Fuad Bawazier: Sinyal Krisis

Duniatex Terancam Gagal Bayar Utang

duniatex-terancam-gagal-bayar-utang

Jakarta, (Analisa). Produsen tekstil Indonesia PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) yang tergabung dalam Grup Duniatex dikabarkan berpotensi gagal bayar utang obligasinya yang  baru berusia sekitar empat bulan.

Mantan Menkeu Fuad Bawazier mengingatkan hal ini harus segera ditangani karena boleh jadi meru­pakan sinyal krisis.

Dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (24/7), kabar gagal bayar itu bermula dari rilis lembaga peme­ring­kat global, Standard & Poors (S&P) yang mem­babat peringkat utang jangka panjang DMDT. Di dalamnya termasuk surat utang unsecured notes yang diterbitkan perusa­haan dari BB- menjadi CCC-, atau dipangkas enam notch. Fitch Rating malah sudah duluan menurunkan peringkat DM­DT dari BB- ke B-.

Peringkat 'CCC' disematkan ketika penerbit obligasi rentan terhadap risiko wanprestasi, dan besar ke­mung­kinan kesulitan memenuhi pembayaran komitmen keuangan atau membayar kupon obligasi.

Dalam rilis S&P tanggal 16 Juli 2019, disebut pemangkasan peringkat DMDT karena perusahaan meng­hadapi tantangan likuiditas yang be­sar, yang juga dialami Grup Du­niatex.

Hal ini terlihat dari terlewatnya pembayaran kewajiban atas kredit sindikasi senilai US$260 juta sekitar dua minggu lalu oleh PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST).

S&P menegaskan kesulitan ke­uang­an yang membayangi Grup Du­nia­tex dan DSST akan berdampak negatif pada operasional DMDT. Pasalnya, DDST merupakan anak usaha yang bergerak di bidang pe­mintalan dan merupakan pemasok utama untuk DMDT.

S&P juga memberi prospek nega­tif pada DMDT. Itu karena peru­sahaan berpotensi menghadapi kesu­litan memenuhi kewajiban utang kredit sindikasi. Nilainya US$5 juta yang jatuh tempo September 2019.

Selain itu, dalam laporannya, disebutkan bahwa perang dagang merupakan salah satu faktor penye­bab kesulitan yang dialami industri tekstil Indonesia, meski data kinerja industri tekstil kuartal II-2019 belum rilis.

Di lain pihak, analis dari Credit­Sights menyampaikan, terlewatnya pembayaran kewajiban DDST seha­rusnya tidak akan berdampak pada kemampuan membayar DMDT. Ter­lebih DMDT masih memiliki dana cukup pada interest reserve account untuk memenuhi kewaji­ban mem­bayar bunga sekitar US$13 juta yang jatuh tempo September 2019.

Selain itu, dalam laporannya, analis mempertanyakan, apakah ter­lewatinya pembayaran kewaji­ban utang DDST benar karena ke­sulitan keuangan, atau mereka tidak mau membayar, seperti diwartakan dalam IFR.

"Sebulan lalu kami berbicara de­ngan perusahaan dan tidak menda­patkan kesan bahwa perusahaan (DMDT) sedang di bawah tekan­an," kata Kah Ling Chan, Direktur Pe­ringkat Perusahaan di S&P, Kamis (18/7), seperti dikutip dari IFR.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan kisruh gagal bayar ber­mula dari terlewatnya pembayaran kewajiban utang DDST anak usaha Grup Duniatex dan pemasok utama DMDT.

Duniatex Group adalah salah satu perusahaan konglomerasi tekstil besar di Indonesia.

Kemudian muncullah kekhawa­tir­an bahwa terlewatnya pemba­yaran kewajiban utang mungkin disebabkan kondisi likuiditas ketat yang dialami Grup Duniatex. Mes­kipun belum terdapat fakta material terkait esti­masi tersebut.

Untuk mengkonfirmasi kondisi keuangan perusahaan sulit didapat­kan karena Grup Duniatex bukan emiten yang harus aktif merilis laporan keuangannya.

Dipelototi OJK

Mencermati informasi buruk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ba­kal memantau risiko gagal bayar utang oleh DMDT. OJK akan men­cermati dampak hal tersebut ke per­bankan, selaku kreditur ke perusa­ha­an di bawah naungan Grup Du­niatex.

Kepala Eksekutif Pengawas Per­bankan OJK Heru Kristiyana me­nga­takan, segala macam risiko yang mempengaruhi perbankan akan dicermati, tak hanya pada sa­lah satu debitur saja, dalam hal ini Duniatex.

"Ini kan risiko kredit, yang da­tang dari beberapa, tadi saya kata­kan loan at risk, kita pasti cermati beberapa debitur yang gagal bayar," katanya di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (24/7).

Dia menilai, apa yang terjadi terkait debitur yang terancam gagal ba­yar ini merupakan masalah ma­sing-masing perusahaan, artinya tidak dapat digeneralisir.

"Itu kan masalah masing-masing perusahaannya ya, tapi seberapa pun tetap saya ingin cermati berapa pengaruhnya terhadap bank. Tapi selama ini saya lihat tidak terlalu mengganggu kinerja bank secara umum," jelasnya.

Pihaknya juga akan melihat se­cara lebih mendalam mengenai utang debitur tersebut. Menurutnya perlu dicermati apakah itu nantinya bakal menjadi risiko rasio kredit berma­salah (NPL).

