Cerpen

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

aku-ingin-mencintaimu-dengan-sederhana

Oleh: Ramajani Sinaga. Pernah lihat cewek nangis? Aku pernah. Baru saja aku lihat cewek nangis di sudut sekolah. Tempat yang sangat bau pesing. Aku melihat dia menangis di sana, memegang ujung rok.

“Kenapa nangis di situ? Bau pesing di sana! Mau saya kasih tahu tempat nangis paling enak di dunia? Dijamin, pasti makin enak nangisnya,” kataku.

Aku yakin seratus persen dia pasti mendengar uca­panku. Tapi, dia tidak menjawab sama sekali. Ka­lau sampai kedapatan Sir Hans, guru bahasa Inggris yang suka cerita jin, aku pastikan dia tidak bakal sela­mat dunia akhirat. Apa pun alasannya, mau datang bu­lan atau datang meteor sekalipun, kecuali dia bisa me­rayu guru bahasa Inggris itu dengan cerita-cerita jin.

“Di sana ada pohon rindang yang enak buat nangis. Mau nangis di sana?”

Cewek itu mengangkat dagu dan menatapku tajam seakan dia akan berubah menjadi medusa, perempuan berambut ular dalam cerita-cerita Yunani kuno. Dari matanya yang merah, aku yakin dia sudah menangis lama sekali. Bisa saja sehabis upacara bendera tadi dia langsung ke sini dan menangis. Dia? Dia adalah sahabat pacarku. Namanya Rhizoma.

Rhizoma? Aku yakin bisa menyebut namanya waktu pelajaran Biologi. Kali ini Rhizoma berdiri. Menatapku dengan muka menantang.

“Tahu apa kau tentang masalahku!” kemudian dia pergi.

Aku terpana. Tidak pernah kulihat Rhizoma sampai marah begini. Sekalipun kami memang­gilnya hei, akar-akaran! atau hai, materi biologi, kenapa harus namanya Rhizoma. Kenapa tidak perkawinan saja! Tapi kali ini, ia benar-benar menangis. Aku tidak yakin ia menangis hanya karena kegagalannya. Ia kalah lomba menulis cerita pendek. Yang mengalahkannya adalah sahabatnya sendiri, pacarku, Marsha.

* * *

Aku berjalan di koridor sekolah dan Marsha tampak berjalan di ujung koridor.

“Selamat, Sang Juara Cerpen,” kataku.

“Sama-sama, Sang Juara Melukis,” jawabnya tersenyum.

“Eh, tunggu, sahabat kamu tadi nangis di belakang sekolah. Di samping lab IPA.”

Marsha diam membisu.

“Marsha...”

“Iya, eh, aku tadi dipanggil Bu Yusmareta. Aku ke ruang guru dulu, ya?“

Marsha pergi begitu saja.

Yap, aku memang tidak mengerti persahabatan Marsha dan Rhizoma. Tapi yang jelas, aku pernah mendengar bahwa setiap persahabatan akan diuji. Minimal sekali seumur hidup. Sekarang, aku bisa merasakan, persahabatan Marsha dan Rhizoma benar-benar diuji.

Baru beberapa menit aku melangkah menuju kelas, Didy, ketua OSIS muncul, lengkap dengan muka wibawanya.

“Kau tahu kenapa pacarmu menang?” katanya tiba-tiba.

Aku menatapnya tidak mengerti.

“Bro, jangan kayak jelangkung. Datang tiba tiba. Bicara tiba tiba.” Dari raut mukanya, aku bisa menyimpulkan bahwa ia tak tertarik dengan ucapanku.

“Pacarmu menang karena plagiat. Plagiat!”

Aku merasakan dadaku berdesir keras. “Apa maksudmu?”

“Pacarmu memplagiat cerpen sahabatnya sendiri. Ini semua karena ulahmu.”

Dan.... aku yakin, Rhizoma menangis di tempat tadi setelah pengumuman lomba menulis cerpen. Aku yakin Marsha tidak salah. Dan... aku yakin, persa­ha­batan mereka benar-benar sedang diuji. Apa Marsha benar benar memplagiat cerpen Rhizoma?

“Ada berkas cerpen hasil lomba cerpen?”

Ia menaikkan sedikit alisnya. Menatapku penasaran.

“Untuk apa ya, Wahai Baginda?”

“Tunjukkan saja. Kan kamu panitianya?”

“Boleh, aku sudah pajang di mading.”

Dengan langkah panjang-panjang, aku berjalan menuju mading. Di sana, sebuah cerpen sang juara dipajang. Sebuah cerpen dengan judul: Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana.

Aku menahan napas. Aku membaca cerita itu dengan teliti. Aku kenal Marsha. Dia tak akan bisa menulis sejauh ini. Dan kalimat aku ingin mencin­taimu dengan sederhana adalah karya puisi Sapardi Djoko Damono. Aku tak yakin Marsha tahu puisi Sapardi Djoko Damono.

* * *

“Marsha...”

Marsha menyembunyikan wajahnya dariku.

“Kau harus bilang sesuatu padaku untuk menjelaskan semua ini.”

“Ya, aku memang memplagiat cerpen Rhizoma! Apakah hatimu sudah puas sekarang?” suaranya bergetar.

“Pekerja seni, mau penulis, pelukis, pencipta lagu dilarang keras memplagiat karya orang lain! Memplagiat sama saja membunuh masa depanmu! Terlebih yang kau plagiat adalah karya sahabatmu sendiri,” kataku berapi-api.

“Semua ini karenamu! Kalau saja kau tak bilang aku ingin berbagi ilustrasiku dengan ceritamu, aku tak akan memplagiat. Kau selalu bilang penulis dan pelukis itu dekat sekali. Penulis dan pelukis adalah jodoh kesenian. Kau pelukis hebat. Lukisanmu selalu menang lomba. Aku harus bisa menjadi penulis hebat. Biar aku bisa membagikan ceritaku bersama ilustrasimu. Aku tidak mau kau berbagi cerita dan lukisan bersama Rhizoma. Aku tak mau.”

“Kau salah, Marsha. Kau salah besar. Aku bilang ingin berbagi lukisanku dengan ceritamu yang apa adanya, dan aku tak pernah bilang ingin berbagi lukisanku dengan cerita bagus tapi bukan goresan tangan dan pikiranmu. Orang yang plagiat adalah orang yang tidak percaya dengan dirinya sendiri, Marsha. Kau harus percaya dengan dirimu sendiri. Aku harus melaporkan ini ke Ibu Yus­mareta.” Aku langsung mundur beberapa langkah meninggalkannya.

Marsha menangis hebat. Aku mendengarnya terisak-isak. “Marsha, sekarang kau boleh menangis. Sekarang kau boleh melepaskan aku untuk sesaat dan belajar memahami untuk menjadi dirimu sendiri. Belajar menjadi dirimu sendiri hingga menjadi sesuatu yang berharga di mata orang lain. Marsha, aku men­cintaimu dengan sederhana. Aku mencin­taimu apa adanya. Dan, Marsha, maukah kau berbagi ceritamu yang sederhana dengan lukisanku yang apa adanya?” kataku dalam hati sambil melangkah mantap menuju kantor guru, untuk meluruskan permasalahan ini. 

* Desember 2018

* Penulis, guru SD dan SMA Methodist Banda Aceh

()

Baca Juga

Rekomendasi