
Oleh: Adelina Savitri Lubis
ADA pesan tersembunyi di balik ucapan seseorang. Seolah mengatakan tidak, dengan maksud dan tujuan tersurat, namun bermakna lain secara tersirat. Sebetulnya itu adalah ‘iya’ yang diinginkan, atau boleh mengatakannya sebagai ‘iya’ yang enggan untuk diakui.
“Jadi maksudnya, kata ‘tidak’ itu sebenarnya adalah ‘iya’?” tanya Nona.
“Bisa saja begitu,” bilang Ira.
“Berarti belum pasti. Hanya sebuah dugaan,” sahut Manda.
“Pasti atau tidak pasti, agaknya hanya sang pemilik ucapan yang paling mengetahui. Tapi bukankah kita kerap mendengar hal serupa dalam lingkungan sosial kita?” tanya Sarah.
“Secara alami kalimat itu seperti memberitahu bahwa ada yang tersembunyi yang tak disampaikan,” ungkap Manda.
“Pertanyaannya mengapa harus diucapkan jika memang tak mau?” tanya Nona. “Justru itu, karena selama ini tak ada yang bertanya tentang itu,” timpal Ira.
“Jadi dia menunggu untuk ditanyai, dan sudah mempersiapkan jawaban jauh-jauh hari. Namun sayangnya tak ada yang bertanya, begitukah?” bilang Sarah.
“Tak bertanya karena tidak peduli, hahaha,” imbuh Manda.
“Namun bagaimanapun sesuatu yang telah tersimpan itu harus dikeluarkan. Jika tidak, konon katanya bisa menjadi penyakit. Mengganggu sekali,” ungkap Ira.
“Justru itu, tanpa ada angin dan hujan, kalimat itu meluncur begitu saja. Malah menjadi lucu ketika kalimat itu keluar ketika sebelumnya kita sedang tak membicarakan hal yang terkait dengan itu bukan?” beber Manda.
“Lalu apakah dia puas setelah mengucapkan itu? Tanya Nona.
“Entahlah sekali lagi yang paling tahu adalah sang pemilik ucapan. Kita hanya bisa menduga-duga. Benar atau tidak, dia yang tahu,” kata Sarah.
“Boleh jadi kita terlalu berlebihan berdebat tentang itu. Atau terlalu mengada-ngada memikirkan ‘tidak’ yang sebetulnya ‘iya’,” ucap Ira.
“Ah pasti masing-masing memiliki pengalamannya sendiri. Terkadang ketika mengetahui maksud dari pernyataan ‘tidak’ tadi, kita diam saja kan? Kebetulan saja kita membahas soal itu di sini,” bilang Manda.
Dan sebetulnya, saya juga tidak melihat esensi kebaikan dari obrolan kita soal ini. Katanya ‘tidak’ padahal ‘iya’, tak sepadan dengan waktu yang kita pertaruhkan dalam pertemuan ini,” sahut Sarah.
“Ada lho pesan moralnya,” timpal Ira.
“Apa itu?” tanya Nona.
“Jangan terlalu percaya dengan kalimat seseorang. Meskipun dia terlihat sungguh-sungguh mengatakannya,” jawab Ira.
“Ya itu betul, semakin dia sungguh-sungguh, apalagi terus diulang-ulang, pasti ada sesuatu di balik pernyataan itu,” kata Sarah.
“Serius, perbincangan kalian terlalu sulit untuk dicerna,” ujar Nona.
“Saya jenuh membahas soal drama anak sekolah, drama cabai yang harganya selangit, ekonomi yang kian melilit, apalagi soal kembali mesranya hubungan politikus. Intinya kita sudah mendapatkan pesan moral tentang si ‘tidak’ yang berarti ‘iya’ tadi kan?” bilang Manda.
“Jangan cepat mempercayai kalimat seseorang,” sambung Ira.
“Apakah itu berlaku untuk kita juga?” tanya Nona.
“Bisa jadi. Ada titik tertentu di mana kita hanya bersikap menggangguk, dan ada kala tertentu kita bersuara. Bahkan mungkin satu kali kita menunjukkan sikap kepada teman kita sendiri,” sahut Manda.
“Perempuan dalam sudut pandang lelaki memang kaum yang aneh. Sekali waktu berapi-api bercerita tentang kejelekan temannya. Namun ketika berjumpa. Senyum manis diumbar tanpa henti,” bilang Ira.
“Itu sudut pandang lelaki. Jika sesama perempuan apa hal serupa berlaku?” tanya Sarah.
“Ah entahlah, agaknya kita harus memahami diri sendiri terlebih dahulu, baru memahami teman perempuan kita. Kalau kita saja tak bisa mengontrol sikap kita terhadap diri kita sendiri, bagaimana mungkin kita bisa bersosialisasi dengan baik dan benar,” beber Manda.
“Sesuatu yang ideal? Apa ada? Semua harus seimbang. Teman yang berperilaku ‘buruk’ juga perlu dikawani, untuk menjaga ‘kebaikan’ perilaku,” sahut Ira.
“Seperti alarm hidup yang tak perlu repot merawatnya dan mengganti baterainya. Dia hadir, seperti pengingat, jangan sampai kita seperti itu,” ungkap Manda.
“Betul!” sahut Ira mengacungkan jempolnya.
“Iya, iya Man,” timpal Nona.