Persatuan dalam Kedaulatan Rupiah

persatuan-dalam-kedaulatan-rupiah

Oleh Dr. Salman Nasution, SE.I.,MA. Adanya pengakuan oleh warga negara asing ter­­hadap eksistensi negara In­do­nesia sebagai negara yang memiliki kedaulatan bangsa yang utuh, menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi rakyat Indonesia. Ketika penjajahan yang terlama di dunia (lebih kurang 350 tahun) dilakukan dan silih bergantinya penjajah (Portugis, Belanda (VOC), Inggris dan Jepang), Indonesia tidak terpengaruh dengan simbol dan ideologi negara lain karena mampu mendirikan negara ini berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan, keperca­yaan (keimanan), pribadi bangsa Indo­nesia yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.

Bangsa Indonesia yang diawali dengan masa pemerintahan Sukarno dan Hatta, sangat memahami benar sejarah bangsa-bangsa yang ada di wilayah nusantara. Istilah persatuan yang sudah ada sebelum NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang lahir pada 16 Agustus 1950 oleh Muhammad Natsir seperti ungkapan Patih Gajah Mada yang dikenal dengan Sumpah Palapa pada tahun 1339, sebelumnya ada ungkapan dari Kerta­negara dengan Cakrawala Mandala Dwipantara (wilayah kekua­saan yang meliputi kepulauan-kepulauan yang ada di seberang Jawa) pada tahun 1275. Jika merujuk pada Al Quran, ada firman Allah yang menyebutkan “…men­jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…”.

Berdasarkan data dari sensus BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2010, terdapat lebih dari 300 kelompok ras etnis suku bangsa, atau sekitar 1340 suku bangsa yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Dan data dari Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Kemen­terian Dalam Negeri Indonesia tahun 2016, Indonesia memiliki 17.504 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Luar biasa bukan!!!, sangat jelas bahwa, persatuan merupakan suatu hal yang alamiyah yang didisain oleh Sang Maha Pencipta dan nilai persatuan ini dimiliki oleh bangsa dan negara yang besar yaitu Indonesia.

Ini merupakan keberhasilan agama­wan, pejuang kemerdekaan, cendikiawan yang terdepan menghadapi kobaran api perlawanan terhadap kejahatan kolo­nialis­me, sehingga penjara, pertumpahan darah dan nyawa menjadi jalan kehidu­pan mereka. Bersatu dalam menyatukan visi dan misi perjuangan bangsa Indo­nesia diantaranya memperoleh kemer­dekaan rakyat Indonesia seperti hak kebebasan berekonomi di tanah pribumi, sehingga penghargaan pahlawan terletak pada nama mereka sampai saat ini. Namun sayang, saat ini perjuangan dalam bingkai persatuan kurang dipertahankan bahkan tidak sama sekali, bahkan menjadi alat untuk menghipnotis rakyat Indonesia disaat kesenjangan ekonomi, kesera­kahan, kesenjangan pendidikan sangat dirasakan.

Dalam laporan Bank Dunia dan INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) tahun 2017, menyebutkan tingkat ketimpangan ekonomi Indo­nesia sangat memprihatinkan yaitu pertumbuhan ekonomi yang dianggap berhasil di atas 5%, hanya meng­untung­kan 20% orang paling kaya di Indonesia. Hal yang sama juga dilaporkan oleh BPS dalam rasio gini pada tahun 2017, yaitu berada pada angka 0,391, artinya, masih ada sebagian besar orang Indonesia tidak menikmati hasil pertumbuhan ekonomi yang sering dijadikan indikator keber­hasilan pemerintah.

Selain itu, hutang yang terus mem­bengkak tiap tahunnya beserta dengan bunga yang harus dibayar, akan menam­bah beban pemerintah disaat penggunaan hutang tidak produktif. INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) mencatat bahwa penggunaan hutang tidak sepenuhnya bersifat membangun, seperti infra­struktur. Jumlah hutang terbebani disaat jumlah yang harus dibayar lebih besar. Pengamat dari INDEF, Achmad Heri Firdaus menyatakan “…, anggaran infrastruktur itu 400 triliun rupiah setahun. Namun, kenaikan utang lebih dari jumlah itu. Artinya, utang digunakan untuk belanja-belanja lain. Belanja barang, belanja pegawai, dan belanja birokrasi”.

Dalam kajian INDEF, oleh Riza Annisa Pujarama menyebutkan, bahwa hutang Indonesia telah mencapai Rp. 7.000 triliun yang berasal dari hutang pemerintah dan swasta. Dan lebih parahnya lagi, hutang yang diberikan oleh lembaga dunia (seperti IMF dan World Bank) kepada Indonesia ber­bentuk mata uang dolar (US$). Dan selanjutnya, pembayaran hutang yang telah jatuh tempo juga akan dibayarkan dalam bentuk dolar.

