
Oleh: Irvin ST Sihombing
“Segala kehilangan dan kerugian menjadi tanggung jawab pemilik kendaraan.”
KALIMAT di atas tentu sering dilihat dicantumkan dalam karcis parkir. Persoalan parkir memang merupakan persoalan klasik di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Tetapi, ada satu fenomena yang menarik terjadi, di mana ternyata di tempat parkir pun kendaraan bisa tidak aman. Dan anehnya, di banyak tempat parkir tertulis jika kehilangan bukan tanggung jawab dari pengelola parkir (mall, plaza, ruko, dan lain sebagainya) hingga membuat pengguna parkir pasrah dan seolah-olah tidak dapat berbuat apapun jika terjadi kehilangan atas kendaraannya.
Lantas, sesungguhnya seperti apakah jasa yang ditawarkan oleh pengelola parkir? Sebatas sewa lahan parkir sajakah? Tidakkah konsumen berhak untuk menuntut ganti rugi bila terjadi kerusakan atau kehilangan? Lalu kalau begitu tanggung jawab siapa? Dan apa artinya membayar uang parkir, kalau kendaraan tidak bisa dijaga dengan baik?
Jika dikaji dari kacamata hukum perjanjian, kalimat pengalihan tanggung jawab seperti itu disebut dengan klausula baku. Klasula baku ini banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang dibuat secara sepihak yang bertujuan untuk melindungi pihak yang memberikan suatu jasa tertentu. Seperti jasa penjualan pada supermarket/mall, bank, jasa angkutan (kereta api, pesawat terbang, kapal laut), jasa delivery dan lain sebagainya.
Klausula baku dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diberikan definisi sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sederhananya, klausula baku adalah aturan sepihak yang dicantumkan oleh pelaku usaha di dalam kwitansi, faktur/bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual-beli yang sangat merugikan konsumen. Adanya pencantuman klausula baku membuat posisi konsumen sangat lemah/tidak seimbang dalam menghadapi pelaku usaha. Namun hal ini bukan berarti konsumen tidak dapat berbuat apa-apa.
Adalah kisah kasus gugatan David Tobing (pengacara Anny R Gultom, konsumen) melawan PT SPI (operator parkir) yang memenangkan konsumen. Dalam Putusan Peninjauan Kembali (PK) No. 124/PK/PDT/2007 yang diajukan oleh PT SPI, Mahkamah Agung malah lebih menguatkan putusan kasasi, dan menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh PT SPI.
Lebih spesifik, Putusan Peninjauan Kembali (PK) No. 124/PK/PDT/2007 justru mengharuskan pengelola parkir untuk mengganti kendaraan konsumen yang hilang di area parkir. Putusan MA ini dengan sendirinya semakin memperkuat posisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai larangan pencantuman klausula baku (Pasal 18). Sehingga klausula baku yang tertera di setiap tiket parkir menjadi tidak berlaku lagi atau gugur secara otomatis.
Secara normatif, hal itu terjadi karena konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dan mendapat ganti rugi atau penggantian atas penggunaan barang/jasa seperti tercantum dalam Pasal 4 (a), dan 7 (f) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan dimenangkannya kasus tersebut menjadi bukti konkrit tidak relevannya pencantuman klausula baku yang mengalihkan tanggung jawab dari pelaku usaha. Artinya, keputusan MA dan UUPK dapat memberi tekanan kepada pengelola parkir nakal yang berusaha lepas dari tanggung jawab.
Putusan yang bersifat final dan mengikat ini memerintahkan pengelola parkir untuk mengganti semua bentuk kehilangan di lahan parkir, termasuk di dalamnya kendaraan, helm, isi dalam mobil/sepeda motor dan segala sesuatu yang hilang karena lemahnya keamanan di lahan parkir. Penggantian kerugian pun bukan sebatas maksimal satu kali, sepuluh kali atau sekian kali dari tarif parkir, namun sesuai dengan nilai barang yang hilang atau rusak.
