
Temuan riset Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan, dalam literasi membaca, matematika dan sains, siswa yang berusia 15 tahun di Indonesia amat rendah. Temuan itu menunjukkan, dalam literasi membaca, 69% siswa Indonesia di tingkat kecakapan 1 dan di bawah 1. Yaitu cuma sanggup mengenali tema bacaan, namun tidak mampu menemukan keterkaitan antara tema bacaan dan pengetahuan yang dipunyai.
Sebanyak 31% siswa Indonesia berada di bawah level kemahiran 1, yang artinya cuma sanggup membaca namun tak mampu mengenali tema bacaan dan inti bacaan, kesulitan mencari informasi implisit, dan tak mampu mengaitkan antara informasi bacaan dan pengetahuan yang dimilikinya. Hanya 6% siswa Indo-nesia yang berada pada level kemahiran 3, yang artinya punya kemampuan mencari gagasan utama bacaan, mengintegrasikan, mengontraskan dan membandingkan bagian-bagian bacaan, memahami informasi dan bacaan secara terperinci.
Literasi siswa Indonesia dalam bidang matematika juga amat rendah dibandingkan 43 negara yang diteliti. Siswa Indonesia berada di peringkat 2 terbawah. Pada tingkat kemampuan ini, siswa cuma mampu menyelesaikan satu langkah persoalan matematika, mengenal informasi yang bersifat diagram atau teks yang tidak kompleks, dan menerapkan prosedur matematik yang rutin dan mudah dihapal.
Dalam literasi bidang sains, kemampuan siswa Indonesia berada pada peringkat paling bawah. Siswa Indonesia hanya mampu mengingat fakta, terminologi dan hukum sains serta menggunakan pengetahuan sains bersifat umum dalam mengambil kesimpulan.
Kondisi itu amat memprihatinkan. Ini mengingat kompetisi global menuntut warga bangsa kita menguasai informasi secara cepat dan mampu menghadirkan temuan-temuan baru di bidang sains dan teknologi. Mana mungkin itu bisa direngkuh jika kemampuan literasi di tiga bidang utama tadi rendah.
Memang di tengah keprihatinan itu, ada segelintir siswa kita yang unjuk prestasi di ajang olimpiade matematika dan fisika. Cukup menghibur, walau jika dibandingkan populasi siswa usia sekolah, itu masih jauh dari mencukupi. Namun prestasi itu juga mengisyaratkan, potensi siswa Indonesia tak kalah dari siswa negara lain. Dan kalau mendapat pendidikan yang baik, sarana dan prasarana serta guru berkualitas, mereka akan mampu berprestasi. Yang jadi soal, dana pendidikan kita masih harus hilang karena besarnya korupsi yang menggerogoti dunia pendidikan kita.
Kurangnya SDM
Tergerogotinya dunia pendidikan kita juga tampak dari kurangnya kemampuan dan kapasitas SDM tenaga pendidik kita. Utomo Dananjaya (2005) menyatakan, sebagian besar SDM tenaga pendidik di Indonesia tak mempunyai kemampuan dasar-dasar mengajar yang baik. Salah satu penyebabnya ialah kualitas workforce yang berminat menjadi tenaga pendidik juga terbatas. Penyebab utama keterbatasan itu dipicu minimnya kompensasi profesi itu. Kondisi ini menjadikan workforce yang mempunyai tingkat kecerdasan memadai, kurang tertarik menjadikan profesi tenaga pendidik sebagai tumpuan hidup mereka.
Masalah rendahnya mutu lulusan siswa pada ujian nasional selama ini juga karena rendahnya kualitas SDM tenaga pendidik itu, yang berdampak rendahnya kualitas siswa. Selain ketidakmampuan tenaga pendidik itu, ketidakmampuan juga dialami SDM yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan di bidang pendidikan. Artinya, SDM itu belum mampu menciptakan suatu bentuk sistem pendidikan yang sesuai kondisi bangsa ini. Ketidakmampuan itu berdampak pada tingkat kualitas yang ditunjukkan para peserta didik.
Membahas kualitas dan kemampuan akan sangat terkait dengan kinerja serta beberapa faktor yang berpengaruh pada kinerja itu. Kaplan dan Norton (1996) memasukkan kualitas sebagai salah satu pengukur kinerja yang bersifat non finansial. Sedangkan Mells dan Boshoff (1995) memasukkan aspek kemampuan sebagai predictor utama kinerja. Karenanya tak mengherankan kalau premis yang melekat menyatakan bahwa rendahnya kinerja siswa bisa jadi disebabkan rendahnya kemampuan human resources pendidikan, yang berdampak langsung pada kinerja mereka, dan akhirnya berimplikasi pada mutu peserta didik.
