Oleh: Jonson Rajagukguk SSos MAP.
Hiruk pikuk koalisi meminta jabatan menteri dalam kabinet Jokowi adalah hal yang wajar dalam dinamika demokrasi. Dalam politik praktis kita sering mendengar istilah “no free lunch” (tidak ada maka siang yang gratis). Koalisi yang dibangun oleh kubu Prabowo Subianto yang terdiri Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat, PAN, dan partai lainnya kini di persimpangan jalan. Masa depan parpol oposisi jadi melemah karena paradigma berpikir yang salah (misquided thought). Disinyalir ada parpol yang tidak siap jadi oposisi murni (pure opposition) dengan alasan tidak mendapatkan apa-apa. Padahal, dalam demokrasi yang berkelanjutan butuh oposisi murni yang cerdas, kritis, sehat dan membangun.
Jika jagat perpolitikan kita tidak punya oposisi sehat dan membangun, ini adalah sebuah kemunduran besar. Ingat teori Lord Acton yang mengatakan “power tend to corrupt” (kekuasaan cenderung korupsi). Intinya, kekuasaan butuh pengawasan agar berjalan dengan baik dan benar.
Ketika koalisi sedang jadi pembahasan siapa mendapatkan apa dalam hal perebutan jatah menteri, apakah elite politik lupa bahwa yang paling bagus dalam membangun koalisi adalah berkoalisi dengan rakyat. Rakyat adalah pemilik kedaulatan. Yang memilih Jokowi-Ma’ruf Amin adalah rakyat. Sudah seharusnya Jokowi dan Maruf harus lebih takut kepada rakyat daripada parpol yang mengusungnya (koalisi parpolnya). Dalam hal ini, paradigma berpikir rakyat adalah tuan atas Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ke depan harus dilembagakan dengan baik dan benar.
Masalahnya, apakah dalam posisi partai oposisi atau partai yang mendapat jatah menteri semuanya nantinya akan bermuara kepada upaya memperjuangkan kepentingan rakyat yang lebih besar. Mengapa demikian? Bukankah dalam tata kelola pemerintahan dalam arti luas (eksekutif dan legislatif) dan pemerintah dalam arti sempit (eksekutif) semuanya akan memperjuangkan kepentingan rakyat? Dalam hal inilah semua parpol harus menyadari, menjadi oposisi atau bergabung dengan pemerintah sama-sama bagus dalam posisi memperjuangkan rakyat (fighting for the people).
Kembali kepada topik berkoalisi dengan rakyat, seperti apa terjemahan berkoalisi dengan rakyat? Berkoalisi dengan rakyat punya terjemahan atau turunan sebagai berikut. Pertama, dalam memperjuangkan rakyat tentu tidak cukup dengan wacana atau cerita. Selain program yang konkret, butuh komitmen dan implementasi langsung, di mana indikator program itu tentu kata kuncinya adalah dampak yang ditimbulkan (out come). Semua program pemerintah, apakah program pembangunan, program pendidikan, program kesehatan semuanya didanai oleh APBN yang notabene adalah uang rakyat. Untuk itu, program itu harus punya parameter yang jelas dan terukur (the parameters are clear).
Parameter itu bisa dikur dengan angka statistik, indicator-indikator yang bisa dilihat di lapangan, serta kemanfaatan dari program itu (kemaslahatan bersama). Untuk itu, niat yang baik dalam menjalankan program dan tidak melakukan korupsi adalah hal yang paling utama dalam menjalankan program pemerintah. Selama ini kegagalan pembangunan di negara kita salah satu faktor penyebabnya karena tata kelola yang tidak bagus (tidak profesional) dan juga tingkat korupsi yang sangat parah. Akibatnya, program apapun yang dijalankan oleh pemerintah semuanya mengalami kegagalan. Untuk itu, revolusi mental dalam konteks inilah sangat dibutuhkan agar tata kelola program pembangunan bisa berjalan dengan baik dan punya manfaat yang sangat besar bagi rakyat.
Paradigma pemahaman seperti ini harus dimiliki oleh parpol. Berkoalisi dengan rakyat berarti punya pengertian bahwa aspirasi masyarakat dalam bidang pembangunan, pelayanan publik harus didahulukan dengan cepat, efektif, dan efisien. Dengan demikian, memperjuangkan kepentingan rakyat bukan hanya sekadar “lips service” semata, atau komoditas politik semata.
Kedua, berkoalisi dengan rakyat berarti menjadikan rakyat sebagai “tuan” atau “majikan”. Biasanya pekerja sangat takut kepada majikan. Semua parpol, apakah dalam kabinet atau di luar kebinet nantinya harus menempatkan rakyat sebagai tuan yang harus dilayani. Bahkan pertanggungjawaban yang paling tinggi tentu kepada rakyat. Anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden Jokowi dan Ma’ruf perlu menyadari sedini mungkin paradigma berpikir rakyat adalah majikan mereka (the people are sir). Kalau bukan karena rakyat tentu mereka-mereka tidak akan terpilih. Untuk itu, mengelola kepercayaan rakyat (social trust) adalah hal yang sangat penting untuk dipahami.
Modal sosial yang telah diberikan oleh rakyat ini dalam bentuk kepercayaan (public trust) ini harus dikelola dengan baik dengan memberikan rakyat “kue pembangunan” atau arah berbangsa yang benar dan baik dengan capaian-capaian yang bermanfaat bagi rakyat. Untuk itu, kata kunci dalam mengelola kepercayaan rakyat ini adalah menjadi pemerintah dan legsilator yang inovatif, berintegritas dan punya visi jauh ke depan. Perilaku pemerintahan dan legislator yang ditampilkan adalah perilaku yang jauh dari korupsi.
Pengalaman kita membuktikan banyak gubernur, anggota DPR yang terkena OTT oleh KPK adalah wujud nyata bahwa korupsi adalah ancaman nasional yang sangat nyata bagi bangsa ini. Gaji besar yang cukup dan fasilitas pendukung lainnya bukan jaminan perilaku korupsi sudah hilang. Bahkan cenderung makin menjadi-jadi, sekalipun sudah banyak yang terkena OTT.
Penutup
Apapun peran yang dilakukan oleh partai yang masuk kabinet (partai pendukung pemerintah) dan partai oposisi (di luar pemerintah) semuanya itu sangat bagus. Demokrasi yang sehat dan maju (good democracy) butuh oposisi yang membangun pula. Saatnya semua parpol yang berkoalisi memikirkan bahwa koalisi yang paling penting dilakukan adalah berkoalisi dengan rakyat (coalition with the people). Berkoalisi dengan rakyat adalah amanah tunggal demokrasi karena dalam demokrasi pertanggungjawaban tertinggi pekerjaan seorang politisi adalah kepada rakyat. Untuk itu, semua koalisi yang dibangun harus punya pemahaman yang sama, visi yang sama, bahwa berkoalisi dengan rakyat adalah keharusan dan tanggung jawab tertinggi (highest responsibility) dalam kehidupan demokrasi.***
Penulis adalah Pengajar Tetap Prodi Administrasi Publik FISIP Universitas HKBP Nommensen Medan/Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unimed Medan.