
Danau vulkanis terbesar se-Asia Tenggara itu kini menjadi lokasi pembuangan sampah dan limbah dari perusahaan yang menjalani sektor bisnisnya di Danau Toba. Program pemerintah dalam konteks pembangunan dan pengembangan kawasan Danau Toba mulai masuk sebagai destinasi Super Prioritas bertaraf internasional. Diawal pencanangannya, pemerintah dengan arahan dan persetujuan Presiden RI Joko Widodo terus menggeliat membangun Danau Toba, salah satunya membentuk Badan Otorita Danau Toba (BODT).
Sebuah Obsesi (meminjam istilah oleh mantan Menko Bidang Kemaritiman Rizal Ramli tentang ambisi pembangunan Danau Toba) membangun kawasan tujuan wisata internasional yang akan menjiplak fungsi, bangun kawasan dan tetek-bengek arsitektural Monaco of Asia. Tahun 2016 awal berdirinya BODT dalam paparan Menko Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan di Jakarta pada tanggal 3 Februari 2018, BODT yang lahir dari gagasan Lake Toba MICE and Tourism dideskripsikan dengan MICE, Resort, Geopark dan Leisure & entertainment dengan existing player yakni Lake Toba Tourism Authority yang beroleh mandat dari Perpres No. 81/2014 tentang pengelolaan tata ruang danau toba dan disambut dengan Perpres No. 49/2016 tentang pembentukan BODT yang menjadi leading sector dalam pengembangan pariwisata Danau Toba. Namun hingga saat ini tiada progres pembangunan yang siknifikan selama beberapa tahun berdiri. Hanya tampak beberapa festival-festival saja yang terselenggara. Parahnya Direktur BODT hanya terus menjadi langganan disetiap seminar dan dialog yang bertemakan pembangunan Danau Toba.
Belum selesai dengan persoalan kerusakan lingkungan yang diakibatkan perusahaan nakal yang terus beroperasi liar seperti ulah PT Aquafarm, PT Allegrindo, Simalem Resort, PT Japfa dan PT Toba Pulp Lestari alias TPL yang dengan sengaja membuang limbah ke Danau Toba, sekarang sudah muncul monster baru yaitu BODT. Dan jika pemerintah tetap berobsesi dengan pengembangan Danau Toba pemerintah seharusnya berani dalam menyikapi perusahaan perusak lingkungan Danau Toba.
Lantas pertanyaan selanjutnya jika pengembangan Danau Toba terus digandrungi oleh pemerintah, termasuk menggandeng investor asing masuk Danau Toba untuk siapa? Dan siapa yang akan menikmatinya?”. Sebelum perusahaan atau investor masuk, Danau Toba sudah dalam kondisi tidak baik-baik saja ditambah dengan adanya aktivitas industri dan segala bentuk tetek bengeknya maka akan memperparah kondisi Danau Toba.
Danau Toba yang seharusnya menjadi investasi bagi masa depan anak cucu kita terkhusus masyarakat di sekitaran Danau Toba, saat ini malah menjadi santapan bagi investor. Awal terbentuknya BODT pemerintah optimis sehingga menggelontorkan dana sekitar Rp. 21 Triliun dengan pembagian rincian Rp. 10 Triliun berasal dari APBN sisanya adalah menggandeng pihak investor untuk masuk menanamkan modalnya dalam pembangunan fisik di kawasan Danau Toba.
Setali dua air, kehadiran BODT semakin memperbesar kesempatan perusahaan untuk berdiri di kawasan Danau Toba, tidak bisa dipungkiri investor hanya bergerak di bidang pariwisata, bisa saja semakin bertambahnya perusahaan perusak lingkungan lainnya dengan dalih akan membuka lapangan pekerjaan seluas luasnya, gawat. Roda pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba terus berjalan dan akan sampai pada titik jenuhnya.
Tapi apakah masyarakat kawasan Danau Toba siap? Mampukah masyarakat menghindar dan mengikuti kencangnya laju perkembangan pembangunan tersebut? Saya rasa tanpa persiapan dan bermodalkan peta dan data statistik mustahil masyarakat akan siap. Masyarakat akan tergilas mengikuti perkembangan kondisi sosial dan ketidakseimbangan alam yang akan menjadi korban monster industri dan pembangunan kawasan Danau Toba.
Investasi dan Penyelamatan Lingkungan
Kawasan Danau Toba yang didominasi Masyarakat lokal orang biasa bilang “Orang Batak” yang saat ini mendiami kawasan tentu tidak akan menarik bagi wisatawan jika tidak ada fasilitas dan hiburan yang ditawarkan didalamnya. Pertanyaannya konsep pariwisata apa yang akan dikembangkan di kawasan Danau Toba?
Merujuk pernyataan Kepala BODT, Arie Prasetyo yang dikutip dari berbagai media nasional, Pemerintah ingin menjadikan Danau Toba sebagai kawasan wisata dengan konsep modern, bahkan ada yang bilang Danau Toba nantinya akan menjelma layaknya kawasan wisata di Monaco dengan fasilitas hiburan, resort, dan lainnya. Ya, tak ayal untuk untuk merealisasikan mimpi Presiden Joko Widodo, Pemerintah melalui lintas sektoral terkait memberikan kemudahan pada akses investasi di bidang ini.
Mau tidak mau, siap tidak siap, masyarakat akan menerima kehadiran semua yang ditawarkan oleh BODT. Masyarakat kawasan Danau Toba yang masih kuat tatanan adatnya harus menyiapkan diri, membentengi tatanan adatnya masing-masing tanpa menghalangi faktor ikut-ikutan dalam pembangunan kawasan tersebut. Satu hal yang penting bahwa Danau toba yang menjadi warisan dunia sudah seharusnya dilindungi, ini sebagai modal investasi masa depan tentang bagaimana ekologi, kehidupan dan kearifan lokal menjadi bekal bagi nilai yang tak sebanding dengan nilai investor yang akan merusak sendi-sendi kehidupan dikawasan Danau Toba.
Meminjam istilah PBB, bumi kita sedang menghadapi "krisis berskala planet" yang menghancurkan ekosistem kita. Meskipun sudah ada kesadaran akan bahayanya, sampah dan limbah hasil industri yang diakibatkan perusahaan perusak lingkungan sudah telanjur di mana-mana.
Fakta menunjukkan saat ini tengah terjadi krisis ekologi yang menunjukkan terjadi perubahan status trofik perairan Danau Toba, dari yang seharusnya oligotrofik berubah menjadi meso hingga eurotrofik. Status trofik perairan Danau Toba, disebabkan adanya peningkatan tumpukan nutrient (phosphor) dan bahan organik tinggi sebagai indikator sebuah perairan dinyatakan telah tercemar. Potensi ketidakseimbangan alam memang sudah bermunculan, tidak ada jaminan bahwa semua itu bisa diantisipasi dengan jumlah jutaan kilogram limbah yang sudah beredar di alam.
Tidak perlu waktu lama bagi tim peneliti dalam menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi BOD (biological oxygen demand) di atas ambang batas. Tingginya BOD ternyata disebabkan oleh aktivitas yang terjadi di in-land (daratan) yakni perumahan, pariwisata, pertanian, peternakan, dan industri yang menghasilkan limbah domestik, pestisida, dan limbah peternakan baik secara langsung ke perairan danau maupun melalui DAS.
Dampaknya menyebabkan ancaman serius terhadap biodiversity di perairan Danau Toba.
Sebuah studi menyimpulkan bahwa lebih dari 80% ikan endemik lokal danau terancam punah. Sangat mengkhawatirkan, (Cocon, Kompasiana, 2018). Tidak hanya menyoroti dan menyimpulkan aktivitas perikanan di KJA dan limbah industri sebagai faktor penyebab tunggal.
Padahal dalam lingkup sebuah ekosistem sangat besar kemungkinan faktor lain juga turut berpengaruh, bahkan bisa saja dampaknya lebih besar.
Masa Depan Danau Toba
Kedatangan Jokowi ke kawasan Danau Toba setidaknya menjadi hiburan dan kebanggaan bagi masyarakat bahwa orang nomor 1 di Indonesia mengunjungi masyarakat lokal di sekitaran Danau Toba.
Ditambah beberapa waktu lalu aksi penaburan bibit ikan, kunjungan ke monumen pusaka adat, dan pembagian sertifikat tanah menjadi plot penting dari sebuah dramaturgi terbaik
Jokowi dalam mengkemas perhatian terhadap Danau Toba, yang menambah daya simpatik masyarakat terhadap salah satu pemimpin terbaik masa kini. Membangun kawasan Danau Toba haruslah diikuti dengan gerakan yang seimbang dalam rangka menyiapkan masyarakat lokal untuk membentengi diri dan tatanan adatnya tanpa terpengaruh oleh promosi pariwisata modern.
Terhadap aspek ekologi, pengembangan pariwisata harus dilakukan secara bertanggungjawab dengan menjamin kualitas lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Maka perencanaan harus betul-betul mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Pembangunan pariwisata tidak bisa dilakukan tanpa mempertimbangkan sektor lain. Dalam pengembangan pariwisata Danau Toba harus memperhatikan potensi konflik yang terjadi.
Oleh karena itu, pembangunan kawasan Danau Toba harus terlebih dahulu dimulai dengan pemberdayaan masyarakat lokal agar mampu berebut porsi pembangunan tanpa merusak tatanan adatnya.
Kualitas manusia yang meningkat merupakan prasyarat utama dalam memenuhi tuntutan masyarakat di kawasan Danau Toba. Alternatif lain dalam strategi pembangunan di kawasan Danau Toba adalah apa yang disebut sebagai people centered development (Kuncoro, 2004) artinya, masyarakat lokal merupakan tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas manusia merupakan sumber daya yang paling penting. Penempatan manusia sebagai objek pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (community empowerment).
Maka, masyarakat Danau Toba harus didorong untuk menjadi pelaku utama dalam pembangunan pariwisata di Danau Toba, sekaligus penikmat hasil pembangunan. Harus ada pembagian peran yang seimbang untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara utuh. Hal ini menunjukkan partisipasi masyarakat dan pembangunan berencana merupakan dua terminologi yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini menegaskan aturan untuk perlindungan masyarakat adat dengan memberikan peranan yang dominan kepada masyarakat adatnya dalam pembangunan suatu kawasan adalah suatu upaya yang akan sia-sia.
Anda bisa membayangkan apa yang terbangun jika suatu kawasan wisata seperti Danau Toba tidak didukung oleh masyarakat lokalnya, hubungan yang terbangun antara wisatawan dan masyarakat adalah hubungan yang saling merugikan atau kebuntungan sosial.
Karena tidak ada sinergisitas dalam peran masyarakat yang ditonjolkan sebagai pelaku pariwisata. Masyarakat akan menjadi penonton di negeri sendiri. ***
Penulis adalah, pengamat lingkungan, Direktur Lembaga Penelitian dan Studi kebijakan Rumah Rakyat Institut dan BPC GMKI Medan masa bakti 2017-2019.