Sepucuk Mawar untuk Nisa

sepucuk-mawar-untuk-nisa

Oleh: Irfan Hasibuan

YA ALLAH! Sekedip mata kemudian ia terkejut. Hatinya terhenyak kala mendengar sesuatu hal yang terjadi pada dirinya. Ia hanya terpaku di atas kursi roda sembari tetesan air mata menyeruak tumpah di kedua pahanya. Tersendu, hatinya terpukul pilu berdebu-debu di kalbu. Ia tidak tahu apa yang harus dipikirkan dan di malam itu juga denyut jantungnya hampir pecah kala mendengar orang yang paling dia sayangi telah pulang untuk selamanya.

***

Bergerombolan air semesta tumpah dari langit. Pagi ini semesta lagi bersedih, petir menyambar-nyambar melukai pepohonan, daun juga dirinya. Angin bertiup kencang, menghembus rinai air pergi menjauh dari guratan wajahnya. Di teras rumah ia duduk termangu di kursi roda sembari menatap air yang riang tumpah ke bumi. Sesekali ia melebarkan garis bibirnya, sesekali juga garis bibirnya mengecil kala mengingat masa lalunya di antara balik rintik hujan.

Kecelakaan mobil setahun yang lalu itu telah membuat kakinya tidak bisa lagi digerakkan. Ia lumpuh dan seluruh hidupnya dihabiskan di kursi roda. Ke mana pun ia bergerak hanya kursi roda membantu dirinya. Sudah hampir satu jam ia termangu di teras tanpa kata, hujan semakin melunak di dadanya.

Di dalam rumah, suara seorang perempu­an memanggil namanya. Ia menoleh ke belakang dan menyahut panggilan itu. Ibunya keluar dari dalam rumah. Di tangan ibunya tergenggam sebuah telepon, ibu menyerah­kan telepon genggam kepadanya.

“Nisa ini ada telpon dari Mawar.” Ibu menjulurkan tangan yang menggenggam telepon untuk diraih Nisa.

“Telpon dari Mawar, bu. Ada apa gerangan ia menelponku, bu.” Ia mengambil telepon dari tangan ibunya.

“Ibu tidak tahu, Nisa. Katanya, ia mau ngomong sama kau.”

“Oh ya udah, bu. Makasih ya.”

“Iya, Nisa. Ibu masuk ke dalam ya. Mau masak dulu.”

“Iya, bu.”

Ibu masuk ke dalam rumah meninggalkan Nisa sendirian di teras rumah. Nisa merasa heran kenapa tiba-tiba Mawar menelpon dirinya setelah setahun terakhir ini Mawar menghilang. Bahkan, saat Nisa dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan pun Mawar tidak menunjukkan batang hidungnya walaupun itu satu hari.

           Manusia tetaplah manusia yang selalu saja sama dengan sifat hatinya. Ia tidak menghiraukan masa-masa itu, bagi dirinya persahabat adalah hal yang paling valid dalam hidupnya. Maka dari itu ia mem­buang semua yang menyangkut permasala­han hidup dengan sahabatnya. Ia sesegera mengangkat telpon dari Mawar sebelum sambungan telpon itu terputus.

“Assalamualaikum, Mawar.” Ia terlebih dahulu membuka jendela percakapan dengan Mawar.

“Waalaikumsalam, Nisa. Nisa ini aku, Mawar. Boleh aku datang ke rumahmu besok?.” Jawab Mawar sembari bertanya ke Nisa.

“Datang aja kau besok. Aku tidak mela­rang kau kok, War.”

“Ada yang ingin kusampaikan samamu, Nisa. Ini tentang kejadian satu tahun yang lalu.”

“Untuk apa lagi kau membahas kejadian itu. Aku sudah memaafkan kau, War.”

“Nisa, ini sangat penting. Aku harus ngomong sama kau besok.”

“Terserah kau saja, War. Datanglah besok kau ke rumahku.”

“Iya, Nisa makasih ya sebelumnya.”

“Iya, War.”

