Merajut Mimpi Anak Berkebutuhan Khusus

merajut-mimpi-anak-berkebutuhan-khusus

Oleh: J Anto

ANAK-anak itu me­ngenakan baju ala dokter, polisi, tentara, ahli pertu­kangan, pekerja kantoran, ustaz sampai berkebaya dan bersanggul bak ahli tata rias. Ada juga yang membaca puisi walau harus duduk di kursi roda, menari oriental  sampai tortor batak.  Mereka adalah anak-anak tuna­grahita dan tunadaksa.  Di depan para tamu undangan, mereka unjuk kreasi sem­bari merajut mimpi seperti anak-anak umumnya.

Karpet merah tergelar di tengah ruangan berukuran 15 x 35 meter, membelah barisan deretan kursi di sisi kanan-kiri yang telah sesak diisi tamu. Sebagian besar mereka adalah pengurus dan anggota Lions Club Medan Merdeka Distrik 307 A2 dan dari Yayasan Welas Asih, serta tamu undangan lain.

Dinding ruangan itu penuh lukisan anak-anak yang artistik dan sarat nuansa keceriaan. Dinding panggung ruangan misalnya dihias lukisan anak-anak tengah bermain di tepi kolam sembari menatap gemas ikan-ikan koi yang tengah berenang. Sementara ujung dinding lainnya terdapat lukisan anak-anak tengah menyaksikan induk panda bermain dengan anaknya di tengah taman yang rimbun dengan pepo­honan hijau.

Dengan pelantang suara, pembawa acara memulai membuka parade pakaian.  “Apa yang dipakai anak-anak sekaligus mewakili cita-cita mereka,” katanya. Lalu  satu per satu peserta parade dipersilakan berjalan di atas karpet merah selebar kira-kira 1 meter dan panjang 6 meter itu.

Peserta yang tampil adalah Ryan, mengenakan baju terusan putih yang biasa dikenakan dokter. Jempol kiri dan kanan­nya dimasukkan ke dalam saku bajunya. Ia banyak mengumbar senyum saat melang­kah. Langkah kakinya terlihat tergesa-gesa.

Saat beberapa tamu undangan berdiri dan mengangkat tangan mereka dengan telapak terbuka. Ryan langsung balas memukul sembari tersenyum lebar.

Ryan adalah  siswa kelas VII SLB C Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Begitulah secara bergantian, Selasa (23/7) siang, puluhan anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, dan anak tunadaksa yang memilki gangguan gerakan fisik karena faktor cacat atau kelainan struktur tulang, memang tengah punya gawe spesial, merayakan Hari Anak 2019.

Sejumlah acara digelar. Mulai dari parade pakaian sampai unjuk kreasi lewat baca puisi, tari-tarian, dan gelar karya hasil membatik.

Layaknya anak-anak berkebutuhan khusus, saat melakukan parade mereka tampil sesuai keadaan fisik, intelektual, dan emosional. Ada peserta yang harus duduk di kursi roda sembari mengayun-ayunkan topi polisi yang dikenakannya. Namun ada juga anak, seperti Ikbal Lubis berseragam angkatan laut hilir mudik mengayuh sepeda mini karena fisiknya tergolong mungil.

Pergaulan Inklusif

Suasana ceria penuh tawa, senyum, kadang juga ditingkahi canda guru pembawa acara. Hari itu memang seolah-olah milik anak-anak berkebutuhan khusus di SLB YPAC Medan. Mereka juga terlihat tak canggung menjabat tangan, membalas tegur sapa tamu, bahkan terlihat antusias saat beberapa tamu undangan mengajak berfoto.

“Perayaan seperti ini yang dihadiri tamu undangan dari luar, juga para orang tua siswa, memang salah satu  strategi kami  membawa anak berkebutuhan khusus ke pergaulan yang inklusif,” ujar Kepala SLB C dan Kepala Pusat Rehabilitasi Anak YPAC Medan, Suratno, M.Psi.

Acara di sekolah yang didirikan sejak 1974 itu, sekaligus  ditandai peresmian renovasi ruangan tata busana yang diinisiasi Lions Club Medan Merdeka Distrik 307 A2. “Ini adalah renovasi keempat setelah sebelumnya Lions Club Medan Merdeka merenovasi ruang per­pustakaan, tata rias atau salon, dan ruang belajar membatik,” tutur Ketua Komite Pelaya­nan Lions untuk Anak-anak  2019 - 2020, Suryani Susilo.

Hadir dalam acara itu, sejumlah pengurus Lion club Medan Merdeka, seperti  Distrik Gubernur 307 A2 2019 – 2020 Syafii Salim, Wakil Gubernur 1 Yulina Indriani, Wakil Guberenur 2 Karun wiranto, Benkab Rudy Wu, Wakil Ketua Komite Pelayanan Lions Johanna, dan anggota lainnya.

Peran Lions Club Medan Merdeka tak hanya mem­bantu renovasi keempat ruangan yang difungsikan untuk pengembangan ketrampilan anak-anak berkebutuhan khusus itu. Mereka  juga membantu pengadaan sarana dan berbagai peralatan ruangan tersebut.

“Ini wujud kepedulian para fellow lions dan donatur terhadap pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus,” tambah Suryani Susilo.

SLB YPA C Medan, berawal dari idealisme yang disemai dari sebuah ruang garasi di rumah Prof. Dr. Soeroso di Jalan Tengku Daud, Medan. Saat itu tahun 1964, lima dokter tentara yang berpraktik di RS Putri Hijau, Prof. dr. Soeroso, dr. Sitepu Pandebesi, Kol. dr. Ibrahim Irsan, dr. Gono Pane, dan dr. Gondo Amijoyo, membuka pelayanan klinik fisioterapi khusus untuk anak-anak yang tidak bisa berjalan, menggerakkan tangan, dan mengalami hambatan gerakan fisik.

Sebuah layanan medis yang kurang mendapat perhatian saat itu. Seiring waktu, setelah klinik fisioterapi berjalan, menyu­sul dibuka layanan medis untuk anak-anak tunadaksa. Pada 1968, YPAC Medan lalu menjadi anak cabang YPAC Pusat yang didirikan Prof. Dr. Soeharso, 1954. Dokter Soeharso adalah ahli bedah tulang yang dikenal sebagai perintis upaya rehabilitasi bagi penyandang cacat di Indonesia.

Pada 1974 melihat tujuan mulia YPAC Medan, Walikota Medan, Sjoerkani, memberikan hibah tanah seluas 4.735 m2. Tanah itu terletak di Jalan Adinegoro, lokasi SLB YPAC sekarang ini. Sejak memiliki tanah sendiri, secara bertahap pengurus yayasan mulai membangun SLB untuk menampung anak-anak tunadaksa dan tunagrahita. Ruang fisioterapi dan layanan medis secara bersamaa juga dibangun.

Pada 2000, YPAC Medan lalu menjadi lembaga otonom, tidak lagi memiliki hubungan struktural dengan YPAC di pusat. “Meski begitu, kami terutama pengurus yayasan tetap memiliki ikatan emosional dengan pengurus YPAC Nasional,” ujar Suratno. Setiap 4 tahun sekali misalnya, pengurus YPAC di seluruh Indonesia, berkumpul di sebuah kota. Mereka saling berbagi pengalaman tentang kemajuan sekolah yang dikelola.

“Pengurus YPAC  Medan umumnya masih muda-muda. Kalau dari Solo, Surabaya, sudah sepuh, namun mereka tetap bugar dan terlihat awet muda. Mungkin itu berkah Tuhan karena lama mengurus anak-anak berkebutuhan khusus,” ujar Ketua YPAC Medan, Rose Rahmat.

Pengurus YPAC Medan silih berganti berkarya sejak 1964. Rose Rahmat sendiri mulai berkiprah sejak 2010. Misinya adalah menghadirkan lingkungan pendi­dikan yang membuat anak-anak berke­butuhan khusus makin merasa nyaman,  kerasan, dan bergembira.

“Mereka juga harus jadi figur anak yang  percaya diri terhadap tamu agar bisa berperan di ruang publik,” katanya.

