Oleh: Deddy Kristian Aritonang
PEMBANGUNAN fisik dan infrastruktur merupakan konsekuensi logis yang harus diemban oleh sebuah peradaban kota maju. Lagi pula, muaranya adalah demi mempermudah kehidupan manusia. Tetapi, bila implementasinya tidak dilakukan lewat mekanisme yang sesuai aturan, tentu akan berdampak serius pada lingkungan.
Pendeknya, pembangunan di daerah perkotaan pada umumnya mendatangkan perkembangan positif dari segi perekonomian namun mengalami penurunan secara ekologi. Ujung-ujungnya yang akan merasakan kerugian adalah manusia sendiri.
Sebagai kota metropolitan, Kota Medan sepertinya sedang menuju tren tidak sehat ittu. Menurut data BPS (update data terakhir: 27 Agustus 2018), luas kota Medan adalah 265 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 2.247.425 jiwa. Fakta ini menempatkan Kota Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia setelah DKI Jakarta dan Surabaya.
Kepadatan jumlah penduduk sejalan dengan sangat tingginya aktifitas perekonomian di Kota Medan. Kita bisa melihat pembangunan digenjot terus-menerus. Gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, perumahan, perkantoran, ruko-ruko dan lain-lain semakin ramai mengisi banyak sudut di kota ini.
Para pengembang (developer) sektor bisnis properti ibarat pemburu satwa liar. Mereka selalu memangsa tanah-tanah kosong untuk dikomersilkan. Sayangnya, mereka juga cenderung abai pada keseimbangan lingkungan.
Keadaan itu mengakibatkan alam menjadi tidak bersahabat lagi. Ciri-ciri yang paling lazim kita temui misalnya kualitas udara dalam bentuk gas karbondioksida (CO2) mengalami penurunan.
Selain itu, pada musim-musim kemarau, hampir di setiap siang hari dan kadang malam hari, masyarakat di Kota Medan menghadapi suhu yang begitu menyengat. Untuk mengatasinya, pilihan menggunakan Air Conditioner (pendingin ruangan) menjadi opsi yang sangat rasional.
Tapi masifnya penggunaan mesin pendingin ruangan justru malah menambah pelik masalah yang sudah ada yaitu semakin meningkatnya emisi karbon. Padahal, emisi karbon selama ini juga sudah sangat tinggi yang diakibatkan oleh banyaknya kendaraan bermotor dan sektor industri.
Akibatnya, selain suhu yang kian panas, zat-zat polutan yang membahayakan kesehatan juga ikut mengalami kenaikan. Parahnya lagi, ketika musim hujan datang, guyuran air hujan langsung menjadikan banyak jalan dan titik tertentu di kawasan di Kota Medan ibarat sungai.
Upaya untuk mencegah agar kondisi itu tidak semakin memburuk harus segera dilakukan. Salah satunya adalah dengan cara menerapkan konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) melalui pemberdayaan Hutan Kota secara ketat.
Saya sengaja membubuhkan kata ‘ketat’ karena pada kenyataannya Kota Medan sudah memiliki tiga kawasan Hutan Kota yaitu Taman Beringin, Bumi Perkemahan Pramuka Cadika dan Kebun Binatang namun keberadaaan ketiganya belum berdampak signifikan pada lingkungan.
Faktanya, menurut penelitian Johansen Silalahi seperti yang dikutip dari laman www.researchgate.net pada Maret 2018, luas area ketiga Hutan Kota ini belum mampu menyerap total emisi yang dihasilkan di Kota Medan setiap harinya. Singkatnya, penelitian itu menyimpulkan bahwa perlu diadakan penambahan area hijau seluas sekitar 474.836 ha dari luas Kota Medan.
Memang salah satu syarat untuk menjadi kota Metropolitan menurut UU Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang adalah kewajiban menyediakan RTH setidak-tidaknya sebesar 30 persen untuk pengamanan kawasan lindung perkotaan, pengendalian pencemaran, dan kerusakan tanah, air dan udara.
Sementara itu, menurut anggota DPRD Kota Medan, Drs. Hendrik H Sitompul M.M, RTH di Kota Medan baru mencapai angka 10 persen (sumber: pewarta.co). Selisih 20 persen ini merupakan angka yang cukup besar dan terkadang membuat kita seharusnya berpikir bagaimana mungkin Kota Medan meraih predikat metropolitan sedangkan salah satu syarat vital seperti ini saja belum terpenuhi.
Pemerintah Kota Medan harus berbenah untuk menutupi ketimpangan itu. Wacana untuk mengembalikan fungsi lapangan Merdeka Medan sebagai RTH misalnya patut kita tunggu-tunggu.
Meski luasnya hanya 4,88 ha dan masih sangat jauh untuk menutupi kekurangan tadi, setidak-tidaknya kebijakan itu akan memberikan efek ‘shock therapy’ bagi para pengusaha dan pihak-pihak tertentu yang doyan membangun tempat bisnis dengan RTH sebagai tumbalnya. Jika terealisasi, semangat dan inspirasi untuk menjadikan kawasan-kawasan lain yang punya potensi sebagai RTH boleh jadi akan semakin tinggi.
Menurut Zein (2000) seperti yang dikutip oleh Josua Sibarani, hutan kota adalah suatu areal lahan perkotaan yang terdiri dari beberapa komponen fisik dengan vegetasi berupa pohon-pohon sebagai kesatuan ekosistem yang berperan dan berfungsi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Keberadaan hutan kota sering dianggap sepele dan terpinggirkan oleh pembangunan yang seakan tidak pernah berhenti. Ruang-ruang terbuka dibabat habis dan diganti menjadi belantara beton.
Padahal hutan kota memberikan begitu banyak manfaat. Di antaranya adalah sebagai paru-paru kota, menurunkan suhu, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar dan menjadi tujuan rekreasi alternatif yang murah bagi masyarakat. Dengan kata lain, hutan kota mampu membangkitkan sisi humanisme kita yang kian hilang di era disruptif saat ini.
Hutan kota memberikan wadah bagi keluarga untuk berkumpul di sore hari atau di akhir pekan untuk menikmati waktu yang berkualitas atau untuk berolah raga bersama. Dunia bermain anak-anak yang belakangan mulai dirampas oleh adiksi akut pada gawai juga bisa dihidupkan kembali dengan area bermain bernuansa alam yang lazimnya bisa ditemukan di hutan kota.
Selain itu, hutan kota juga memiliki dampak positif bagi psikologis pengemudi kendaraan. Setidak-tidaknya itulah yang saya rasakan sendiri. Saat melintas di kawasan hutan kota Taman Beringin di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, meski dalam keadaan macat lalu lintas, banyaknya pepohonan asri di sana membuat saya tetap merasa nyaman. Perasaan nyaman itu tidak saya jumpai di kawasan-kawasan lain di Kota Medan yang minus pepohonan ketika lalu lintas sedang macet.
Tentu menjadi harapan kita semua agar Kota Medan yang kita cintai ini tidak hanya dibombardir oleh pembangunan fisik tapi juga diimbangi dengan kehadiran ruang-ruang publik yang hijau dan ramah lingkungan. Semoga.
(Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS)