Oleh: Rizki Yulia, S.Tr. Keb
SALAH satu tujuan pernikahan adalah memperoleh keturunan. Tentu saja dalam prosesnya diharapkan ibu dan bayi selamat. Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukan 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Bila dalam setahun jumlah ibu hamil di Indonesia sekitar 4,5-5 juta orang, dengan angka kematian ibu (AKI) 305 per 100.000, berarti setiap tahun ada sekitar 15.250 ibu yang meninggal di Indonesia karena kehamilan atau persalinan. Ini merupakan jumlah yang sangat tinggi.
Kematian ibu dilaporkan meningkat 2-4 kali lipat pada kehamilan usia dini, yaitu kehamilan pada usia kurang dari 20 tahun dibandingkan dengan kehamilan di atas usia 20 tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 mencatat, sekitar 26,16 persen perempuan melahirkan anak pertama pada usia kurang dari 20 tahun. Laporan Kajian Perkawinan Usia Anak di Indonesia (KPUAI) juga menyatakan bayi yang dilahirkan oleh perempuan yang menikah pada usia kurang dari 20 tahun memiliki risiko kematian lebih besar.
Mereka memiliki peluang meninggal dua kali lipat sebelum mencapai usia 1 tahun dibanding anak-anak yang dilahirkan seorang ibu yang telah berusia dua puluh tahun ke atas.
Hukum di Indonesia, tepatnya dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat 1 menetapkan bahwa pria harus mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita harus mencapai umur 16 tahun. Sedangkan definisi anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.
Sehingga pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara siologis dan psikologis untuk bertanggung jawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.
Kalau diperhatikan tentang pelaksanaan pernikahan yang terjadi di masyarakat, masih ditemui pasangan pengantin yang masih relatif muda. Implementasi undang-undang dirasa tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial dan budaya suatu kelompok masyarakat.
Mewujudkan hukum pernikahan di Indonesia dirasakan penting untuk mencegah praktek pernikahan terlampau muda yang sering menimbulkan berbagai akibat negatif. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 26 ayat 1 huruf c menyebutkan, orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak.
Kenyataannya, masih banyak dijumpai anak-anak di bawah usia 15 tahun sudah melakukan pernikahan bahkan mengalami perceraian.
Terasa miris ketika orang tua menikahkan anak perempuannya dianggap sebagai cara cepat meningkatkan perekonomian keluarga. Alasan sosial misalnya masih ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa semakin cepat menikah semakin baik bagi seorang perempuan.
Sedangkan dari sisi budaya, diduga di beberapa daerah di Indonesia khususnya daerah terpencil, menikah di usia sangat muda adalah hal yang umum dilakukan dan bukan tabu, meskipun tidak sesuai dengan ketetapan undang-undang perkawinan.
Pernikahan anak pada dasarnya terjadi karena berbagai macam alasan, kemiskinan, sosial, serta budaya yang sudah ada dalam masyarakat. Namun hal tersebut bukanlah satu-satunya faktor yang harus diperhatikan dalam pernikahan.
Masih banyak hal yang perlu diperhatikan, yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan persalinan pada usia muda yang berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi, gangguan perkembangan kepribadian yang berpengaruh pada anak yang dilahirkan, resiko terhadap kejadian kekerasan dan ketelantaran, serta dampak pada kesejahteraan hidup dalam jangka panjang.
Dibutuhkan kepedulian dan praktik yang tegas untuk menghentikan permasalah pernikahan dini dari seluruh pihak yang terkait. Sosialisasi pentingnya perkawinan di usia yang tepat perlu dilakukan untuk mengatur usia perkawinan khususnya bagi perempuan.
Konseling pranikah merupakan alternatif yang tepat untuk membuat keputusannya agar lebih mantap dan dapat melakukan penyesuaian di kemudian hari secara baik. Konseling dapat dilakukan secara individu maupun kelompok yang bersifat pencegahan dan diarahkan kepada pemberian informasi dalam mempersiapkan pernikahan.
Tujuan akhir yang dapat dicapai dalam alternatif ini adalah membantu individu agar dapat mencapai pemahaman diri tentang kesiapan menikah, mempunyai pandangan luas tentang dirinya dalam hubungannya dengan orang lain, memiliki pemahaman luas terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, memahami masalah dengan baik hingga akhirnya dapat mengambil keputusan yang tepat .
Setelah mendapatkan konseling pranikah, individu setidaknya melakukan persiapan fisik, gizi, dan psikologis. Persiapan fisik di antaranya adalah usia reproduktif sehat yaitu di atas 20 tahun, berat badan yang ideal, usia, status kesehatan reproduksi dan status imunisasi guna mencegah komplikasi saat kehamilan dan persalinan.
Kemudian melakukan persiapan gizi dengan memenuhi gizi yang seimbang. Gizi seimbang sangatlah penting bagi remaja yang beranjak dewasa dan sebelum menikah. Semakin bertambah, usia maka akan semakin banyak pula energi yang kita butuhkan setiap harinya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi, mempersiapkan gizi kehamilan, dan sebagai upaya pencegahan masalah yang mungkin terjadi saat kehamilan, persalinan, dan seterusnya.
Persiapan yang tidak kalah penting adalah persiapan psikologi. Pernikahan adalah proses penyatuan dua orang yang berbeda secara fisik dan psikologis. Laki-laki dan perempuan memiliki keunikan masing-masing sehingga perlu proses adaptasi bagi pasangan untuk bisa saling memahami dan hidup bersama.
Secara psikologi dengan pernikahan diharapkan agar pasangan suami-istri dapat mengetahui, memahami dan memiliki keterampilan hidup dalam menyikapi persoalan pernikahan dari perspektif psikologi.
Pasangan suami istri mampu menjalani pernikahan dengan baik, karena memiliki wawasan dan pengetahuan untuk saling memahami perilaku pasangan, sehingga terwujud keluarga sejahtera dan bahagia. Selain itu, diharapkan pasangan mengetahui cara pengasuhan anak dan perkembangan anak dalam keluarga.
Persiapan saat pranikah akan membawa individu memiliki pandangan ke depan yang terarah sehingga pernikahan tidak rentan dan pasangan suami istri memiliki visi yang sama dalam membangun keluarga. Kesiapan inilah yang diharapkan akan menekan angka pernikahan dini mencegah terjadinya dampak negatif akibat pernikahan dini.
(Penulis saat ini menempuh pendidikan magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (UI), sebelumnya berprofesi sebagai bidan di Rahmadina Center, Tuban, Jawa Timur. Penulis juga merupakan alumnus D III dan D IV Kebidanan di Poltekes Kemenkes Malang.