Dalam meningkatkan nilai mata uang suatu negara, maka yang harus dilakukan adalah mengaktifkan mata uang dalam setiap transaksi. Namun penggunaan dolar dalam setiap transaksi (hutang, ekspor dan impor) akan meningkatkan nilai mata uang tersebut terhadap rupiah (Rp). Rupiah selalu tertekan dengan kelemahan disebabkan kekuatan politik ekonomi pemerintah yang masih rendah. Pada tanggal 12 Juli 2019, harga jual per US$ sebesar Rp14.210 dan per CNY sebesar Rp. 2.031. bukankah lebih layak Rp. 1 sama dengan US$. 1 atau CNY 1.

Kedaulatan Rupiah

Banyak hal penyimpangan ekonomi yang dilakukan secara sengaja oleh para elit ekonomi yang berkerjasama dengan elit politik untuk menjadi bagian dalam penikmat pertumbuhan ekonomi ter­sebut. Mereka bukanlah pejuang eko­nomi apalagi pejuang bangsa disaat mereka tidak berani terdepan melawan keja­hatan ekonomi yang merusak per­ekonomian nasional seperti tekanan mata uang rupiah. Walaupun pemerintah melalui presiden Joko Widodo menyam­paikan dalam pidatonya bahwa dolar Amerika Serikat tidak lagi dijadikan pa­tokan dalam mengukur ekonomi Indo­ne­sia. Lebih jauh lagi, nilai tukar rupiah da­pat dilakukan dengan mata uang Ren­mibi asal Negara Republik Rakyat China.

Jelas disebutkan dalam UU RI Nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang, bahwa Rupiah merupakan satu diantara bentuk ke­daulatan negara, maka dari itu segala bentuk transaksi harus digunakan dalam rupiah. Maka dari itu, setiap aktifitas perdagangan Indonesia dengan luar negeri harus dilakukan dalam penggu­naan rupiah. Dan jika impor merupakan barang kebutuhan dan keinginan dari Indonesia, maka penggunaan mata uang dapat dila­kukan dengan nama mata uang negara bersang­­kutan (negara lain). Dan sebalik­nya, jika barang berkualitas yang berasal dari Indonesia yang dibutuhkan dan di­ingin­kan oleh negara lain (di­ekspor), maka penggunaan mata uang dapat dilakukan dengan Rupiah. Nah, disinilah letak kedaulatan Rupiah bahwa pemerintah dan warga negara berperan dalam mening­katkan derajat mata uang nasional.

Mengisi Perjuangan

Penyiksaan, kerja paksa, pem­bu­nuhan, pelecehan merupakan bagian dari aktifitas kolonialisasi terhadap rakyat Indonesia. Maka pejuang kemerdekaan tidak akan pernah tahan melihat rakyat­nya, keluarganya, dan saudaranya menjadi korban dari keganasan para penjajah yang menguasai semua sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Jalan terakhir adalah melawan terhadap penjajahan yang harus dikobarkan dalam meraih kemenangan.

Sudah cukup lelah kita melewati berbagai permasalahan yang berasal dari kolonial dan dari ulah kita sendiri. Bahkan permasalahan selalu hadir silih berganti sehingga terlupakan visi bangsa Indonesia dalam menyejahterakan rakyat. Kemer­dekaan rakyat Indonesia sudah mencapai 73 tahun dan dianggap su­dah dewasa dalam melewati asam garam­nya kondisi dan situasi yang me­nerpa bangsa ini. Sudah 7 (tujuh) presiden Republik Indonesia memimpin bangsa ini dengan gaya dan caranya, namun belum maksimal dalam menjaga kedau­latan Rupiah dengan cara meng­aktifkan rupiah dalam transaksi luar negeri seperti ekspor dan pinjaman hutang dalam bentuk rupiah.

Joko Widodo merupakan negarawan yang masih dipercayakan oleh rakyat In­do­nesia memimpin negara ini, tentunya men­jadi harapan bagi seluruh rakyat In­donesia untuk mengedepankan kepen­ti­ngan bangsa ini dari kolonialisasi mata uang asing terhadap rupiah. Penguatan un­dang-undang kedaulatan rupiah harus menjadi prioritas dalam menjaga kedau­la­tan rupiah sebagai simbol dan alat integrasi bangsa Indonesia. Untuk itu, perlu adanya perjuangan baru dan semangat baru dari pemimpin bangsa yang bersatu bersama rakyat untuk berani menggunakan mata uang rupiah sebagai bagian perlawanan.

Rakyat Indonesia masih ingin ber­juang sebagaimana presiden Sukarno pernah menyatakan dalam pembukaan UUD 1945, “…mengantarkan rakyat In­do­nesia ke depan pintu gerbang kemer­dekaan…”, maka jelas, perlu adanya perjuangan kembali untuk masuk dalam pintu “…yang merdeka, bersatu, ber­daulat, adil dan makmur”. Persatuan perlu dilakukan untuk menjaga kedau­latan bangsa termasuk kedaulatan rupiah. Se­moga kedaulatan rupiah ini harus men­jadi kewajiban untuk kita jaga sebagai bentuk persatuan rakyat Indonesia. ***

Penulis adalah Dosen UMSU dan Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Muhammadiyah Sumut.

()

Baca Juga

Rekomendasi