Sekalipun, pengelola parkir sudah mengingatkan agar pengguna parkir mengunci ganda kendaraannya, tidak serta merta lantas menghilangkan tanggung jawabnya karena hal itu sifatnya hanyalah himbauan dan tidak menghilangkan tanggung jawab pengelola tempat parkir untuk menjaga kendaraan yang diparkir.
Perda Kota Medan
Jika ditarik ke Kota Medan, Pemerintah Kota Medan pun mengamini akan kondisi ini, hingga kemudian menerbitkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir yang secara tegas juga sudah menyatakan “Penyelenggara tempat parkir wajib bertanggung jawab atas kehilangan kendaraan yang hilang akibat kelalaian penyelenggara tempat parkir”.
Kesimpulannya, tindakan pengelola parkir nakal yang memuat klausul baku yang bertujuan untuk mengalihkan tanggung jawabnya atas keamanan kendaraan yang diparkir di daerahnya jelas merupakan perbuatan melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi.
Jika terjadi kehilangan terhadap kendaraan ataupun barang dalam di daerah perparkiran dan pengelola parkir berusaha mengelak dengan berlindung di balik klausul bakunya, maka terdapat beberapa upaya yang dapat ditempuh dengan berlandaskan aturan sebagaimana yang sudah disebutkan diatas.
Pertama, tindakan pengelola parkir nakal yang tetap mencantumkan klausula baku dalam tiket parkirnya dan mengelak ketika terjadi kehilangan merupakan tindakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang memuat ketentuan yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”, yang tentunya dapat digugat secara perdata agar mengganti tiap kerugian yang dialami konsumen akibat tindakan pelaku usaha yang merugikan.
Kedua, tak banyak masyarakat yang tahu bahwa ada saluran bagi konsumen yang merasa dirugikan produsen maupun perusahaan memberi jasa. Konsumen bisa mengadu ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pembentukan lembaga ini merupakan amanat UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. BPSK dibentuk di setiap kabupaten atau kota.
Banyak konsumen yang memenangkan gugatannya dalam penyelesaian sengketa di BPSK. Ludmilla Arif, salah satunya. Ludmilla mempersoalkan Nissan March yang dibelinya seharga Rp 159,8 juta ternyata tak seirit yang diiklankan. Ia pun menuntut perusahaan mobil asal Jepang itu mengembalikan uangnya utuh. Nissan hanya bersedia membeli kembali dengan harga Rp 138 juta. Tak ada titik temu, Ludmila membawa persoalan ini ke BPSK. Pada 16 Februari 2012, BPSK memutuskan Nissan membeli mobil Ludmilla seharga Rp 150 juta. Nissan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan PN Jaksel malah menguatkan BPSK. Hal tersebut merupakan contoh kasus tindakan pelaku usaha yang merugikan konsumen selain kasus parkir yang dapat diselesaikan di BPSK.
Pada dasarnya tugas dan fungsi dari pengelola parkir adalah untuk menciptakan ketertiban dan keamanan di lahan parkir. Maka konsumen membayar parkir bukan untuk menyewa lahan parkir, melainkan untuk memperoleh keamanan atas kendaraannya. tindakan pihak pengelola parkir yang mengalihkan tanggung jawab sekaitan dengan keamanan kendaraan kepada pemilik kendaraan cukup menjengkelkan yang dapat dilihat dari klausula baku yang terdapat di karcis parkir yang dibuat pengelola parkir.
Namun, tentu saja bukan berarti pihak konsumen boleh berarti sembrono dalam memarkirkan kendaraannya. Kehati-hatian dan kewaspadaan dari pihak konsumen tetap diperlukan. Karena penggantian kerugian hanya akan diberikan bila terbukti kesalahan ada pada pihak pengelola parkir.***
Penulis merupakan konsultan hukum di DSS & Associates Law Firm.