwal merosotnya harga jual garam konsumsi di tingkat petambak yang jatuh ke posisi Rp400 per Kg, padahal normalnya harga garam kon­sumsi berada di kisaran Rp 750- Rp 800 per Kg (14/7/2019). Sementara pada pemberitaan yang lain, Kemen­terian Perindustrian secara rutin me­lakukan kebijakan impor dari luar negeri. Berbagai spekulasi kemudian bermunculan, utamanya berkaitan dengan rendahnya kualitas garam yang diproduksi oleh para petani ga­ram di Indonesia.

Situasi seperti ini tentu anomali. Sebab, pasti ada yang salah dengan kita ketika Indonesia sebagai negara maritim tapi rutin mengimpor garam setiap tahunnya. Alasannya Indonesia memiliki garis pantai ke-2 (kedua)  terpanjang di dunia, dengan panjang  99.093 kilometer seharusnya persoa­lan kebutuhan garam nasional bisa selalu terpenuhi tanpa ada hambatan. Namun, persoalan tata niaga garam rutin menjadi masalah yang dihadapi oleh pemerintah dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Seperti; kelangkaan, harga yang tinggi dan kualitas yang buruk hingga impor garam berjumlah besar terus terjadi. Dimana menurut data Kementrian Perindustrian tahun 2019 menyebutkan dari 3,9 juta ton garam untuk kebutuhan nasional, sebesar 2,7 juta ton harus di impor dari China dan Australia.

Industri manufaktur yang berhu­bungan dengan sustainbilitas produk­si garam nasional menjadi faktor uta­ma mengapa sampai saat ini peme­rintah rutin mengimpor garam. Faktor lainnya berkaitan dengan proses produksi yang masih mengandalkan alat tradisional yang membutuhkan waktu 14-20 hari untuk proses pe­ngeringan. Membuat para petani ga­ram rentan mengalami gagal panen karena cuaca yang tidak menentu. Le­bih lanjut, dalam proses pengeri­ngan para petani garam masih meng­an­dalkan sinar matahari, pengeruk kayu dan kincir angin.

Padahal Indonesia punya luasan la­han yang sangat besar. Dimana me­nurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan; luas lahan tambak garam di Indonesia ada­lah 26.024 hektar. Dengan asumsi 1 hektar lahan bisa menghasilkan rata-rata 1 ton maka potensi produksi garam yang bisa dihasilkan dalam skala nasional adalah 26 juta ton per­tahunnya.

Artinya kita membutuhkan inovasi dalam meningkatkan produksi garam, dari aktivitas yang semula sifatnya tradisional ke arah yang lebih modern untuk mengatasi persoalan impor ini. Apalagi di era revolusi industri 4.0 telah berdampak pada disrupsi teknologi yang mengharus­kan semua sektor industri termasuk industri ga­ram harus berbenah mengikuti per­kembangan zaman. Lebih lagi, di era ini segala aktivitas industri telah  menggunakan big data, teknologi robotic, cloud computing (penyim­pan­an data di awan) dan internet of things (internet cepat) dalam proses industri dari hulu ke hilir. Konsep Teknologi Industri 4.0 di sektor in­dustri garam tentu menjadi peluang besar sebagai roadmap (peta jalan) dalam sinergitas rencana, target dan capaian industri garam di Indonesia.

Data United States Geological Survey (USGS) tahun 2016 merilis negara-negara produsen garam ter­besar di dunia. Dua negara Asia yaitu China dan India masuk dalam 10 (sepuluh) urutan teratas penghasil garam terbesar di dunia. Dimana negara China dengan garis pantai 14.500 kilometer berada di urutan pertama dengan jumlah produksinya sekitar 58 juta ton pertahunnya. Se­mentara India yang memiliki garis pantai 7.000 kilometer mampu mem­produksi garam sebanyak 19 juta ton. Kedua negara tersebut memiliki stra­tegi yang hampir sama dalam hal tata niaga garam dengan memanfaatkan teknologi secara efektif dan efisien. Utamanya dengan memperbaiki kua­litas garam yang akan dipasarkan, pro­dusen garam di negara tersebut memastikan kualitas garam yang bersih dan bebas dari kotoran.