Pada prinsipnya kemampuan human resources bisa ditinjau dari 2 aspek, yaitu kemampuan mental dan fisik. Kemampuan mental lebih menekankan kemampuan intelegensi (kognitif), sedangkan kemampuan fisik lebih menekankan koordinasi tubuh dalam melakukan aktivitas (Robbins, 1996). Selain 2 kemampuan itu, saat ini sedang berkembang suatu bentuk kemampuan yang merupakan bagian dari kemampuan mental, yakni kemampuan emosional yang lebih meninjau aspek afektif human resource.
Kemampuan mental dan fisik seyogianya saling melengkapi. Tapi dalam proses pembentukan kemampuan itu, amat dipengaruhi berbagai stimulan dari luar individu itu, seperti tingkat pendidikan formal, non formal, pengalaman, keahlian, dan faktor lingkungan kondusif. Para ahli menyatakan, kemampuan mental berasal dari dalam diri manusia dan merupakan sifat bawaan (gen) sejak lahir. Sedangkan kemampuan fisik lebih menekankan pada koordinasi tubuh. Kemampuan afektif terbentuk dari lingkungan dan kebiasaan seseorang dalam melakukan sesuatu.
Kemampuan mental (intelegensi) seseorang bisa diketahui lewat uji intelegensi, yang salah satunya dikenal dengan cognitif ability test (CAT’s). CAT’s adalah suatu metode pengujian intelegensi yang umum dipakai untuk tujuan human resource recruitment, atau dalam rangka memasuki jenjang pendidikan tertentu (Yan, 2003). Namun, secara sepintas, tingkat kemampuan intelegensi seseorang bisa dilihat dari jenjang pendidikan yang sudah dilewatinya (Simanjuntak, 1985). Kian tinggi jenjang pendidikan seseorang, asumsi dasar yang melekat padanya adalah orang itu punya tingkat intelegensi tinggi pula. Sedangkan kemampuan fisik lebih bisa didapat melalui berbagai pelatihan fisik, antara lain berolah raga.
Optimalisasi perkembangan ketiga kemampuan tadi bisa tercapai melalui berbagai encouragement yang baik dan tepat. Asupan nutrisi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi seseorang menjadi stimulan pokok. Sementara pendidikan, pelatihan dan faktor lingkungan menjadi stimulan sekunder dalam membentuk human resources ability.
Problem mendasar yang selalu dialami ‘kemampuan’ adalah bagaimana menjaga agar kemampuan itu berada pada batas optimal. Dalam arti, optimalisasi kemampuan yang berdampak pada optimalisasi kinerja. Salah satu faktor yang berpengaruh ialah keseimbangan antara kemampuan dan karakteristik pekerjaan. Suatu pekerjaan makin memerlukan information processing, maka kemampuan intelegensi kian dibutuhkan. Sebaliknya, pekerjaan yang berkarakter rutin dan kurang memerlukan information processing, tak terlalu membutuhkan seseorang yang berintelegensi tinggi. Karakter pekerjaan itu lebih mensyaratkan kemampuan fisik.
Sebagai transferer of knowledge dan fasilitator siswa di sekolah, tenaga pendidik merupakan suatu profesi yang mutlak memerlukan persyaratan kemampuan intelegensi dan melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Artinya, orang yang menjadi tenaga pendidik sewajarnya punya tingkat intelegensi memadai (capable). Tapi sejalan bertambahnya usia, kemampuan intelegensi akan mengalami penurunan. Karenanya kemampuan itu harus terus diasah lewat berbagai pelatihan, kursus dan pembelajaran secara kontinyu.
Khusus untuk tenaga pendidik, materi yang sebaiknya dijadikan bahan pelatihan tak cuma berupa pemahaman terhadap kurikulum yang tengah berjalan, tapi yang lebih penting ialah materi yang mempelajari perkembangan psikologis siswa. Misalnya, metode dan pendekatan yang bisa dilakukan pada siswa guna meningkatkan kinerja mereka.
Salah satu metodenya adalah outbond learning, atau open space learning, yaitu melakukan proses belajar dan mengajar di alam terbuka. Adapun materi tentang bagaimana menciptakan alat peraga siswa secara efisien, perlu diberikan dan disosialisasikan intensif kepada para peserta pelatihan sehingga mereka akan mampu menyediakan sarana dan prasarana infrastruktur pendidikan yang dapat menunjang proses belajar-mengajar di sekolah.
Memang untuk merealisasikan metode itu tak terlepas dari kendala pembiayaan. Namun jalan itu harus diupayakan pelaksanaannya. Dengan begitu diharapkan melalui pendekatan guru dan siswa, serta pelatihan dan peningkatan pengetahuan guru tadi, akan meningkatkan kinerja guru, yang akhirnya akan berdampak peningkatan kinerja siswa dan mutu pendidikan kita. Semoga!
Penulis adalah, Dosen PGSD FKIP Universitas Bung Hatta, Padang; kandidat Doktor P-IPS UNP.