
Oleh: Ikhwan Kurnia Hutasuhut SAP. Salah satu agenda tuntutan reformasi 1998 yang paling digaungkan adalah otonomi daerah. Tuntutan ini dikarenakan Presiden Soeharto selama 32 tahun lebih memilih pemerintahan yang sentralistis (terpusat di Jawa), sehingga ada kesenjangan pembangunan dan kesejahteraan rakyat antara Jawa dan luar Jawa.
Setelah rezim orde baru berhasil ditumbangkan dan era reformasi lahir, maka agenda-agenda reformasi pun mulai dijalankan. Salah satunya adalah otonomi daerah. Dan salah satu efek dari otonomi daerah adalah pemekaran daerah, baik tingkat kabupaten, kota, dan provinsi. Hal itu diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan berlakunya UU tersebut, gerbang untuk pemekaran-pemekaran daerah di tingkat kabupaten, kota, hingga provinsi menjadi terbuka lebar. Dan hasilnya tujuh provinsi baru terbentuk, sehingga kini Indonesia terdiri dari 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota. Sumatera Utara menjadi provinsi yang paling banyak menyumbang lahirnya kabupaten/kota baru. Ini dapat dilihat dengan munculnya 16 kabupaten/kota baru di Provinsi Sumatera Utara dalam jangka waktu 10 tahun, terhitung dari 1998 sampai 2008. Jumlah ini dipastikan bertambah seandainya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memberlakukan moratorium pemekaran daerah.
Sebenarnya keinginan dan wacana pemekaran daerah di Sumatera Utara tidak sampai pada tingkat pemekaran kabupaten/kota saja. Pemekaran Provinsi Sumatera Utara menjadi wacana yang lebih menarik lagi. Adapun nama-nama provinsi baru yang diwacanakan mekar dari induknya Sumatera Utara beberapa tahun lalu, antara lain Provinsi Tapanuli, Sumatera Tenggara, Asahan-Labuhan Batu, dan Kepulauan Nias.
Memang saat ini satu-satunya wilayah bekas Keresidenan Pemerintah Hindia Belanda yang belum menjadi provinsi tinggal Keresidenan Tapanuli semata. Hal itulah yang menjadi salah satu pendorong orang-orang Tapanuli (khususnya utara) untuk menjadikan Tapanuli sebagai provinsi. Namun, karena dominasi utara dan menjadikan wilayah Siborong-borong sebagai ibu kota provinsi nantinya menimbulkan penolakan dari orang Selatan (khususnya Mandailing) untuk ikut bergabung dengan Provinsi Tapanuli. Dan memang berdasarkan fakta sejarah saat era kerisedenan ibu kota keresidenan Tapanuli adalah Sibolga, bukan Siborong-borong (Castles, 2001). Puncak ketidakberhasilan Provinsi Tapanuli pun berujung dramatis dan memilukan. Ketua DPRD Sumut, Abdul Aziz Angkat saat itu tewas akibat amukan massa pendukung Protap di saat sidang paripurna DPRD Sumut pada 2009 dengan pembahasan Protap dan dengan hasil Provinsi Tapanuli tidak dikabulkan DPRD Sumut.
Pasca gagalnya pembentukan Provinsi Tapanuli, wacana pembentukan provinsi lain di wilayah Sumatera Utara pun mulai redup. Diperkuat lagi dengan adanya kebijakan moratorium pemekaran daerah dari pemerintah pusat.
Setelah sekian tahun redup dan kehilangan semangat, entah sebab apa semangat itu muncul lagi di pertengahan 2019. Sumatera Tenggara itulah nama wacana provinsi baru yang akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan dan diberitakan media cetak lokal. Pasalnya, elit-elit daerah Tabagsel (sebagai wilayah dari Sumatera Tenggara nantinya) terus berkonsolidasi dan menyusun strategi untuk pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara. Meski ada moratorium pemekaran daerah, hal itu tidak membuat semangat para tokoh Tabagsel hilang. Wacana ini kini telah sampai di DPRD Sumut dan akan memperjuangkannya ke pusat agar pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) dibuka lagi. Bahkan Gubernur Edi Rahmayadi juga telah memberi angin segar wacana ini.
Menilik Wacana Prov Sumteng
Setiap ada isu pemekaran daerah sudah pasti alasan, jargon, dan cita-cita yang diusung adalah hal-hal yang ideal dan mulia. Isu-isu kesejahteraan, kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan ekonomi dll merupakan isu-isu yang paling laris dalam perjuangan pemekaran daerah. Tidak terkecuali dengan wacana Sumatera Tenggara, isu-isu demikian juga masih jadi andalan para elite daerah yang berjuang untuk Provinsi Sumatera Tenggara.
Bila kita elaborasi alasan-alasan itu, akan muncul hal-hal berikut: pertama, infrastruktur pembangunan yang minim merupakan alasan yang kerap disampaikan dan dipublikasikan. Konkretnya, sarana-sarana atau fasilitas kesehatan dan pendidikan publik masih terbatas. Kedua, ibu kota pemerintahan yang jauh akibat luasnya wilayah dari kabupaten atau provinsi induk, mengakibatan rakyat sulit mendapatkan pelayanan dan pengayoman oleh birokrasi. Lebih jauh, menyebabkan tertinggalnya wilayah-wilayah pinggiran dari wilayah yang dekat ke pusat pemerintahan (Medan).
