
Oleh: War Djamil. INI lebih kepada tugas bagi wartawan. Terlebih bagi mereka yang menjadi redaktur atau pengasuh rubrik. Ini langkah yang harus dilakukan. Tak berlebihan jika disebutkan kalau “sensor diri” ini lebih dititikberatkan pada tingkat kemampuan wartawan saat melakukan pilihan atas sejumlah informasi yang akan disiarkan dalam medianya.
Ya, tatkala karena kompetensinya harus melakukan seleksi atas informasi, berita, tulisan, foto atau karikatur guna menentukan apakah patut untuk di-publish atau tidak. Ini bukan pekerjaan gampang. Tetapi sesungguhnya bukanlah yang sulit bagi mereka yang sehari-hari menangani tugas tersebut.
Mungkin muncul pertanyaan: Mengapa disebut “sensor diri”?. Dan, apakah para wartawan sudah memahami arti penting sekaligus sudah menerapkan dalam pekerjaan keseharian ?
Dalam profesi pers seyogianya self censorship salah satu hal penting yang menjadi bagian tak terpisahkan ketika wartawan menerapkan kode etik jurnalistik (KEJ).
Secara lebih mendalam, sesungguhnya bukan hanya dalam proses seleksi atas informasi yang akan disiarkan. Tetapi lebih awal dari itu yakni ketika wartawan menulis hasil liputan. Mengapa ?
Sejak langkah pertama itu, wartawan telah mempertimbangkan dengan sangat bijaksana tentang layak atau tidak informasi itu disiarkan. Dari berbagai sisi dipertimbangkan, terutama dengan mengacu pada KEJ, lalu dengan kepekaan menganalisa akibat yang mungkin timbul dari informasi: positif atau negatif !
Kalau misalnya akan melahirkan gejolak sosial, seumpama terkait suku, agama, ras, antar golongan (= SARA) atau bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, informasi itu layak disimpan saja. Sensitif menjadi bagian dari self censorship.
Hal umum dalam profesi ini, tidak semua informasi layak diberitakan. Di sini ada berbagai faktor yang dinilai. Tindakan ini, tak terlepas dari profesionalisme.
Ya, mereka yang berada dalam profesi ini dituntut untuk bekerja secara profesional dalam arti menyeluruh. Sejak meliput, lalu tahapan penyusunan (pembuatan) hasil liputan sampai saat sajian itu siap disiarkan.
Wartawan profesional diyakini tetap akan melakukan “sensor diri”. Sudah melekat secara utuh tatkala karya jurnalistik itu akan dipublikasikan. Ini pula agaknya menjadi ukuran tentang betapa profesionalisme itu bukan sekadar penyebutan belaka pada media massa tersebut. Ini pula yang dapat menjadi bagian dari publik sewaktu menilai kredibilitas, integritas dan mutu media secara umum.
Para pemilik media, khususnya para pemimpin redaksi kiranya secara terus menerus perlu mengingatkan stafnya secara internal melalui berbagai forum termasuk in house training tentang upaya menerapkan “sensor diri” ini.
Dari sisi lain, ketika wartawan sebuah media tidak melupakan “sensor diri” tersebut, agaknya dapat dipastikan sajian media ini tidak menimbulkan masalah di kalangan publik. Begitu pula sebaliknya yang akan terjadi.
Juga, tidak boleh dilupakan tentang sajian media massa itu diperuntukkan bagi kepentingan publik (public interest). Nah, dalam hal semacam ini pilihan utama bagi insan pers berbagai media tentulah melakukan seleksi yang ketat supaya apa yang ditebarkan kepada publik memang informasi yang berkualitas.
Sajian dengan kandungan akurasi yang tak perlu diragukan. Jika mengalami unsur edukatif, ya lebih bagus. Pendek kata, sajian itu betul-betul informatif dan berguna bagi publik. Ini, juga ukuran profesionalisme.
Sekali lagi, melalui kolom Pojok Pers ini ingin disarankan kepada insan pers media kelompok apapun (cetak, suara, online) kiranya menggarisbawahi arti penting untuk memahami self censorship.
Berikutnya, dapat menerapkan dalam pekerjaan jurnalistik sehari-hari. Kalau wartawan konsisten melakukan hal ini, maka apa yang selama ini diharapkan publik agar sebelum suatu liputan atau berita disiarkan hendaknya dilakukan semacam verifikasi, inilah juga bagian dari langkah itu.
Jangan sepele atas “sensor diri”. Beberapa kasus yang menjadi delik pers, setelah diteliti justru terjadi akibat diabaikannya self censorship.
Kurang peka atas informasi yang ternyata berdampak negatif, akhirnya publik komplain. Jika pada batas Hak Jawab, agaknya masih baik. Tetapi, jika masuk ke ranah hukum, urusannya menjadi rumit. #