Menuju Medan Zero Waste City 2020

menuju-medan-zero-waste-city-2020

Oleh: Maurits Pardosi

AKHIR-akhir ini, pe­merintah di ko­ta Me­dan menghelat Rapat So­sia­lisasi Ke­ber­si­han dan Mitigasi Pe­ngen­dalian Banjir Kota Medan dan se­kitarnya di Kantor Gubernur Su­matera Utara. Wakil Walikota, salah satu pe­serta rapat mengatakan peri­laku ma­syarakat yang men­jadikan drainase menjadi tempat pem­buangan sam­­pah sehingga aliran parit yang telah dibuat oleh Pemerintah Kota Me­dan tidak berfungsi dengan mak­simal. Air me­luap karena sampah me­num­­puk pada drainase. Hal sama telah disampaikan Pengamat Ling­ku­ngan Jaya Arjuna bahwa sampah men­jadi penyebab utama banjir di Medan.

Setelah mendapat predikat dari Kementerian Lingkungan Hidup se­bagai Kota Terkotor (terjorok) pada tahun 2018, pada 22 Juni 2019, se­jumlah pemukiman warga teren­dam banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli dan Babura karena sampah. Memang, sejak tahun 2013, sampah men­jadi persoalan sentral di kota Medan. Bahkan pada tahun 2018, kota Medan memproduksi sampah hing­ga 2000 ton per hari. Inilah salah satu alasan mengapa warga dan ma­syarakat harus ber­sinergi mengatasi masalah sampah di kota Medan.

Lebih rinci, Fadmin Prihatin Malau telah menuliskan data pertum­buhan sampah di kota Medan dalam ulasannya di Harian Analisa pada 25 November 2018 yang ber­tajuk “Mengevaluasi Sampah di Kota Medan”. Data menberikan gam­baran bahwa sampah di Kota Medan dari tahun 2008 hingga 2013 me­nunjuk­kan pertumbuhan yang sig­nifikan dengan pertumbuhan pen­duduk. Tahun 2008-2009 pro­duksi sampah meningkat sebesar 33,85 ton. Kemudian 2009-2010 me­ning­kat 677,89 ton. Sedang tahun 2010-2011 menurun sebesar 22,6556 ton, dan tahun 2011-2012 me­ningkat lagi, yakni sebesar 270,3306 ton.

Menurut penelitian tahun 2013, volume sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Medan setiap hari berkisar 1.700 ton. Dari data itu, berarti setiap bulan masyarakat Kota Medan menghasilkan 44.000 ton sampah per bulan. Sedang tahun 2015 mencapai 1.900 ton per hari.

Dikutip dari tulisan Mei Arni pada laman medanbis­nisdaily.com, “Su­ngai Deli, yang merupakan simbol kota Medan, kondisinya kini semakin parah. Sungai sepanjang 76 kilometer yang salah satu alirannya membelah kota Medan ini, telah tercemar oleh berbagai limbah industri yang ada di kota Medan. Sedangkan dari hulu sungai ini telah tercemar oleh unsur hara akibat penggundulan hutan di daerah penyangga sungai. Menurut me­nurut Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara, jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka dalam 20 tahun mendatang, Sungai Deli akan berubah total menjadi parit buruk raksasa. Dari data BLH, Sumut 3 tahun lalu, tercatat bahwa Sungai Deli tercemar 80 persen dari hulu, tengah dan hilir.”

Jelaslah bahwa sampah dan banjir memiliki keterikatan. Sebab, banjir terjadi karena drainase air tidak lancar. Hambatan pada aliran air mutlak dipengaruhi sampah yang menumpuk. Dengan demikian, agen­da bersama antara pemerintah dan warga sudah jelas. Tetap berada pada masalah sampah. Kini, langkah pemerintah guna menjadikan Me­dan sebagai kota zero waste telah digagas pada April 2018.

Gagasan Demi Gagasan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Siti Nurbaya Bakar telah mencanangkan program Medan Zero Waste City 2020 pada April 2018 dan ber­samaan dengan Konsultasi Nasional Ling­ku­ngan Hidup. Menyikapi program he­bat ini, Direktur Wahana Ling­kungan Hidup (Walhi) Suma­tera Utara, Dana Prima Tarigan meng­ung­kap bahwa tidak ada kelanjutan program Medan Zero Waste City 2020. Bahkan, Pemko Medan belum duduk bersama dengan organisasi di bi­dang ling­kungan hidup guna men­cetuskan langkah-langkah strate­gis agar sampai pada Medan Zero Waste. Gagasan adanya reward dan punish­ment juga harus segera dilaksanakan agar pengelolaan sampah semakin ditingkatkan dari hari ke hari. Pada prinsipnya, penuntasan masalah sampah harus dilakukan secara radikal, jangan lengah dan memble.

Diinformasikan oleh Harian Tribun bahwa Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Medan telah menyusun sejumlah program Medan Zero Waste 2020. Bentuk tindakan praktisnya adalah me­nangani kembali pengelolaan sampah, penambahan armada, pengoperasian kembali Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang. Gerakan ini secara dini dilakukan karena setiap warga Kota Medan menghasilkan 0,7 Kg sam­pah per hari dengan jumlah pen­duduk 2,9 juta jiwa. Pemerintah harus sedini mungkin menyikapi dan me­nanggulangi sampah yang men­capai 2000 ton per hari.

Gagasan praktis pemerintah me­nambah moda angkutan me­nambah 40 unit konvektor termasuk becak sampah pada tahun 2018 diyakini masih kurang. Maka, pada tahun 2019, pemerintah masih meran­canakan penambahan moda ang­ku­tan sampah; 20 unit konvek­tor, am­rol, dan bak sampah. Dengan de­mikian, pemerintah semakin yakin bahwa pada akhir 2019, kebersihan Kota Medan akan optimal.

Gagasan berikutnya lahir dari Man­tan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Sumatera Utara yang me­ngu­tarakan bahwa optimalisasi Tem­pat Pem­bua­ngan Akhir harus ter­jamin agar prog­ram 3 R (Reuse, Re­duse, dan Recycle) dapat terlak­sana. Hal ini akan berjalan bila Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Terjun, Medan Mare­lan bu­kan sebatas penampungan sam­pah, me­lain­kan sebagai areal menja­lan­­kan program 3 R tersebut. Artinya, ha­­rus sedini mungkin adanya peru­bahan konsep dari empat tahun yang lalu.

Agen Perubahan

Dilansir dari harian Analisa, salah satu pemerhati lingkungan hidup, Hasan Sitorus telah menuliskan gagasannya sebagai usaha penang­gulangan sampah di kota Medan. Ada tiga pendekatan yang harus dila­kukan, yakni: pendekatan teknis (technical approach), pendekatan so­sial (social approach), dan pende­ka­tan hukum (laws approach). Gagas­an ini lahir karena kondisi ling­kungan hidup di kota Medan miris. Harapan sebagai zero waste city masih utopis dan muskil. Tentu be­berapa kategori sebagai kota Adipura masih jauh dari genggaman kota Medan.

Secara teknis, pengelolaan sam­pah secara konvensional harus sedini mungkin ditinggalkan atau setidak­nya diubah dan dikombinasikan dengan pengelolaan sampah yang lebih modern. Pengelolaan sampah de­ngan sistem biokonversi akan le­bih menguntungkan pemerintah dan warga kota Medan. Oleh karena itu, maka dibutuhkan sinergi antara pe­merintah, warga, dan pihak swasta.

Melalui pendekatan sosial, pemerintah harus berani membuka diri terhadap partisipasi para peng­giat lingkungan hidup guna mengen­taskan masalah sampah. Melalui kerjasama dan koordinasi dengan organisasi masyarakat, pemerintah semakin mudah meng­interna­lisasikan program zero waste city. Hal ini akan berjalan selaras dengan penerapan pemahaman seputar lingkungan dengan metode edukasi dalam ruang lingkup pendidikan.

Pendekatan hukum menitik­beratkan pada meningkatkan kesa­daran hukum masyarakat di bidang lingkungan hidup. Implementasi program di lapangan sudah dilin­dungi hukum. Seyogianya, para perusak lingkungan bisa ditindak secara langsung. Jangan lupa, apreasi juga dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah juga harus bersedia memberikan reward kepada setiap orang atau kelompok yang mendedikasikan dirinya dalam lingkungan hidup. Sentuhan dalam bentuk apresiasi akan membuat setiap orang semakin bersemangat.

Perlu kita ingat, manusia adalah multi dimensi. Manusia tidak bisa dire­duksi dengan beberapa kategori. Sisi lain manusia harus juga men­dapat sen­tuhan, misalnya: sisi budaya dan aga­ma. Artinya, masing-masing individu harus mampu membangun moral dalam dirinya. Budaya dan agama akan menjadi ladang edukasi paling subur guna menanamkan moral lingkungan hidup, secara khusus penuntasan persoalan sampah di kota Medan.

Saya yakin bahwa sehebat apa­pun program pemerintah, bila belum ada ke­sadaran moral, maka program itu hanya sebatas wacana yang tak kun­jung nyata. Moralitas menjadi bahan ba­kar bagi setiap warga menjunjung ti­­ng­­gi cita-cita bersama. Mo­ralitas men­jadi perekat menuju kebaikan ber­sama (bonum commu­nae). Me­ng­apa de­mi­kian? Tidak bisa di­pung­kiri, pe­merintah sudah me­ner­bitkan ber­a­gam ke­putusan seputar pemeliha­raan li­ng­­­ku­ngan di kota Medan, na­mun pro­g­ram ter­sebut be­lum optimal. Ala­san utama­nya adalah minimnya kesa­daran mo­ral sekaitan dengan lingku­ngan hi­dup, secara khusus mengenai sampah.

Secara sederhana, pengelolaan sam­pah di kota Medan hingga kini ma­sih tetap menjadi PR kita ber­sama. Hal ini disebabkan oleh mo­ra­litas bersama masih miskin. Kita bisa saja kaya ide, namun bila miskin mo­­ral hasilnya akan am­buradul. Pro­gram pemerintah adalah prog­ram kita bersama. Sinergi (kerja sama) hanya tumbuh di atas moral. ***

Penulis adalah, pemerhati masalah sosial

()

Baca Juga

Rekomendasi