(Uraian Filosofi tentang Fungsi Masjid)

Masjid Untuk Siapa?

masjid-untuk-siapa

• Oleh: Dr.H.M. Syukri Albani Nasution, MA

Tulisan ini akan di awali dari untuk siapakah masjid? Apakah untuk orang-orang yang ingin salat khusyu’, karena salat khusyu’ itu sangat berat, maka ke-khusyu’an akan menjadi indikator tujuan salat. “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”

Lihat dalam Alquran Surah Albaqa­rah ayat 45. Semua orang yang salat akan berupaya mencapai tujuan terse­but-sangat individualis- khawatir­nya akan menafikan posisi sosialnya, pada­hal kita juga mengakhiri salat dengan salam, pertanda bahwa orang orang yang berada di kanan-kiri kita adalah sejawat dalam tujuan ke-khusyu’an tersebut.

Pernyataan berikutnya tentang fungsi masjid adalah tempat orang orang yang ingin membersihkan diri dari segala kotoran sosial dan kotoran batin selama berada “jauh” di luar masjid. Allah isyaratkan hal tersebut dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 135 “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui”. Jika ini sebagai tujuan, maka semua orang yang berdosa, memohon ampun kepada Allah di masjid, maka dia akan keluar dari masjid dalam keadaan suci, optimis meski dalam keadaan sabar menerima ujian kehidupan.

Apakah orang-orang yang masuk masjid itu adalah orang yang ingin ber­dzikir, mengingat Allah, ingin mende­katkan diri kepada Allah, menem­pah satu posisi ekslusive dirinya di hadapan Allah, iktikaf, tafakkur dan semua dzikir-ritualistik- yang mengubah posisi hati dan jiwa menjadi lebih tente­ram. Semua orang bahagia di masjid, semua orang tidak mengghibahi satu dan yang lain, semua orang menjaga lisannya, semua orang menjaga tabiatnya, semua orang menjaga prasangkanya, karena masjid adalah tempat di mana semua orang sedang men-charge keimanannya. Semua itu Allah isyaratkan juga dalam Alquran Surah Ar Ra’du ayat 28 “yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Ataukah juga orang-orang yang masuk ke masjid adalah orang orang yang membaca Alquran, juga men-tadabburi-nya. Orang orang yang terbersihkan hatinya sebab bacaan Alquran yang mempu menembus sub-ordinat keras dan membatunya hati sebab sudah terkunci oleh inderawi yang bersandar pada dosa, subhat, sia-sia. Maka semua orang akan bahagia berada di masjid, Allah berikan ghirah membaca dan memahami Alquran melalui masjid. Allah juga sudah isyaratkan hal tersebut dalam Alquran Surah Al Anfal ayat 2: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”

Bisa juga banyak orang yang termotivasi-bergegas- ke masjid ingin mendapatkan pahala yang banyak. Mulai dari jumlah langkah kaki-jarak tempuh- yang semakin jauh akan semakin berlipat ganda, peluh dan letih akan menjadi nilai pahala, jumlah bilangan rakaat salat sunnah baik sebelum dan sesudah sampai shalat sunnah lainnya. Termasuk juga posisi shaf terdepan, bermkna lebih aula (utama). Dan shalat berjamaah yang bernilai 27 kali lipat dari shalat sendiri saja. Semua sudah diisyaratkan di dalam Hadis-hadis Shahih yang tak usah lagi diragukan pengamalannya. Orang yang seperti ini akan memiliki pahal menggunung sebab keistiqo­mahan mengejar pahala.

Namun, bolehkah melirik sejenak pada orang yang terlupa pada semua muatan di atas. Orang orang yang me­milih cara lain memfungsikan masjid. Kacamatanya tidak sejernih para abid yang memaknai masjid, namun mereka tetap ingin menikmati ber-masjid. Per­nahkah kita mendapati keluhan seorang anak dimarahi oleh jamaah masjid sebab ribut tak karuan, akhirnya anak-anak salat di luar masjid sebab orang tua tak mau terganggu ke khusyu’annya selama salat di dalam masjid, atau kita mendapati perdebatan panjang tentang hukum anak belum khitan salat berja­maah di masjid, perdebatan tentang tidak boleh tidur di masjid, gunjingan tentang orang- orang yang jarang ke masjid, sindiran keras pada orang orang yang menumpang hidup di masjid, man­di, makan dan sebagainya. Sehing­ga kita menyimpulkan masjid adalah tem­pat para orang-orang suci yang eks­lusive dengan kesuciannya.

Bolehlah kita memahami pesan Alquran Surah At Taubah ayat 18 yang juga memberi pesan yang sangat tekstual tentang memakmurkan masjid “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemu­dian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”. semangat pertama dalam ayat ini adalah semangat keberimanan baik kepada Allah dan percaya pada hari akhir, orang orang yang istiqamah dalam salat dan zakatnya, sehingga membentuk rasa takut yang vertikal zone, “hanya kepada Allah” tidak pada makhluk dan segala kekuatannya. Maka ayat tersebut diikat dengan harapan semua ciri tersebut secara simbiotik adalah orang yang mendapat petunjuk (muhtadiin). Baik secara korelatif (akibat interaksi sosial dalam dan luar masjid), maupun kontributif (memberi efek manfaat-ketaladan setelah selesai memakmurkan masjid).

Kekhawatiran yang dikhawatirkan Jika kita merasa tertantang dengan Ayat Allah lain yang tertuang dalam Alquran Surah Al Ankabut ayat 45 “.......dan Diri­kanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan- perbua­tan) keji dan mungkar. .....” Maka per­tanyaannya, sudahkah salatku merubah karakter dan prilaku-ku. Sesuci apakah diriku sehingga mampu mengeliminasi semua hajat lain tentang orang orang yang kelihatan kotor yang juga ingin berada di masjid seperti diriku. Atau mungkin ayat tersebut menjadi sindiri keras bagi jenis salat-ku yang belum mampu menjauhkan diri dari karakter fahsya’ dan munkar.

Semua orang akan pergi dari masjid. Stigma masjid yang suci dan orang orang suci di dalamnya sudah mulai mengeli­minasi stratifikasi keimanan lain. Orang-orang yang muqim di masjid telihat sangat bijak pada hukum ber-masjid. Mampu melihat secara objektif salah-benar, pahala-dosa orang orang yang berada di masjid. Masjid perlu hening-khidmat, sebab keheningan melahirkan kehu­syu’an, terjungkal-lah anak anak kecil yang lebih besar tawa- candanya, terlanjur dia paham bahwa masjid tempat lain bermainnya. Sesekali ia menggerakkan badannya, mengikuti takbir imam, tapi disaat yang sama iya terpingkal-pingkal ulah teman disam­pingnya.

Semua anak harus tergusur –men­jauh. Semua orang tua didalam masjid itu adalah anak baik pada saat mudanya, tidak seperti anak sekarang yang ribut dan membawa gaduh di mana-mana. Orang orang musafirpun akan tergusur. Dia tak bisa lagi berbelok sebentar ke- arah masjid, mungkin niat awalnya istirahat, namun setelah terdengar adzan, mau tak mau dia harus salat juga. Tergusur pula orang orang yang menumpang mandi member­sihkan badannya dan mungkin pula mencari sesuap makan buah sedekah para aghniya’ di masjid. Sebab masjid terlalu suci untuk orang kotor seperti mereka.

Apakah mungkin masjid akan sepi sepuluh atau dua puluh tahun kedepan? Anak anak kita punya sitgma negatif tentang masjid, terlanjur salah paham, dan stratifikasi keberimanan akan di mulai dari masjid. Bolehkah kita memberi sentuhan sufistik sedikit saja untuk mengelaborasi fungsi masjid. Siapapun boleh ke masjid, masjid itu pusat keteladanan, masjid itu mendidik orang tak beradab menjdi beradab dengan cara yang beradab, masjid itu tempat orang yang sejenak tertidur karna letihnya, masjid itu dengan sangat sabar tempat membina anak anak generasi penerus pe-makmur masjid berikutnya, masjid itu tempat orang yang ingin “bersandar” pada Khalik, ditengah dosanya yang banyak, kemunafikan, kefasikan, mungkin ke musyrikan, orang orang yang ditengah kekacauan prilakunya, dia ingin bersandar pada yang Maha Kuat, berharap Allah beri kesempatan merubah prilakunya.

Masjid sebagai sumber ketela da­nan, orang orang suci di masjid menjadi teladan bagi yang belum sering ke masjid. Orang orang yang khawatir, jum­lah rakaat salatnya di masjid belum mampu diimbangi dengan caranya men­charge juga orang lain ikut ke masjid.

Keluarganya, tetangganya, dan saudaranya. Orang orang yang sibuk­nya berdzikir di masjid diimbangi dengan kesenangannya berbuat baik, mengajak orang menjadi baik, dan memberi

kesempatan orang manjadi orang baik. Masjid juga harus menyediakan kesempatan bagi orang tua yang melatih anaknya untuk terbiasa kemasjid.

Semua pertanyaan pertanyaan tersebut akan menjadi uraian panjang. Perspektif dan sangat filosofis. Semua orang punya caranya sendiri ber- masjid. Tapi jangan halangi siapapun orang orang yang ingin menikmati ber-masjid. Semoga tulisan ini menjadi telaah kita bersama mewujudkan Masjid ramah anak, ramah fakir miskin, ramah tuna wisma, ramah tuna iman, pesannya untuk edukasi, dan di-mulai dari Masjid semua orang akan menebar kebai­kannya. Wallahu’alam bis shawab

Penulis Dosen FSH UIN SU, Sekretaris Umum MUI Kota Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi