Menyoal Kompetensi Kerja di Indonesia

menyoal-kompetensi-kerja-di-indonesia
Oleh: Teguh Iman Santoso SSos MM PhD. Kompetensi kerja merupakan istilah yang tak asing lagi di telinga kita, lebih-lebih lagi sejak dibukanya pintu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015. Sejak MEA diberlakukan otomatis terjadi perpindahan sumber daya manusia dan barang antarnegara-negara ASEAN. Dari Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam dan negara-negara ASEAN lainya akan dengan mudah memasuki pasaran tenaga kerja, begitu juga dengan barang-barang ekspor mereka masuk ke negara kita.

Lantas, bagaimana dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) dan barang-barang ekspor kita? Dalam hal ini ada dua kemungkinan untuk tenaga kerja dan barangan kita, yakni bisa memasuki pasar tenaga kerja di negara-negara ASEAN dengan syarat memenuhi kompetensi kerja yang mereka persyaratkan atau Mutual Recognition agreement (MRA) atau terpuruk di Indonesia tidak bisa ke mana-mana karena tidak memenuhi kompetensi kerja.

Contoh yang nyata dapat kita lihat adalah tenaga keperawatan yang sudah memenuhi keperluan kompetensi kerja dapat dengan mudah berpindah ke negara-negara ASEAN. Dokter dari Singapura dan Malaysia dapat dengan mudah memasuki pasaran di Indonesia, misalnya, dan tentu banyak pasiennya. Lalu bagaimana dengan dokter-dokter dari Indonesia, apakah mereka mempunyai kesempatan yang sama dengan dokter-dokter dari Singapura dan Malaysia? Begitu juga dengan bidang lainnya, kita akan senang sekali merekrut tenaga akuntan dari Malaysia, tetapi apakah hal yang sama akan berlaku bagi tenaga akuntan kita?

Hampir sepertiga tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di Indonesia merupakan profesional. Berdasarkan data rilis 2019 Kementerian Ketenagakerjaan RI, TKA yang berprofesi sebagai profesional mencapai 30.626 pekerja atau 32,12 persen dari total 95.335 TKA pada akhir 2018. TKA terbesar kedua yang bekerja di Indonesia merupakan berprofesi sebagai manajer dengan jumlah mencapai 21.237 pekerja atau 22 persen dari total dan terbesar ketiga adalah advisor/konsultan, yakni sebanyak 15.636 pekerja atau 16,4 persen dari total TKA. Kemudian diikuti profesi sebagai teknisi di urutan keempat dengan jumlah 8.526 pekerja (8,94 persen), supervisor 2.270 pekerja (2,38 persen) dan komisaris sebanyak 1.968 pekerja (2,06 persen). TKA asing yang bekerja sebagai profesional di Indonesia pada akhir 2018 mencatat pertumbuhan tertinggi, yaitu 28,31 persen dari tahun sebelumnya, diikuti sebagai konsultan tumbuh 22,36 persen dan manajer meningkat 5,66 persen. Sementara level lainnya justru mengalami penurunan.

Ketidaksesuaian atau mismatch angkatan kerja menjadi tantangan yang dihadapi sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Hal ini disebabkan tidak sesuainya pendidikan angkatan kerja dengan kebutuhan industri. Menurut survei angkatan kerja nasional 2015 yang diolah oleh Lembaga Demografis Universitas Indonesia, vertical mismatch atau ketidaksesuaian pekerjaan dengan tingkat pendidikan dan upah mencapai 53,33 persen. Sementara itu, horizontal mismatch atau ketidaksesuaian kualifikasi pekerjaan dengan latar pendidikan mencapai 60,52 persen. Kesenjangan ini ditangani dengan kerja sama antar kementerian dan lembaga terkait, terutama di sektor pendidikan untuk menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan industri. Selain itu, pemerintah juga mendorong pelatihan vokasi, pemagangan, serta sertifikasi kompetensi.

