Hidup Sehat dengan Fitness

hidup-sehat-dengan-fitness

Oleh: J Anto.

MATAHARI belum lagi keluar dari peraduannya. Kabut juga seolah masih enggan  menyingkir dari langit Kota Medan, Kamis (27/6) pagi itu. Bising kendaraan yang melintas sepanjang Jalan Zainul Arifin belum lagi terdengar. Di sebuah plaza tak jauh dari simpang empat Jalan Zainul Arifin-Diponegoro, lalu lalang manusia juga masih bisa dihitung dengan jari.

Namun di lantai 4 plaza tersebut, tepatnya di Tribe Fit, sejak pukul 06.00 WIB, Mery Lauw (37), bersama puluhan perempuan  lain, sudah melaku­kan berbagai gerakan meningkahi irama musik yang ada.

“Saya tiap pagi rutin warming up dan strechting. Lalu pukul 07.00 WIB saya berlatih kettl­ebell di bawah bimbingan personal training,” ujarnya. Mery pagi itu memang bukan  tengah menari diiringi irama musik. Ia merupakan salah satu member senior pada pusat kebugaran itu.

Lokasi itu salah satu tempat fitness (pusat kebugaran) bagi para pemburu hidup sehat. Di Medan, hampir setiap plaza, hotel, apartemen, dan kompleks ruko memiliki pusat kebugaran. Budaya hidup sehat bagi sebagian warga Medan kini bak kebutuhan primer. Orang makin sadar, hidup sehat bukan lagi gaya hidup, tapi sebuah budaya.

Maraknya gerai kuliner yang memanjakan lidah namun me­nyum­bang kolestrol, hipertensi diabetes, diimbangi tren kehadir­an kuliner vegetarian dalam ragam jenis dan bentuk yang menggoda. Melakukan olahraga secara rutin kini telah jadi  kebutuhan. Lihatlah taman-taman kota, juga  taman yang ada di tiap perumahan. Hampir tiap pagi, terlebih Sabtu dan Minggu pagi, penuh sesak kelompok atau perorangan yang tengah ber­aktivitas olahraga.

Klub-klub olahraga bermun­culan, baik di instansi swasta atau pemerintah. Semua orang kini mendamba bisa hidup sehat. Tak heran jika industri fitness pun kini banyak diserbu para pemburu hidup sehat. Minimal mereka yang ingin bugar di tengah tuntutan bisnis atau kerja yang makin kompetitif.

Pusat kebugaran yang ada di mal atau plaza tentu punya daya tarik sendiri. Manajer Trib Fit, Par­lindungan Ivan Purba me­nyebut, tak sedikit member di Mega Gym tempatnya bekerja, merupakan  ibu-ibu rumah tangga dan karya­wan kerah putih.

“Habis antar anak ke sekolah atau pulang kantor mereka nge-gym,” tuturnya. Mal memang banyak daya pikat. Usai nge-gym, mereka bisa bersosialita pada salah satu gerai kuliner. Tentu berswafoto sembari mengunggah pada akun media sosial.

Ke pusat kebugaran memang bisa menjadi gaya hidup, tapi bisa juga jadi kebutuhan untuk hidup sehat. Tergantung niatan masing-masing orang. Merry Lauw salah satu yang memilih itu untuk hidup sehat.

Perempuan yang masih betah melajang ini, kerap ke pusat kebugaran sejak 2013. Untuk memaksimalkan program fitness yang diikuti, ia tak segan meng­gunakan jasa 2 tenaga trainer untuk membimbingnya. Ia juga tak pelit merogoh kantong untuk mengikuti kompetisi kettlebell sampai ke Malaysia, Singapura, dan Philipina.

Padahal awalnya, semua itu bermula dari rasa iseng. “Saat jalan-jalan di plaza ini, saya iseng-iseng masuk melihat-lihat tempat fitness ini. Setelah ngobrol dengan seorang trainer, saya tertarik, lalu memutuskan ikut kelas pelatihan yang ada,” tuturnya. Saat itu, Mery sedang punya masalah dengan berat badannya.

“Saat itu saya gendut sekali, berat saya 75 kg,” tuturnya sembari tertawa renyah. Kalau Mery tak ‘buka rahasia’, tentu tak banyak yang percaya melihat penampilan Mery saat ini.

Menu Pembuka

Sejak rutin fitness di bawah bimbingan trainer, berat badann­ya turun drastis. Saat diwa­wancara berat badan Mery berkisar antara 55 - 56 kg. Bentuk  tubuhnya juga terlihat padat berisi seperti idaman banyak perempuan. Meski berat badannya sudah ideal, namun Mery tak berhenti fitness. Selama 9 tahun, sejak pukul 06.00 WIB  - 08.00 WIB, ia rutin berlatih. Dalam sepekan ia berlatih 5 hari, kecuali Minggu.

“Kalau pusat kebugaran ini tutup pagi atau baru buka pukul 12.00 WIB, karena libur, saya bingung. Biasanya lalu lari pagi,” katanya. Ia mengaku serasa sudah  kecanduan fitness. Ia punya istilah sendiri untuk meng­gambarkan kecintaannya terhadap olahraga.

Nge-gym bagi saya ibarat menu pembuka sebelum kerja. Itu sudah jadi habit saya,” katanya. Selesai fitness, Mery langsung bergegas menuju ke tempat usahanya yang merupakan distributor ban-ban traktor untuk suplai ke perkebunan.

