
Oleh: Maurits Pardosi
AKHIR-akhir ini, pemerintah di kota Medan menghelat Rapat Sosialisasi Kebersihan dan Mitigasi Pengendalian Banjir Kota Medan dan sekitarnya di Kantor Gubernur Sumatera Utara. Wakil Walikota, salah satu peserta rapat mengatakan perilaku masyarakat yang menjadikan drainase menjadi tempat pembuangan sampah sehingga aliran parit yang telah dibuat oleh Pemerintah Kota Medan tidak berfungsi dengan maksimal. Air meluap karena sampah menumpuk pada drainase. Hal sama telah disampaikan Pengamat Lingkungan Jaya Arjuna bahwa sampah menjadi penyebab utama banjir di Medan.
Setelah mendapat predikat dari Kementerian Lingkungan Hidup sebagai Kota Terkotor (terjorok) pada tahun 2018, pada 22 Juni 2019, sejumlah pemukiman warga terendam banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli dan Babura karena sampah. Memang, sejak tahun 2013, sampah menjadi persoalan sentral di kota Medan. Bahkan pada tahun 2018, kota Medan memproduksi sampah hingga 2000 ton per hari. Inilah salah satu alasan mengapa warga dan masyarakat harus bersinergi mengatasi masalah sampah di kota Medan.
Lebih rinci, Fadmin Prihatin Malau telah menuliskan data pertumbuhan sampah di kota Medan dalam ulasannya di Harian Analisa pada 25 November 2018 yang bertajuk “Mengevaluasi Sampah di Kota Medan”. Data menberikan gambaran bahwa sampah di Kota Medan dari tahun 2008 hingga 2013 menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dengan pertumbuhan penduduk. Tahun 2008-2009 produksi sampah meningkat sebesar 33,85 ton. Kemudian 2009-2010 meningkat 677,89 ton. Sedang tahun 2010-2011 menurun sebesar 22,6556 ton, dan tahun 2011-2012 meningkat lagi, yakni sebesar 270,3306 ton.
Menurut penelitian tahun 2013, volume sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Medan setiap hari berkisar 1.700 ton. Dari data itu, berarti setiap bulan masyarakat Kota Medan menghasilkan 44.000 ton sampah per bulan. Sedang tahun 2015 mencapai 1.900 ton per hari.
Dikutip dari tulisan Mei Arni pada laman medanbisnisdaily.com, “Sungai Deli, yang merupakan simbol kota Medan, kondisinya kini semakin parah. Sungai sepanjang 76 kilometer yang salah satu alirannya membelah kota Medan ini, telah tercemar oleh berbagai limbah industri yang ada di kota Medan. Sedangkan dari hulu sungai ini telah tercemar oleh unsur hara akibat penggundulan hutan di daerah penyangga sungai. Menurut menurut Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara, jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka dalam 20 tahun mendatang, Sungai Deli akan berubah total menjadi parit buruk raksasa. Dari data BLH, Sumut 3 tahun lalu, tercatat bahwa Sungai Deli tercemar 80 persen dari hulu, tengah dan hilir.”
Jelaslah bahwa sampah dan banjir memiliki keterikatan. Sebab, banjir terjadi karena drainase air tidak lancar. Hambatan pada aliran air mutlak dipengaruhi sampah yang menumpuk. Dengan demikian, agenda bersama antara pemerintah dan warga sudah jelas. Tetap berada pada masalah sampah. Kini, langkah pemerintah guna menjadikan Medan sebagai kota zero waste telah digagas pada April 2018.
Gagasan Demi Gagasan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Siti Nurbaya Bakar telah mencanangkan program Medan Zero Waste City 2020 pada April 2018 dan bersamaan dengan Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup. Menyikapi program hebat ini, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan mengungkap bahwa tidak ada kelanjutan program Medan Zero Waste City 2020. Bahkan, Pemko Medan belum duduk bersama dengan organisasi di bidang lingkungan hidup guna mencetuskan langkah-langkah strategis agar sampai pada Medan Zero Waste. Gagasan adanya reward dan punishment juga harus segera dilaksanakan agar pengelolaan sampah semakin ditingkatkan dari hari ke hari. Pada prinsipnya, penuntasan masalah sampah harus dilakukan secara radikal, jangan lengah dan memble.
Diinformasikan oleh Harian Tribun bahwa Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Medan telah menyusun sejumlah program Medan Zero Waste 2020. Bentuk tindakan praktisnya adalah menangani kembali pengelolaan sampah, penambahan armada, pengoperasian kembali Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang. Gerakan ini secara dini dilakukan karena setiap warga Kota Medan menghasilkan 0,7 Kg sampah per hari dengan jumlah penduduk 2,9 juta jiwa. Pemerintah harus sedini mungkin menyikapi dan menanggulangi sampah yang mencapai 2000 ton per hari.
Gagasan praktis pemerintah menambah moda angkutan menambah 40 unit konvektor termasuk becak sampah pada tahun 2018 diyakini masih kurang. Maka, pada tahun 2019, pemerintah masih merancanakan penambahan moda angkutan sampah; 20 unit konvektor, amrol, dan bak sampah. Dengan demikian, pemerintah semakin yakin bahwa pada akhir 2019, kebersihan Kota Medan akan optimal.
Gagasan berikutnya lahir dari Mantan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Sumatera Utara yang mengutarakan bahwa optimalisasi Tempat Pembuangan Akhir harus terjamin agar program 3 R (Reuse, Reduse, dan Recycle) dapat terlaksana. Hal ini akan berjalan bila Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Terjun, Medan Marelan bukan sebatas penampungan sampah, melainkan sebagai areal menjalankan program 3 R tersebut. Artinya, harus sedini mungkin adanya perubahan konsep dari empat tahun yang lalu.
Agen Perubahan
Dilansir dari harian Analisa, salah satu pemerhati lingkungan hidup, Hasan Sitorus telah menuliskan gagasannya sebagai usaha penanggulangan sampah di kota Medan. Ada tiga pendekatan yang harus dilakukan, yakni: pendekatan teknis (technical approach), pendekatan sosial (social approach), dan pendekatan hukum (laws approach). Gagasan ini lahir karena kondisi lingkungan hidup di kota Medan miris. Harapan sebagai zero waste city masih utopis dan muskil. Tentu beberapa kategori sebagai kota Adipura masih jauh dari genggaman kota Medan.
Secara teknis, pengelolaan sampah secara konvensional harus sedini mungkin ditinggalkan atau setidaknya diubah dan dikombinasikan dengan pengelolaan sampah yang lebih modern. Pengelolaan sampah dengan sistem biokonversi akan lebih menguntungkan pemerintah dan warga kota Medan. Oleh karena itu, maka dibutuhkan sinergi antara pemerintah, warga, dan pihak swasta.
Melalui pendekatan sosial, pemerintah harus berani membuka diri terhadap partisipasi para penggiat lingkungan hidup guna mengentaskan masalah sampah. Melalui kerjasama dan koordinasi dengan organisasi masyarakat, pemerintah semakin mudah menginternalisasikan program zero waste city. Hal ini akan berjalan selaras dengan penerapan pemahaman seputar lingkungan dengan metode edukasi dalam ruang lingkup pendidikan.
Pendekatan hukum menitikberatkan pada meningkatkan kesadaran hukum masyarakat di bidang lingkungan hidup. Implementasi program di lapangan sudah dilindungi hukum. Seyogianya, para perusak lingkungan bisa ditindak secara langsung. Jangan lupa, apreasi juga dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah juga harus bersedia memberikan reward kepada setiap orang atau kelompok yang mendedikasikan dirinya dalam lingkungan hidup. Sentuhan dalam bentuk apresiasi akan membuat setiap orang semakin bersemangat.
Perlu kita ingat, manusia adalah multi dimensi. Manusia tidak bisa direduksi dengan beberapa kategori. Sisi lain manusia harus juga mendapat sentuhan, misalnya: sisi budaya dan agama. Artinya, masing-masing individu harus mampu membangun moral dalam dirinya. Budaya dan agama akan menjadi ladang edukasi paling subur guna menanamkan moral lingkungan hidup, secara khusus penuntasan persoalan sampah di kota Medan.
Saya yakin bahwa sehebat apapun program pemerintah, bila belum ada kesadaran moral, maka program itu hanya sebatas wacana yang tak kunjung nyata. Moralitas menjadi bahan bakar bagi setiap warga menjunjung tinggi cita-cita bersama. Moralitas menjadi perekat menuju kebaikan bersama (bonum communae). Mengapa demikian? Tidak bisa dipungkiri, pemerintah sudah menerbitkan beragam keputusan seputar pemeliharaan lingkungan di kota Medan, namun program tersebut belum optimal. Alasan utamanya adalah minimnya kesadaran moral sekaitan dengan lingkungan hidup, secara khusus mengenai sampah.
Secara sederhana, pengelolaan sampah di kota Medan hingga kini masih tetap menjadi PR kita bersama. Hal ini disebabkan oleh moralitas bersama masih miskin. Kita bisa saja kaya ide, namun bila miskin moral hasilnya akan amburadul. Program pemerintah adalah program kita bersama. Sinergi (kerja sama) hanya tumbuh di atas moral. ***
Penulis adalah, pemerhati masalah sosial