Faktor Penyebab

Penyebabnya bisa kita kategorikan menjadi tiga, yakni aspek SDM, tata kelola/regulasi, infrastruktur. Pertama, dalam aspek SDM, ada dua permasalahan, yakni (1) tingkat kompetensi tenaga kerja masih di bawah standar yang dibutuhkan industri dan (2) Tenaga kerja yang sudah kompeten belum mendapat pengakuan resmi dalam bentuk sertifikat kompetensi karena sebagian besar lulusan pendidikan dasar dan menengah, hanya sebagian kecil saja lulusan dari perguruan tinggi. Banyak dari tenaga kerja juga belum mendapat pengakuan resmi. Sejauh ini baru 8 bidang yang sudah mendapatkan pengakuan/ MRA.

Kedua, soal tata kelola/regulasi. Pemerintah banyak kaitannya dalam hal ini mulai dari lambatnya kesadaran akan pentingnya kompetensi. Dukungan pemerintah dalam hal ini belum optimal, hal ini sangat jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga kita, katakan saja dengan Malaysia yang sudah masuk first generation dalam mempersiapkan kompetensi kerjanya. Diikuti Singapura yang masuk second generation dalam mempersiapkan kompetensi kerja, dan terakhir Indonesia yang masuk third generation negara-negara yang mempersiapkan kompetensi kerjanya. Terlihat dari Standar Kualifikasi Kompetensi Nasional Indonesia (SKKNI) yang baru disusun, sampai saat ini baru 688 SKNNI. Masih banyak lagi yang belum terdokumentasi dengan baik.

Ketiga, masalah infrastuktur. Dalam hal ini, bisa dikatakan yang berperan adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). BNSP berperan menyiapkan infrastruktur sertifikasi profesi, di mana hal ini melibatkan assesor dan juga dukungan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Dilihat dari jumlahnya, sampai saat ini assesor yang tersedia dan jumlah LSP yang ada sangat jauh dari jumlah angkatan kerja yang berjumlah 120 juta. Belum lagi faktor penyebaran LSP-LSP ini di daerah-daerah. Jadi bisa dikatakan bahwa LSP-LSP belum merata tersedia di seluruh Nusantara.

Langkah Solutif

Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai penyebab di atas. Pertama, MRA yang masih berjumlah 8 profesi: jasa engginer (insiyur), jasa arsitektur, keperawatan, jasa praktek medis dokter, jasa kedokteran gigi, tenaga profesional pariwisata, surveyor, jasa akuntansi, harus diperluas lagi ke semua sektor, kecuali sektor yang mendapat perlindungan seperti pendidikan. 

Kedua, kita sudah tidak bisa lagi mundur ke belakang. Walaupun kita telat dalam mempersiapkan kompetensi (masuk dalam third generation), yang bisa kita lakukan adalah mengejar ketertinggalan di berbagai bidang. Walaupun sertifikasi kompetensi harus masuk ke berbagai bidang, tetap saja harus ada bidang-bidang yang harus kita lindungi.

Ketiga, infrastruktur dalam hal ini assesor dan LSP mesti dibenahi. Lakukan program percepatan menjadi assesor kompetensi tertentu di semua sektor dan berikan kemudahan dan insentif dalam pembentukan LSP-LSP di daerah. Dengan begitu, daerah-daerah bisa terlayani dengan baik. Semua itu tak terlepas dari peran pemerintah sebagai regulator dan penentu kompetensi kita mau dibawa ke mana. Menurut penulis, jika hal di atas tidak segera dibenahi dan ditingkatkan, maka ke depan dampaknya Indonesia bakal tertinggal dalam hal kompetensi kerja dan dalam jangka panjang akan berdampak nasib generasi, birokrasi, dan lain-lain.***

Penulis lulusan Philosophical Doctor (PhD) Universiti Tun Hussein Onn Malaysia, Batu Pahat, Malaysia

()

Baca Juga

Rekomendasi