Hui Wang, Xuegong Xu  & Gaoru Zhu (2015) menulis jurnal yang ber­judul ; Landscape Changes and a Salt Production Sustainable Approach in the State of Salt Pan Area Decreasing on the Coast of Tianjin, China” me­nyebutkan stategi negara China khu­susnya Kota Tianjin dalam mening­katkan produksi garam adalah me­rekonstruksi lahan-lahan pertanian garam di pesisir dengan menggu­na­kan teknologi terbaru. Langkah utama adalah bagaimana menghasilkan ga­ram dengan kualitas tinggi dengan Natrium Klorida (NaCL) yang kadar­nya mencapai 96-99 persen dengan cara memanfaatkan pesisir laut, tek­nologi dan bahan kimia yang bisa me­mangkas waktu pengeringan men­ja­di 4-6 hari. Kemudian, Banumathi & Nadarajan (2015) menulis jurnal yang berjudul “Marketing Strategies And Practices With Reference To Salt Industries In Tamil Nadu India” menyebutkan strategi produksi dan pemasaran garam di India dilakukan menggunakan teknologi kimiawi un­tuk menghilangkan kotoran demi mendapatkan kemurnian NaCL sebe­sar 99,5 persen.

Artinya baik China dan India me­miliki pola sama terkait produksi yang mengekstrasikan garam mereka ke laboratorium terlebih dahulu untuk dimodifikasi menjadi butiran halus sehingga menghasilkan kemurnia dan kadar NaCL yang tinggi. Sebab, per­soalan utama dari garam yang diha­silkan oleh petani Indonesia adalah terkait kualitas. Pun 60% kebutuhan garam nasional diperuntukkan untuk industri dan sisanya 40% untuk kebutuhan konsumsi.

Teknologi Industri Garam 4.0

Pemerintah memiliki posisi sentral dalam mengatasi persoalan garam di Indonesia. Karena berdampak luas bagi tata niaga garam yang berkaitan dengan relasi produsen dan konsu­men di pasar. Apalagi pemerintah me­mi­liki kewenangan terkait kebija­kan rekonstruksi, zonasi dan ekstensi­fi­kasi lahan pertanian garam yang ber­dampak langsung kepada petani ga­ram, yang menjadi ujung tombak pro­duksi garam dalam negeri.

Kesimpulannya, pemerintah harus membuat inovasi baru berbasis tek­nologi industri garam 4.0. Khususnya terkait program revitalisasi lahan yang steril, sistem terpadu dalam pe­ngeringan dan perlindungan risiko bencana alam serta meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) mela­lui pelatihan-pelatihan penggunaan teknologi dalam hal prakiraan cuaca melalui aplikasi gadged (gawai).

Kerjasama antar pemangku ke­pentingan (stakeholder) terkait ko­moditas garam, seperti; Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ke­menterian Perindustrian dan Kemen­terian Perdagangan harus dilakukan secara kemitraan. Terutama dalam hal penyajian data yang kerap berbeda antara instansi kementrian yang satu dan lainnya. Artinya kita masih me­miliki pekerjaan rumah terkait big data tata niaga garam yang berdampak luas dari hulu ke hilir industrialisasi garam di Indonesia.

Disamping sinergitas antar ke­men­trian tersebut, pemangku kepen­ti­ngan lainya seperti; pemerintah dae­rah, pengusaha dan petani garam harus ter­libat dan bekerjasama dalam kon­sep kemitraan. Khususnya men­do­­rong pengusaha dan pelaku Infor­masi Teknologi (IT) berinvestasi da­lam aplikasi teknologi garam 4.0 de­ngan membentuk Usaha Kecil Mene­ngah (UKM) garam yang terintegrasi untuk tujuan memenuhi kepastian usaha, infrastuktur pasar dan penggu­naan teknologi  dalam rangka mening­kat­kan kemurnian NaCL demi kuali­tas garam yang tinggi.

Harapannya jika konsep teknologi industri garam 4.0 yang berbasiskan kemitraan ini  dilaksanakan, niscaya kedepannya bangsa Indonesia akan bisa swasembada garam. Tercapainya  swasembada garam  akan menjadi modal yang penting bagi Indonesia sebagai negara maritim menghadapi bonus demografi tahun 2030 dan Indonesia emas tahun 2045. ***

Penulis adalah dosen Ilmu Politik FISIP USU dan Peneliti di Lembaga Penelitian dan Pengembangan FISIP USU.

()

Baca Juga

Rekomendasi