Impor Sampah, Terima atau Tolak?

impor-sampah-terima-atau-tolak

Oleh: Akmilatul Maghfiroh, S.T., M.Sc. Baru-baru ini marak berita di me­dia massa di Indonesia tentang te­rung­­kapnya impor sampah ke wila­yah Indonesia yang berisi ma­terial ber­bahaya dan tidak bisa didaur ulang. Kasus pengeledahan 58 con­tainer impor sampah dari USA dan Jerman di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya minggu lalu misal­nya, yang se­ba­gian berisi limbah bahan ber­ba­haya dan beracun (B3) padahal dalam dokumen ijin impornya dinyatakan se­bagai sampah skrap kertas. Bisa saja ada banyak kasus serupa yang tidak terdeteksi, seperti fenomena gunung es. Apalagi data perdagangan in­ter­nasional dari UN comtrade men­catat adanya aliran 402.913 ton samp­ah yang diekspor ke Indonesia di tahun 2018 saja. Sehingga patut dicu­ri­gai aktifitas impor sampah tersebut ber­­motif menjadikan negara kita se­ba­gai tempat pembuangan sampah ba­­haya yang dapat merusak alam dan membahayakan kesehatan warga.

Sampah dapat dipandang sebagai sum­ber daya seperti halnya negara China yang mampu menjadikan sam­pah sebagai sumber daya bagi sektor perin­dustrian di sana, namun bisa juga dilihat sekedar barang buangan tak bernilai atau bahkan berbahaya bagi kesehatan. Lalu bagaimana kita me­nyi­kapi sampah impor dari luar ne­geri? Mengingat Permendag No­mor 31 Tahun 2016 Indonesia masih memperbolehkan impor sampah plastik non-recyclable asalkan tidak mengandung limbah B3.

Sejak 2018, China telah mem­ber­lakukan regulasi impor sampah yang selektif dengan melarang impor sampah dengan kontaminan non—recyclable lebih tinggi dari 0,5 persen dan tanpa kontaminan limbah ber­ba­haya dengan sistem pengawasan yang ke­tat. Negara ini menerapkan ke­bijakan baru ini karena tidak mau lagi menjadi tempat pembuangan sam­pah kualitas buruk dan sudah mampu membangun sistem penge­lo­laan sampah nasional serta mampu me­ngembangkan teknologi daur ulang. Dimana saat ini industri daur ulang­nya sendiri sebagian bahan ba­kunya sudah tercukupi dari sampah lo­kal­nya akibat meningkatnya ting­kat konsumsi sebagai hasil pertum­bu­han ekonomi yang pesat dan peru­bahan gaya hidup masyarakatnya.

Bersamaan dengan itu, saat ini negara-negara maju di Eropa mulai ber­kolaborasi mempromosikan kebi­jakan circular economy yang mem­ba­ngun sebuah model ekonomi baru de­ngan tujuan mengurangi jumlah sam­pah dan memanfaatkan sampah se­ba­gai sumberdaya semak­simal mungkin, diantaranya dengan cara refuse, reuse, recycle, refurbish, dan re-mining.

Oleh karenanya, negara-negara Uni Eropa jor-joran mendanai riset bidang governance dan teknologi retensi nilai sampah sebagai sumber daya. Di tahun 2019 ini saja misalnya, pe­merintah Belanda meng­gelon­tor­kan dana € 80 juta untuk mendorong cir­cular economy di negaranya. Se­ti­dak­nya ada 8 universitas besar dari 8 negara di Uni Eropa yang mela­kukan riset kolaborasi trans-disipliner tentang circular economy. Gera­kan di Eropa ini terdorong re­gulasi China yang mengetatkan aturan impor sam­pah non-recyclable dan juga melihat betapa industri ekstraksi sumber daya dari sampah telah mendukung laju pertumbuhan ekonomi China.

Apakah sampah dipandang seba­gai solusi kelangkaan sumber daya de­ngan logika circular economy ataukah sebagai bagian dari masalah yang dapat mengancam lingkungan hidup dan kesehatan manusia? Untuk pertanyaan ini, penulis memiliki sejumlah pandangan.