Sambungan telpon terputus. Seperti sebelumnya ia kembali termangu menatap tumpahan air yang jatuh dari langit. Beberapa menit ia termangu hujan pun lekas mereda. Menyisakan tetesan-tetesan yang menggan­tung di dahan, ranting dan dedaunan. Angin berhenti berlarian kencang di depan matanya. Ia menghela napas seakan mengharapkan waktu cepat memulihkan keadaan batinnya.

Setelah beberapa jam menatap hujan, ia memutuskan masuk ke dalam rumah untuk menjumpai ibu yang berada di dapur. Ingin sekali rasanya ia menuangkan segala kegun­dahan hati di segelas percakapan dengan ibu. Ia mau minta jawaban dari segala gundah dan gelisah antara dia dan sahabat­nya. Kursi roda terus ia kayuh dengan tangannya, seta­pak demi setapak langkah kaki kursi roda me­nyusuri setiap bagian rumah hingga sampai ke dapur.

Sesampainya di dapur ia melihat ibu yang sedang bergelut dengan asap masakan. Bunyi gemericik wajan berbunyi begitu kuat dan aroma ikan goreng menyeruak di hidungnya. Asap masakan mengepul di langit langit dapur menambah cita rasa suasana memasak ibu. Ia memanggil ibu yang sedang memetik daun kangkung.

“Ibu, bu.” Beberapa kali ia memanggil ibu dengan kencang.

“Iya, Nisa. Ada apa, nak.” Ibu menjawab panggilan Nisa sambil terus memetik daun kangkung.

“Ibu pernah dikecewakan oleh sahabat ibu sendiri?” Ia langsung bertanya ke inti pembicaraan.

“Pernah.” Jawab singkat ibu.

“Ibu marah?”

“Ibu tidak marah.”

“Kenapa, bu? Padahal sahabat ibu itu sudah menyakiti ibu.”

“Ngapain ibu harus marah. Lagian itu permasalahan yang lumrah dan kita sebagai manusia tak bisa menghindar yang namanya masalah.”

“Ibu, memaafkan sahabat ibu itu?”

“Iya ibu memaafkan dia. Lebih baik saling memaafkan dari pada saling bermusuhan yang berujung putusnya tali persaudaraan.”

“Kenapa rupanya, Nisa.”

“Tidak ada, bu. Cuman Nisa bingung harus apa yang Nisa bicarakan sama Mawar.”

“Bicaralah sesuai dengan hatimu. Bicara­kan apa adanya dan tetap dengan kepala dingin. Kalo perlu kau maafkanlah dia.”

“Iya, ibu. Besok akan Nisa coba.”

Besoknya. Suara ketukan pintu berbunyi beberapa kali hingga membangunkan Nisa yang sedang terlelap. Segera ibu membu­kakan pintu. Di balik pintu, Mawar sudah berdiri dengan raut wajah datar.

“Oh, Mawar ternyata.” Ibu menatap Mawar sembari tersenyum.

“Nisa ada, bu?” tanya Mawar.

“Ada, Mawar. Kamu masuk aja dulu , entar ibu panggil dia di kamarnya.”

“Iya, bu.”

Mawar duduk di ruang tamu sementara ibu Nisa masuk ke dalam kamar untuk mem­bangunkan Nisa. Hati Mawar menggigil gemetaran. Ia tak kuasa membendung rasa bersalahnya kepada Nisa. Ia takut jika Nisa tidak akan memaafkannya selamanya.

Nisa keluar dari kamar. Ia mengayuh kursi rodanya dan ibu membantu mendorong kursi rodanya. Wajahnya masih kusut sehabis bangun tidur siang. Sesampainya di ruangan tamu ia pindah tempat duduk. Ibu menuju dapur, menyiapkan minum untuk Mawar dan Nisa. Ibu membawa dua gelas minuman dan memberikannya kepada Nisa dan Ma­war. Ibu kembali meninggalkan mereka ber­dua.

“Nisa, aku minta maaf samamu. Sungguh aku sangat labil dalam semua hal ini.” Mawar menggenggam erat tangan Nisa.

“Iya, Mawar. Aku sudah memaafkan kau. Aku tak mau mendulang kembali kejadian setahun yang lalu.” Nisa mencoba mene­nang­kan Mawar sambil terus mengelus-elus tangan Mawar.