Dia juga menilai perbankan pasti punya cara untuk meminimalkan risiko jika debitur benar-benar ga­gal bayar, misalnya dengan restruk­turisasi.

"Mereka punya cara untuk me­restrukturisasi misalnya ya kan, kredit-kredit seperti itu pasti kan akan direstrukturisasi. Tidak harus oto­matis jadi (kredit) macet. Ada proses restrukturisasi. Kalau itu jadi lancar kembali karena prosesnya benar kan nggak ganggu NPL," tam­bahnya.

Bank Bersiap

Menyikapi potensi gagal bayar dialami Duniatex Group, Bank BNI sudah berupaya menekan risiko NPL atas ratusan miliar kredit BNI yang mengucur ke Duniatex Group.

Direktur Manajemen Risiko BNI Bob Tyasika Ananta meng­ung­kapkan kredit senilai Rp459 mi­liar mengalir ke anak usaha Dunia­tex. Komposisi pinjaman terdiri dari Rp301 miliar kredit sindikasi dan Rp158 miliar kredit bilateral.

Bob mengungkapkan, waktu pem­­ba­yaran Duniatex harus dilaku­kan Juni 2019. Dia menjelaskan, cicilan kredit masih normal dilaku­kan Du­niatex dan masuk kategori kolek­tabilitas satu.

"Dengan adanya kejadian ini, BNI sudah mengantisipasi pemba­yaran­nya akan seperti apa pada Juli 2019," kata Bob.

Menurut dia, langkah ini dila­kukan karena BNI mendapat infor­masi jika anak usaha Duniatex, Del­ta Dunia Sandang Tekstil dise­but mengalami gagal bayar pokok dan bunga surat utang global de­ngan total nilai US$11 juta.

Bob menyampaikan saat ini BNI sudah memegang aset Duniatex yang dijadikan agunan kredit. Nilainya mencapai 2,5 kali  lipat dari total kredit yang disalurkan.

"Ini kami baru saja terjadi ya. Kami sedang membicarakan de­ngan pemi­liknya untuk mencarikan investor. Kita lihat seperti apa," kata Bob.

Sinyal Krisis?

Mantan Menkeu Fuad Bawazier menilai di banyak negara krisis ekonomi sering diawali dari gagal bayar utang, baik utang negara atau­pun utang swasta.

Menurut Fuad di Indonesia, se­lama ini banyak pihak mengkha­watirkan utang negara khususnya utang valas yang meningkat tajam, hal tersebut menurutnya bisa me­ngawali terjadi­nya krisis ekonomi.

Namun, Fuad heran gagal bayar utang ternyata diawali oleh pihak swasta, yaitu Grup Duniatex. Dia menilai kegagalan perusahaan ini membayar obligasi hal tidak wajar.

"Tetapi di luar dugaan, gagal ba­yar utang justru diawali pihak swas­ta dari industri tekstil. PT DMDT dari Group Duniatex yang mener­bitkan obligasi US$300 juta pada Maret tahun ini gagal bayar kupon obligasinya. Aneh sekali obligasi yang baru berumur 3-4 bulan sudah gagal bayar kupon," katanya.

Fuad mengatakan hal ini bisa jadi penipuan, Duniatex menurut­nya juga berutang dari sindikasi bank, terma­suk Indonesian Exim­bank sebesar Rp17 triliun. Belum lagi kredit yang didapatkan pada 2018.

"Bisa jadi ini Indikasi penipuan. Grup Duniatex juga menarik utang dari sindikasi bank termasuk bank bank negara termasuk Indonesian Eximbank sebesar Rp17 triliun," kata Fuad.

"Menjadi lebih mengejutkan lagi ketika JP Morgan menga­barkan bah­wa dalam tahun 2018 Group Duniatex telah menerima kredit US$362,3 juta dan Rp5,25 triliun," lanjutnya.

Kerugian pasti menimpa Du­niatex, obligasinya dinilai Fuad akan hancur nilainya. "Kegagalan bayar utang ini, meski baru kupon, tentu meng­han­curkan nilai obligasi tersebut sebagai junk, dan mau ti­dak mau peme­gangnya membuku­kan sebagian ke­ru­gian," kata Fuad.

Kejadian ini, kata Fuad, bisa men­cemaskan pasar modal dan me­ning­katkan kredit macet per­ban­kan. Bu­kan cuma Duniatex yang peni­laian­nya menurun, kredit rating Indonesia pun bisa saja terkena imbasnya.

"Jika itu terjadi, merupakan signal awal krisis ekonomi Indonesia," tegasnya.

Fuad mengatakan, harapan pa­sar adalah kejadian gagal bayar ini tidak diikuti debitur swasta lain­nya, apalagi BUMN ataupun pe­merintah. Sebab bila sampai terjadi bisa saja ini menjadi awal krisis ekonomi.

"Pemerintah tidak pada posisi yang mampu menolong, berbeda dengan saat krisis moneter tahun 1998 ketika pemerintah bertindak sebagai peno­long swasta yang gagal bayar utang," kata Fuad.

Fuad menegaskan sebaiknya se­mua pihak, khususnya pemerintah waspada dan sedia payung sebe­lum hujan. Fuad mengingatkan jangan jumawa bilang ekonomi sedang kuat. (dtc)

()

Baca Juga

Rekomendasi