Hampir semua program yang ada ia ikuti. Dua orang trainer melatihnya menggunakan ViPR alat olahraga angkat beban berbentuk seperti pipa yang berfungsi untuk  melatih otot-otot kaki, tangan, dan bahu. Seorang trainer lagi khusus untuk melatih kettelbell, olah raga yang tengah booming di Asia.

Kettlebell adalah olahraga tradisional Rusia. Alat utamanya bola besi cor yang bentuknya mirip peluru meriam yang memili­ki pegangan. Beratnya variatif, mulai 4 kg sampai 24 kg. Kett­lebell dimainkan  dengan gerakan swing, snatch, clean, dan jerk.

Olahraga ini sejak berabad silam dilakukan orang Rusia yang terkenal akan kekuatan fisik mereka. Bagi orang Rusia, menjadi orang terkuat secara fisik adalah sebuah kehormatan. Orang yang terpilih menjadi orang terkuat dan terhormat dalam kompetisi kettlebell disebut bogatir. Di  Rusia olahraga ini disebut girya.

Berlatih kettlebell dipercaya mampu membakar lemak dan membangun kekuatan otot. Muaranya perut jadi langsing. Di Asia olahraga ini bahkan kerap dikompetisikan. Pada Maret lalu, Mery misalnya berhasil meraih juara pertama pada kompetisi kettlebell 5 Menit yang diadakan International Kettelbell Organization (IKO). Ia meraih juara untuk kategori biathlon two arm jerk (mengangkat dua tangan) dan snatch dengan berat 8 kg.

Baginya, berlatih fitness secara teratur tak hanya membuat berat tubuhnya jadi  langsing. Tapi ia juga mengaku memiliki  stamina tubuh yang prima. Stamina tubuh yang prima sangat membantu kerjanya. Ia juga punya testimoni lain. Sebelum ikut fitness, ia mengaku tak pernah bisa push up.

“Tapi sekarang mau dihajar berapa pun bisa,” tuturnya tertawa lepas. Namun yang lebih penting, Mery mengaku tak lagi rentan terhadap serangan virus. Sebe­lumn­ya,  hampir tiap tahun, ia rutin berobat ke dokter. Entah karena terkena typhus, hepatitis ,atau demam berdarah.

“Sejak rutin fitness, saya tidak lagi banyak membelanjakan uang untuk dokter dan rumah sakit,” katanya. Tentu Mery tak meng­ingkari faktor tidur yang cukup dan makan yang sehat, juga punya  kontribusi penting dalam  menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh.

Percaya Diri

Sri Suryati (38) dan Doris (40), punya masalah hampir mirip dengan Mery, kegemukan. Mengenakan kaus you can see dan training, sore itu keduanya dijumpai usai berlatih mengguna­kan vitality performance and reconditioning (ViPR). Alat olahraga ini berbentuk seperti pipa paralon. Panjangnya 48 inci dan beratnya bervariasi antara 4 kg - 20 kg.

ViPR merupakan salah satu inovasi dalam olahraga angkat beban. Sebelumnya orang menge­nal  barbel dan dumble. Namun kedua alat itu dipersepsi sangat maskulin. Akibatnya banyak perempuan emoh berlatih menggu­nakannya. Namun kehadiran ViPR dengan warnanya yang cute, telah mengubah minat perempuan berolahraga angkat beban.

Apalagi berlatih ViPR secara teratur dipercaya mampu me­ngen­cangkan otot-otot kaki, tangan, dan bahu. Dampaknya  bagian tubuh yang memiliki lemak cukup tinggi akan terasa lebih kencang. Namun berlatih ViPR menuntut stamina yang kuat. Ini mengingat  teknik gerakan kaki yang melebar ke kanan, ke  kiri, ke depan, dan ke belakang berlangsung sangat dinamis.

Baik Sri maupun Doris menga­kui hal itu. Meski begitu mereka tak menganggap itu sebagai beban. Maklum, usai liburan Idulfitri, bobot tubuh keduanya melar antara 3 kg - 5 kg. Layak­nya perempuan kota seumumnya, mereka pun merasa panik.

“Namanya perempuan kalau sudah shopping, tahu ukuran bajunya masih S, baru percaya diri,” tutur Sri terkekeh. Pemilik rumah makan di Jalan Yoze Rizal ini mengaku berat badannya kini naik jadi 60 kg. Idealnya di kisaran 55 kg - 57 kg. Berlatih ViPR adalah solusi yang mereka pilih. Meski begitu bukan berarti mereka sekadar untuk menurun­kan berat badan, juga karena ingin hidup sehat. 

“Programnya di fitness sini terarah,” kata Doris. Seperti Mery, mereka juga memanfaatkan jasa  trainer. Alasannya  mereka mengaku  buta tentang berbagai  program yang ada.

Trainer juga punya mata jeli dalam melihat masalah yang dihadapi member. Misalnya mana bagian tubuh saya yang sudah penuh lemak dan perlu diterapi,” ujar Doris.

Bagi Mery, memanfaatkan jasa trainer juga  soal faktor safety saat berlatih. Ia tak mau cidera. Di sisi lain, ia juga mengaku memiliki passion selalu ingin belajar alat-alat fitness yang baru. Belajar teknik dan gerakan-gerakan baru, tapi itu tadi, ia tak ingin mengalami cidera.

“Saat berlatih, saya selalu bilang ke pelatih untuk mengajar pelan-pelan. Biar pelan tapi pasti. Ibarat  bangun pilar rumah, setahap demi setahap namun kokoh jadinya,” katanya. Ia  tak terlalu menyoal risikonya, lama waktu program bisa bertambah. Dus itu artinya, biaya untuk jasa trainer pun tambah bengkak.

()

Baca Juga

Rekomendasi