Akan tetapi, di balik alasan atau jargon yang mulia itu saya menduga dan berprasangka bahwa itu hanyalah “retorika” para elite politik lokal demi tercapainya keinginan mereka (bukan rakyat) akan lahirnya provinsi baru. Jadi, selain mengkaji cita-cita mulia itu kita juga perlu merenungkan beberapa hal sebelum hati dan pikiran kita sejalan menyetujui lahirnya provinsi baru Sumatera Tenggara.
Pertama, pertarungan elite politik lokal. Secara sepintas terlihat betapa mulia alasan-alasan yang dikemukakan oleh para pejuang pengusung dan penggagas pemekaran suatu wilayah, yakni atas nama kesejahteraan dan peningkatan kualitas kemanusiaan hingga kemajuan ekonomi. UU 32/2004 ternyata telah merangsang para elite politik lokal yang sebelumnya berkompetisi di wilayah induk secara ketat dan keras dalam memperebutkan kue pembangunan untuk membuka kavlingan penghidupan baru. Seperti diketahui, tingkat dinamika ataupun kompetisi di wilayah induk sangat keras dan kompleks.
Kedua, kentalnya ekspresi keetnikan. Sebelum kita berbicara Sumatera Tenggara, ada sesuatu yang menarik di Sumatera Utara. Gerakan-gerakan pemekaran baru yang terjadi terlihat sangat kental dengan ekspresi keetnikan di dalamnya, selain isu-isu kesejahteraan yang dikemukakan dan ditonjolkan. Untuk contoh pemekaran kabupaten kita bisa lihat salah satu contoh pemekaran Kabupaten Dairi menjadi Kabupaten Dairi dan Pakpak Barat, yang terdapat persaingan antara dominasi orang Dairi terhadap orang Pakpak ketika kabupaten tersebut belum dimekarkan (Matondang, 2013). Begitu juga halnya dengan Sumatera Tenggara, ekspresi keetnikan juga sangat kental dalam proses pemekaran Sumatera Tenggara dari Sumatera Utara. Wilayah dari Sumatera Tenggara adalah wilayah Tabagsel saat ini (Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Mandailing Natal, dan Kota Padang Sidempuan). Keempat kabupaten dan satu kota ini sama-sama kita tahu adalah eks Kabupaten Tapanuli Selatan sebelum pemekaran. Dan etnik yang mendiami wilayah ini didominasi oleh subetnik Batak, yakni Angkola dan Mandailing. Angkola dan Mandailing juga dua subetnik yang memiliki banyak persamaan ketimbang perbedaan adat dan budayanya. Artinya, Sumatera Tenggara adalah ekspresi orang-orang Angkola dan Mandailing yang tidak lagi mau bergabung dengan etnik Melayu dan bahkan dengan subetnik Batak lainnya.
Ketiga, minimnya partisipasi masyarakat bawah. Seiring waktu berjalan, kalau ditelusuri secara lebih dalam, persoalan pemekaran bukan semata persoalan kesejahteraan dan pembangunan. Persoalan ini telah dibajak oleh elite-elite politik lokal yang hendak meminta memekarkan diri dari provinsi induknya.
Dikatakan dibajak karena gerakan yang berlangsung bukanlah suatu gerakan popular, melainkan gerakan oleh elite-elite politik di berbagai jenjang, dimulai dari elite berkaliber nasional, provinsi, hingga kabupaten. Akibatnya, masyarakat kelas bawah boleh dikatakan minim partisipasi dalam pergerakan pemekaran itu. Dapat dikatakan yang mengerti mengapa harus dimekarkan hanyalah kelompok-kelompok elit semata. Rakyat nantinya tinggal menerima saja. Hal ini diperkuat dengan tidak lama lagi beberapa daerah di Tabagsel segera melakukan regenerasi kepemimpinan (kepala daerah). Artinya, elit-elit lokal baik yang sedang nonjob dan akan nonjob tidak ingin berlama-lama tidak menduduki kursi singgasana yang empuk.
Penutup
Niat pemekaran provinsi kalau dilihat sepintas memang adalah niat dan cita-cita yang mulia. Akan tetapi, di balik alasan-alasan ideal tersebut kita perlu melihat dan mengkaji dari perspektif lain agar keseimbangan perspektif tetap ada. Tentu kita tidak ingin pemekaran yang terjadi nantinya adalah pemekaran yang tidak sesuai dengan cita-cita yang diharapkan. Jargon-jargon kesejahteraan hanya milik elite-elite yang mengkampanyekannya saat perjuangan pemekaran.
Oleh sebab itu, perlu kajian mendalam secara teoritik dan empirik untuk kelahiran atau pemekaran provinsi baru, yaitu Sumatera Tenggara. Dan yang paling penting adalah pemekaran untuk rakyat, bukan untuk elite lokal. ***
Penulis Wakil Bendahara Umum HMI Badko Sumut.