Pembukaan Lahan Sawit Ancam Kelestarian Gajah

pembukaan-lahan-sawit-ancam-kelestarian-gajah

Banda Aceh, (Analisa). Habitat gajah di Kawasan Eko­sis­tem Leuser (KEL) semakin terancam. Pas­alnya, saat ini sedang terjadi pem­bukaan lahan besar-besaran untuk per­kebunan sawit di daerah tersebut. Tim investigasi lapangan Rainforest Action Network berhasil melakukan pen­dokumentasikan bukti pembukaan ba­ru di hutan hujan dataran rendah wi­layah timur laut Kawasan Ekosistem Leuser pada Mei 2019 lalu.

Kawasan hutan yang dibuka me­miliki konsentrasi keanekaragaman ha­yati yang diakui secara internasional sebagai habitat penting gajah Sumatera yang terancam punah dan merupakan rute migrasi gajah Sumatera menuju wilayah hutan utuh yang lebih luas yang tersisa di Indonesia.

Para ahli satwa liar khawatir bahwa jumlah populasi gajah di kawasan tersebut lebih rendah dari yang di­pe­r­lu­kan untuk mempertahankan po­pulasi jangka panjang gajah Sumatera, untuk mencegah agar spesies ini tidak punah sangat tergantung pada usaha meng­hentikan deforestasi yang terjadi pada lans­kap hu­tan hujan data­ran ren­dah kritis yang mem­be­ntang me­lalui Ka­bupaten Aceh Ti­mur, Aceh Utara, Aceh Ta­miang hingga m­e­lin­­tasi perbatasan Ta­man Na­sional Gu­nung Leuser di Suma­tera Utara.

"Kerusakan hutan ter­­jadi di lahan yang dialo­ka­sikan untuk tiga peru­sa­haan perke­bu­nan ke­lapa sawit yakni PT NY, PT IA dan PT TR," ujar In­donesia Com­mu­nications Coor­­dinator, Leoni Rahma­wati, Ju­mat (26/7).

Milik pengusaha Aceh

Dikatakannya, keti­ga perusahaan tersebut di­mi­liki pengusaha Aceh. PT NY, peru­sa­haan yang tercatat me­la­kukan pem­bukaan lahan terbesar dan menda­pat­kan izin sejak Januari 2019. Internatio­nal Union for the Conservation of Na­ture (IUCN) memperkirakan saat ini hanya sekitar 700-1.000 gajah Su­ma­tera tersisa di seluruh Sumatera, sekitar 200 ekor di antaranya bertahan hidup dan sangat bergantung pada hutan hu­jan dataran rendah, di mana pem­bu­kaan hutan tersebut terjadi.

Satwa terancam punah yang tersisa ini semakin terisolasi, terpisah satu sa­­ma lain hingga terputus dari rute mi­­­grasi mereka karena fragmentasi hu­­tan dan terkepung aktivitas pem­bu­kaan lahan perkebunan kelapa sawit, yang menyebabkan wilayah hutan hu­jan dataran rendah ini menyusut.

Menurutnya, hilangnya 70 % habitat gajah Sumatera sejak tahun 1985 telah me­micu peningkatan konflik ma­nusia de­ngan satwa liar hingga me­ng­akibatkan satwa dilindungi ini dibu­nuh karena diang­gap sebagai hama oleh warga, atau ter­jebak dalam pe­rangkap yang ditempat­kan oleh pem­buru liar di sam­ping kebun masya­rakat atau perkebunan kelapa sawit.

Saat ini, lanjut Leoni, gajah Su­matera menghadapi ancaman kepu­na­han yang serius dan sangat nyata. Ini harus dicegah, dengan mendesak me­rek-merek global yang meng­gu­nakan minyak kelapa sawit dalam pro­duk mereka, untuk membangun sistem pe­mantauan dan penegakkan hukum bagi pemasok minyak sawit yang be­rada di Kawasan Ekosistem Leuser hing­­ga menuntut, agar minyak kelapa sawit yang mereka gunakan benar-be­nar berasal dari sumber yang dapat di­ve­rifikasi dan bertanggung jawab.

Inisiatif pemerintah untuk mene­tap­kan moratorium permanen atas pem­bu­kaan hutan primer di seluruh In­do­ne­sia yang baru-baru ini di­umum­kan me­ru­pakan langkah positif yang me­nun­jukkan adanya komitmen untuk melindungi dan menghubungkan kem­bali kawasan hutan yang menjadi habitat terakhir gajah Sumatera ini. Pemerintah provinsi dan pu­sat diharapkan dapat bekerja sama dalam memberikan perlindu­ngan hukum yang lebih kuat bagi hutan tersisa, yang terancam konversi di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. (irn)

 

()

Baca Juga

Rekomendasi