Pertama, sampah dipandang seba­gai masalah. Impor sampah dapat di­­pan­dang sebagai cara negara-ne­gara maju yang telah menikmati konsumsi tingkat tinggi memindah­kan tanggung jawab dan masalah ling­kungannya ke negara-negara berkembang yang tata kelolanya masih buruk dan terbatas kapasitas tek­nologinya. Meskipun pihak pengimpor dibayar untuk mengelola sampahnya, sikap ini tentu sangat berbahaya, karena yang terjadi bisa saja sampah tersebut dipakai ulang tanpa pengolahan yang layak atau bahkan sangat rawan dibuang begitu saja oleh pihak-pihak pengimpor nakal sehingga menjadi masalah di sekitar lokasi penampungan sampah bahkan masalah lingkungan global.

Kedua, pandangan sampah seba­gai sumber daya. Pandangan ini berpotensi menjadi solusi terhadap kelangkaan sumber daya dan mengu­rangi ekploitasi alam yang dapat merusak lingkungan. Cara inilah yang dilakukan oleh negara China yang mengimpor sampah yang dapat diolah kembali sebagai sumber bahan baku industri manufaktur mereka, misalkan sampah rongsokan besi menjadi bahan baku industri baja hingga mobil, sampah elektronika diekstrak kandungan metal dan mineralnya, dan sampah kertas diolah bagi industri packaging.

Dari kedua pandangan tersebut kita dapat menyikapi impor sampah di Indonesia. Pertama, impor sampah akan berbahaya jika situasi gover­nance yang buruk, dimana regulasi yang long­gar, pengawasan yang tidak konsisten, penegakan hukum lemah, diperparah dengan kapasitas tek­nologi penge­lolaan daur ulang yang masih terbatas. Kondisi ini sangat rawan menjadi arena pencari rente untuk mengeruk keun­tungan sebesar-besarnya tanpa meng­hiraukan efek buruknya.

Tapi kita juga sebaiknya sudah mulai bisa memandang sampah dengan sudut pandang yang positif dengan cara kebijakan impor sampah recycleable yang selektif, transparan dan dengan tata kelola daur ulang sam­pah yang aman serta mengun­tungkan perekonomian negara. Hal ini dapat dicapai dengan regulasi im­por yang selektif dan ketat. Derasnya aliran sampah ke Indonesia ditengarai antara lain karena longgarnya regulasi impor sampah dalam Per­mendag Nomor 31 Tahun 2016.

Larangan Sampah B3

Kebijakan ini harus difor­mulasi­kan ulang dengan memberikan bata­san jenis sampah yang lebih ketat, misalnya selain melarang sampah B3 juga seharusnya menolak sampah non-recyclable dan menuntut tingkat homogenitas sampah recyclable lebih dari 99,5 persen. Untuk itu perlu pe­ngawasan implementasi kebijakan ini dengan meningkatkan kapasitas pe­ngawasan yang baik di berbagai titik rantai bisnis daur ulang. Yang tidak kalah penting adalah pengem­bangan teknologi daur ulang yang tepat guna dan aman. Salah satu contoh imple­mentasi produk tekno­logi daur ulang adalah infrastruktur jalan raya dari plastik daur ulang seperti yang telah diterapkan di Belanda.

Selain itu juga perlu mengem­bang­­kan teknologi pengekstrakan metal dan mineral dari sampah yang aman bagi manusia dan lingkungan. Dengan demikian kita dapat menda­patkan keuntungan ekonomi seka­ligus berkontribusi menyelesaikan ma­salah lingkungan di Indonesia dan se­kaligus global. Jika syarat-syarat yang terkait dengan governance dan tek­nologinya belum terpenuhi, se­baik­nya kita perlu melakukan mora­torium impor sampah. ***

Penulis adalah, pengamat Circular Economy, tinggal di Utrecht, The Netherlands.

()

Baca Juga

Rekomendasi