“Gegara kesalahpahaman kau harus men­derita seumur hidup, Nisa. Kalau saja aku bisa mengendalikan emosi, kau tak akan menjadi seperti ini.”

“Mawar, sudahlah kau jangan lagi mena­ngis. Aku tak membencimu juga tak akan marah samamu, yang lalu biarlah berlalu.”

“Saat kau berada di rumah sakit, aku tak mengunjungimu sama sekali. Selama setahun itu aku bersembunyi dari permasala­han itu. Aku tidak mau berbicara dengan siapa­pun saat kutahu bahwa kau tak melaku­kan itu. Aku telah menghantam persahabatan kita, Nisa. Hancur sudah hancur.”

“Mawar, kau jangan lagi menangis. Kita akan tetap menjadi sahabat dan selamanya menjadi sahabat.” Nisa memeluk Mawar, ia mencoba menenangkan hati sahabatnya itu.

Semua sudah ditumpahkan Mawar. Ber­salah, sedih, gelisah dan resah hatinya tentang masa lalu telah membiru di angkasa. Kini, hatinya telah mereda, pulih, terobati dengan kata “Maaf” yang terlontar dari bibir Nisa.

Haripun semakin gelap, Mawar beranjak dari tempat duduk untuk pamit pulang. Sebelum pulang, Mawar memeluk Nisa untuk terakhir kalinya. Pelukannya begitu erat seakan memberi salam terakhir untuk Nisa. Pelukan yang begitu hangat mengha­ngatkan dinginnya hawa malam. Mawarpun pulang dengan raut wajah gembira tubuhnya hilang di balik gelapnya lajanan.

Nisa masuk ke dalam rumah. Namun, kali ini batinnya tiba-tiba kembali diamuk badai kekhawatiran. Ia masih kepikiran dengan Mawar, apakah Mawar merasa baik-baik saja atau masih bersedih. Tapi, sejenak ia menghiraukan itu semua karena ia merasa Mawar sudah merasa baik-baik setelah per­temuan tadi.

Selang beberapa jam, ibu mengetuk pintu kamar Nisa dan memanggil namanya. Nisa buru-buru membuka pintu kamarnya. Pintu di buka, ia melihat ibu panik tidak karuan. Ia menanyakan apa yang sedang terjadi sama ibu. Ibu terbata-bata untuk menjawab, ia tak sanggup menyampaikan hal ini kepada Nisa lantaran ia baru tenang dengan kondisinya saat ini. Tapi, ibu harus memberitahukannya sebelum masalahnya semakin bertambah.

“Tadi, ibu mendapat telpon dari ibunya Mawar, kalo Mawar sudah, meninggal dunia.” Bergemetar bibir ibu juga jantungnya tatkala mendengar hembusan kabar yang begitu sangat buruk.

“Apa! meninggal, bu?” Hatinya terhentak dan terpukul pilu mencekam.

“Iya, Nisa. Dia baru saja mengalami kecelakaan saat motor yang ia kendarai menabrak truk molen di jalan. Ia meninggal di tempat dan tak sempat di tolong.”

“Tak mungkin, bu. Dia baru saja pulang dari rumah dan Nisa berbicara sama dia. Tak mungkin dia pergi secepat itu, bu.”

Mengucur deras air matanya. Ia tersedu, kebahagiaan yang barusan ia dapat tersapu oleh pilu. Batinnya hancur lebur saat mengetahui sahabatnya pergi untuk selama­nya. Tersirat dalam benaknya ketika Mawar memeluknya untuk terakhir kali. “Apakah mungkin pelukan terakhirnya itu adalah tanda bahwa ia akan pulang atau pergi selamanya.”

Ia menatap gundukan tanah yang menyelimuti tubuh sahabatnya. Derai air mata tak dibendungnya. Ia memegang kepala nisan sahabatnya sembari berkata “Terima kasih War atas pertemuan kita waktu itu dan aku tak akan melupakan pelukanmu itu yang menandakan kau telah bahagia di alam sana.” Ia menangis deras, sederas hujan yang tum­pah di tubuhnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi