
Bagi pecinta sastra di Indonesia, nama Pramoedya Ananta Toer tentu bukanlah sosok yang asing. Bahkan, tidak berlebihan rasanya untuk mengatakan bahwa Pram, sapaan akrabnya, merupakan salah seorang penulis terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Bukan hanya karena karya-karyanya yang dikenal luas baik di dalam maupun di luar negeri. Tapi, lebih dari itu, tulisan-tulisannya sarat dengan perjalanan panjang Indonesia pada masa penjajahan dan kemerdekaan. Dan menariknya, ia sendiri menjadi saksi sejarah dalam banyak tulisannya itu.
Lahir di Blora, Jawa Tengah pada 6 Februari 1925, Pram muda sangat aktif terlibat dalam perjuangan militer melawan kolonialisme Belanda dan Jepang. Ia tercatat pernah ditahan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1947 hingga 1949. Dalam tahanan, sipir penjara sempat memberikan salinan novel John Steinbeck, Of Mice and Men. Salinan itu kemudian ia gunakan untuk mempelajari bahasa Inggris. Pada tahun-tahun itu, Pram sudah menelurkan beberapa karya dalam bentuk cerpen yang dikompilasi dalam judul Cerita dari Blora. Novel pertamanya, Perburuan tercipta karena upaya memerangi rasa putus asa selama berada di balik jeruji besi. Novel yang terbit tahun 1950 itu mendapat sambutan positif di masyarakat luas dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul The Fugitive pada tahun 1990.
Dibenci Bangsa Sendiri Dipuja Bangsa Asing
Masa-masa sulit yang dialami Pram berlanjut meski Indonesia sendiri sudah mulai bebas dari bayang-bayang Belanda yang beberapa kali hendak mengganggu kemerdekaan yang sudah resmi diperoleh. Malah, kalau boleh dikatakan, nasib Pram jauh lebih buruk ketika negara ini sudah merdeka karena ia harus menerima nasib berkali-kali masuk penjara dan jauh dari keluarga tercinta.
Sesudah bebas dari penjara di tahun 1949, Pram berkesempatan mengikuti program pertukaran budaya ke Belanda. Namun, sekembalinya ke Indonesia, ia bergabung dalam organisasi sayap kiri, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang disinyalir berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak itu, gaya kepenulisan Pram mulai berubah. Tulisan-tulisannya banyak mengkritik diskriminasi dan penindasan terhadap kaum minoritas, dalam hal ini kelompok Tionghoa, serta sorotan tajamnya terhadap perilaku korup para pamong praja yang dituangkan dalam karyanya yang berjudul Novel Korupsi (1954). Pram juga tercatat pernah pergi ke Beijing untuk menghadiri pemakaman Lu Sung dan semakin lama, haluan politiknya semakin berubah. Perubahan ideologi itu pun semakin mewarnai masifnya kritik-kritik sosial yang lahir dari tulisan-tulisan Pram. Inilah yang kemudian melahirkan gesekan dengan pemerintahan Soekarno yang menyebabkan Pram harus kembali mendekam selama satu tahun dalam tahanan.
Tapi semua itu belum ada apa-apanya. Puncak penderitaan Pram terjadi ketika Soeharto berkuasa. Pram menjadi tahanan politik tanpa proses pengadilan. Dia harus kembali meringkuk dalam penjara untuk waktu yang jauh lebih lama dari sebelum-sebelumnya yaitu 14 tahun pada periode 13 Oktober 1965-Juli 1969, Juli 1969-16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969-12 November 1979 di Pulau Buru, dan November-21 Desember 1979 di Magelang.
Pram dianggap sangat pro komunis karena bergabung dengan Lekra. Padahal, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Lekra adalah ormas PKI secara langsung. Dan lebih jauh, tidak ada mekanisme hukum yang bisa membuktikan bahwa Pram adalah komunis tulen. Lagipula, Panglima Kopkamtib Soemitro yang pernah mengunjungi Pram dalam tahanan menemukan bahwa alasan Pram masuk ke Lekra semata-mata hanyalah untuk menyalurkan profesi menulisnya. Karena hanya PKI yang saat itu punya program untuk mengakomodir cita-cita Pram.
Mendekam selama 10 tahun di Pulau Buru boleh jadi adalah masa-masa paling kelam dalam perjalanan hidup seorang Pram. Bersama ribuan tahanan lainnya, ia mesti bekerja memotong kayu, membangun irigasi sawah dan lahan milik pejabat kamp tahanan tanpa upah barang sepeser pun. Selain penderitaan yang tiada henti setiap harinya, Pram dan para tahanan juga tidak mendapatkan makanan yang layak.
Dalam kumpulan surat-suratnya selama menjalani pengasingan di Buru, Pram menuliskan "Aku mulai makan tikus yang terlalu banyak terdapat di sini, kecil-kecil, hidup di bawah alang-alang, juga telur kadal untuk tidak punah karena turunnya gizi, kualitas, dan kuantitas makanan" untuk mendeskripsikan betapa tidak manusiawinya perlakuan yang ia terima.
Menariknya, justru pada masa pembuangan di Pulau Buru itulah Pram menemukan inspirasi dan melahirkan karya fantastisnya, Tetralogi Buru-Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tetralogi Buru menemui nasib yang sangat kontradiktif antara di dalam dan luar negeri.
Di dunia internasional, keempat novel ini mendapat pujian dan apresiasi yang sangat tinggi sehingga diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Bahkan, lewat Tetralogi Buru pula, Pram sempat tercatat enam kali masuk menjadi nominator peraih Nobel Prize. Sebaliknya, di Indonesia, Tetralogi Buru boleh dikatakan sempat menjadi barang haram. Dalam kurun waktu 1980-1988, Kejaksaan Agung RI secara resmi melarang peredaran Tetralogi Buru. Padahal, empat novel itu menggambarkan nasionalisme kebangsaan yang kuat yang ditunjukkan oleh tokoh utama bernama Minke.
Diangkat Sebagai Pahlawan
Apa yang saya paparkan di atas hanyalah secuil kompilasi informasi dari banyaknya aspek-aspek inspiratif yang bisa kita petik dari seorang Pram. Di tengah arus informasi yang begitu kencang, seharusnya generasi masa kini bisa lebih leluasa menggali lebih dalam mengenai Pram dan karya-karyanya. Ironisnya ketika novel Bumi Manusia hendak diangkat ke layar lebar dan muncul perdebatan soal tepat atau tidaknya Iqbaal Ramadhan, mantan anggota Coboy Junior dan pemeran tokoh Dilan, memerankan tokoh Minke, banyak netizen terutama generasi milenial yang sama sekali tidak mengenal siapa Pram. Malah ada yang menuliskan komentar konyol seperti ini, "Lagian Pramoedya itu siapa sih? Cuman penulis baru terkenal kayaknya… masih untung dijadiin film, dan si Iqbal mau meranin karakternya…biar laku bukunya."
Menurut hemat saya, Pram dan karya-karyanya memberi pengaruh yang luar biasa terhadap keberlangsungan bangsa ini sehingga sudah sepatutnya apresiasi setinggi-tingginya diberikan padanya. Jika selama hidupnya, dia tidak mendapatkan apa yang sebanding dengan jasa-jasanya, setidaknya ketika dia sudah tiada, keluarganya masih bisa menyaksikan bahwa Pram benar-benar dihargai sebagai pejuang. Perjuangan Pram bukan lewat senjata tajam atau bambu runcing. Pram membela negeri ini lewat pemikirannya yang nasionalis dan future-oriented. Melalui tulisan-tulisannya, Pram ikut memperjuangkan hak asasi, kebenaran dan keadilan.
Dengan segudang pencapaian dan perjuangan itu, Pram seharusnya tidak cuma dipandang sebagai sastrawan atau novelis semata. Sesungguhnya, Pram juga merupakan seorang patriot dan sejarawan. Mengenang 13 tahun wafatnya Pramodeya Ananta Toer, sebagai seseorang yang mendapatkan inspirasi besar dari beliau, saya sangat berharap pemerintah mau mengukuhkan Pram sebagai salah seorang pahlawan nasional. Semoga.***
* Penulis berprofesi sebagai guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS