Oleh : Deddy Kristian Aritonang
OSPEK di SMA Semi Militer Plus Taruna Palembang memakan korban jiwa. Delwin Berli Julindro (14), siswa baru di sekolah itu harus meregang nyawa setelah dianiaya oleh pembinanya, Obby Frisman Artaku (24). Kasus seperti ini menambah daftar panjang kekerasan yang terjadi dalam kegiatan ospek dan sekaligus mencoreng reputasi lembaga pendidikan kita, khususnya sekolah-sekolah bernuansa semi militer dan kedinasan.
Pada tahun 2007 silam, Inu Kencana Syafiie mantan dosen IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) atau yang dulunya bernama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) pernah menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perihal kematian 34 praja di lingkungan institusi itu sejak tahun 1993 hingga 2007. Di antara 34 praja yang meninggal tersebut, disinyalir ada sekitar 17 yang tewas secara tidak wajar.
Inu bahkan mengangkat polemik ini sebagai topik penelitian disertasi program doktoral-nya yang berjudul Pengawasan Kinerja STPDN Terhadap Sikap Masyarakat Kabupaten Sumedang. Dalam risetnya itu, Inu tidak cuma menyoroti kasus kematian tak wajar para praja, tapi juga praktek free sex terselubung yang marak terjadi di lingkungan kampus pencetak aparat pemerintahan tersebut.
Pada ulasan berita berjudul Inu Kencana, ‘Vokalis’ dari IPDN di laman detik.com (09 April 2007), Inu dilaporkan pernah dikejar-kejar oleh 900 praja perempuan akibat kenekatannya menyikap tabir kelam budaya seks bebas di kampus Jatinangor itu. Tak sampai di situ, ia juga pernah diberi sanksi disiplin dan larangan mengajar karena dianggap terlalu vokal.
Puncaknya adalah ketika ia turut membongkar kasus kematian praja IPDN bernama Cliff Mutu pada tahun 2007 yang menyerat beberapa petinggi lembaga itu hingga ke pengadilan. Inu pun dimutasi ke Depdagri dan tidak lagi mengajar di IPDN sampai pada akhirnya berhenti dari pekerjaannya tanpa mendapatkan uang pensiun.
Relasi Kekuasaan
Biasanya persoalan ini mencuat ke permukaan akibat tindakan kekerasan berujung pada kematian. Selain IPDN dan SMA Semi Militer Plus Taruna Palembang, disinyalir masih banyak kasus-kasus sejenis di sekolah-sekolah lain yang belum terungkap. Walaupun dalam satu sekolah kedinasan tidak ada laporan korban meninggal, rasa-rasanya sulit untuk mempercayai kalau penganiayaan dan kekerasan tidak pernah terjadi.
Korban-korban kekerasan yang tidak sampai meninggal dunia cenderung lebih mencari safety dengan cara memilih untuk bungkam ketimbang melapor karena rasa takut terhadap kemungkinan mendapatkan perlakuan kasar yang jauh lebih buruk.
Kita tentu pantas bertanya-tanya, mengapa permasalahan seperti ini terus muncul kendati korban sudah berjatuhan, ada ekspos media yang begitu kuat dan sanksi berat yang sudah diberikan pada pelaku-pelaku terdahulu?
Adanya stigma senior dan junior yang begitu melekat barangkali menjadi penyebab utama. Michel Foucalt, seorang filsuf dan ahli teori sosial asal Perancis, menyebutnya sebagai Power Relations atau relasi kekuasaan. Menurut Foucalt, dalam kehidupan sosial, ada dominasi oleh sebuah kelompok yang lebih kuat terhadap kelompok lain yang lebih lemah.
Pada konteks sekolah kedinasan atau sekolah semi militer, sudah bukan rahasia lagi bila para senior menjadi kelompok superior yang begitu mendominasi pihak inferior (baca: para junior).
Pengkastaan eksesif dalam wujud senior-junior ini telah mengalami internalisasi sejak lama dan bisa dengan mudah kita jumpai di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.