Berbagai pembenahan dilakukan. Tak hanya menyentuh aspek fisik, tapi juga nonfisik, seperti perubahan kultur guru dalam mendidik anak berkebutuhan khusus. Secara fisik, infrastruktur sekolah juga makin berkembang. Selain telah memilikin ruangan fisioterapi, okupasi terapi, terapi wicara, dan konsultasi psikologi, sejak Juni 2019 juga telah bertambah fasilitas kolam renang hidro­terapi.

Pertama di Sumut

Menurut Rose Rahmat, kolam hidro­terapi berukuran 5 x 5 meter itu, meru­pakan fasilitas pertama yang ada pada sekolah luar biasa di Sumut. Bahkan juga pada rumah sakit di Medan. “Kolam hidroterapi sangat bagus untuk terapi mereka yang mengalami stroke atau yang mengalami stres atau depresi.”

Sejumlah referensi menyebutkan, kolam renang hidroterapi merupakan metode terapi latihan dalam fisioterapi, latihan terapi dilaksanakan di dalam kolam berisi air bersuhu 33° - 36° C. Efek fisiologi dari latihan di air disebabkan adanya kombinasi dari kehangatan air kolam. Manfaat suhu hangat dari air sama baik pada anak-anak dan dewasa. Ini berhubungan dengan temperatur tubuh, sirkulasi, dan beratnya aktifitas.

Efek terapeutik dalam air antara lain mengurangi nyeri dan spasme otot, mempertahankan atau meningkatkan lingkup gerak sendi, penguatan dari otot yang lemah, dan peningkatan toleransi otot terhadap latihan. Edukasi ulang dari otot yang mengalami kelumpuhan, mening­katkan kemampuan aktifitas fungsional serta memertahankan dan meningkatkan keseimbangan, koordinasi dan postur tubuh.

Pihak yayasan berencana menjadikan kolam hidroterapi bisa diakses mereka yang butuh terapi kesehatan. Salah satu yang tengah digagas adalah bekerjasama dengan pihak rumah sakit.

“Kolam hidroterapi butuh biaya maintenance cukup besar, sementara operasinya untuk siswa hanya sampai pukul 12.00 WIB. Di atas jam itu, sangat mungkin untuk diakses pasien atau orang yang butuh hidro terapi,” kata Rose Rahmat.

Selain fasilitas itu, ada juga ruang kelas vokasional atau ketrampilan seperti belajar tata rias dan salon, membatik dan tata busana. Bagi siswa yang memiliki bakat bermain musik, pihak sekolah juga menyediakan fasilitasi keyboard lengkap dengan perangkat soundsystem. Sedang bagi yang hobi olahraga juga disediakan lapangan dan alat-alat sesuai kebutuhan siswa. Fasilitas untuk beribadah siswa juga telah dibangun.

Selain menggenjot penambahan fasilitas dan peningkatan kualitas layanan, Rose Rahmat yang pernah menjadi President Woman International Club itu juga membangun budaya hidup bersih dan sehat di lingkungan sekolah. Seluruh toilet diganti jadi baru. Dinding ruangan dicat hijau daun untuk menimbulkan efek teduh dan asri bagi anak-anak.

Kultur Kerja

Etos kerja guru juga digeber. Mereka harus total dalam melayani pendidikan anak. Dalam arti cepat memberi respons terhadap keluhan anak atau orang tua anak, wajib hadir tiap hari ke sekolah, berpakai­an rapi, dan fokus pada pekerjaan member­dayakan anak. Banyak pembenahan fisik dan kultur dilakukan. Awalnya banyak yang terkaget-kaget

“Dalam tahun pertama saya tiap hari masih hadir, tapi setelah itu semua sudah bisa jalan. Sekarang saya hanya sekali-kali datang memantau. Kadang cukup lewat telepon,” ujar Rose Rahmat.

Hari makin siang, terik matahari makin terasa menyengat, di pintu gerbang, Maulana Siddiq, berdiri dengan senyum terkembang. “Selamat jalan, Pak....”

Tak begitu jelas suara aksentuasi vokal keluar dari pita suara anak laki-laki bertumbuh tambun itu. Tapi yang jelas, mantan siswa tunagrahita yang dipeker­jakan pihak sekolah sebagai tenaga kebersihan sejak 2018 itu ingin memberi kehangatan untuk tamunya.

()

Baca Juga

Rekomendasi