Euforia menjadi senior terasa begitu kuat. Sebab pada titik inilah seorang siswa/mahasiswa memiliki power terhadap adik-adik kelasnya. Status senior begitu diagung-agungkan sehingga membentuk pola berulang (repeated patterns). Mari kita ambil contoh. Saat satu angkatan siswa naik tingkat menjadi senior, gaya-gaya senioritas yang dulu pernah ‘menjajah’ mereka ketika masih berstatus junior akan diberlakukan kembali pada para junior yang baru. Momentum itu kemudian dijadikan sebagai ajang balas dendam dan sakit hati meski tidak ditujukan pada pihak yang tepat.
Demikian seterusnya ketika para junior baru tadi nantinya naik ke level senior. Mereka pun akan menerapkan aturan yang tidak tertulis dan sudah mendarah daging tersebut.
Dengan demikian mata rantai perundungan ini seolah tidak akan pernah ada putus-putusnya. Slogan absurd ‘peraturan satu : senior tidak pernah salah, peraturan dua : jika senior salah, lihat kembali ke peraturan satu’ juga seolah menjadi legitimasi otoritas penuh senior terhadap junior.
Pihak sekolah juga punya andil. Terkadang, para pimpinan sekolah terkesan ikut menutup-nutupi ketika kasus kekerasan disoroti publik dan media. Tujuannya jelas supaya aib itu tidak mencoreng reputasi dan nama baik instansi.
Seperti pada kasus Cliff Mutu, ketika itu jenazahnya disuntik formalin agar lebam-lebam penyiksaan di tubuhnya bisa ditutupi hingga kemudian yang bersangkutan dinyatakan meninggal akibat penyakit liver.
Tidak Relevan
Pemerintah juga masih belum mampu menelurkan solusi yang bersifat permanen dan preventif. Selama ini penyelesaian atas kasus-kasus ini hanya berupa kebijakan reaktif dan tindakan yang diambil selalu bersifat represif seperti pemecatan hingga vonis penjara. Seharusnya ada kebijakan-kebijakan yang lebih tegas semisal menghapus budaya kekerasan yang lebih mirp sistem feodal tersebut.
Lagipula pola senioritas dan metode pendidikan militeristik yang telah melembaga sejak era orde baru di banyak sekolah kedinasan sesungguhnya tidak relevan dengan output lulusan. Entah apa landasan berpikir yang dipakai sehingga simbol-simbol kemiliteran bisa begitu melekat mulai dari pemakaian seragam kedinasan hingga penerapan cara-cara kekerasan dengan dalih melatih kedisiplinan.
Padahal nantinya ketika lulus, para siswa ini tidak akan menjadi aparat militer layaknya TNI atau Polri melainkan mengabdi di institusi-institusi sipil dan masyarakat luas.
Sistem perekrutan siswa baru dan kurikulum di sekolah-sekolah kedinasan dan sekolah-sekolah semi militer harus dimonitor dan dievaluasi sesegera mungkin agar tidak ada lagi nyawa sia-sia berjatuhan. Penanaman kedisiplinan model top down yang diktator harus dihapus karena akan menghasilkan lulusan yang tidak bermutu dan cenderung menyalurkan kebiasaan-kebiasaan agresif lewat cara-cara kekerasan ketika terjun ke dalam dunia kerja.
Pemerintah, masyarakat, dan para stakeholder harus duduk bersama demi perbaikan sekolah kedinasan. Disiplin dan kekerasan jelas adalah dua hal yang sangat jauh berbeda. Cara-cara humanis yang selaras dengan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik harus lebih dikedepankan. Terakhir yang perlu diperhatikan adalah tendensi kekerasan tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah kedinasan tapi juga di hampir setiap lini pendidikan terutama pendidikan menengah dan tinggi dalam wujud perploncoan pada saat berlangsungnya masa orientasi siswa/mahasiswa baru. ***
Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan, dan dosen PTS.