Oleh: Robert SH MH
Belakangan publik dikagetkan dengan wacana yang dimunculkan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi terkait rencana mengimpor rektor asing untuk memimpin sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia hingga 2024. Berdasarkan informasi yang beredar di media, dikabarkan bahwa presiden telah menyetujui wacana dimaksud. Wacana tersebut menimbulkan polemik dalam masyarakat. Banyak pihak yang pro maupun kontra terhadap wacana tersebut.
Pertimbangan dari pemerintah untuk mendatangkan rektor asing adalah keyakinan pemerintah bahwa rektor asing dapat memajukan peringkat perguruan tinggi di Indonesia, khususnya PTN pada tataran internasional. Adapun peringkat dari PTN yang menjadi target pemerintah adalah 100 besar dunia. Berdasarkan penilaian yang diberikan oleh QS World University Rangkings 2020, hanya terdapat 1 PTN yang masuk ke dalam 300 besar rangking dunia, yakni Universitas Indonesia, tepatnya pada peringkat 296. Universitas Gadjah Mada berada pada peringkat 320, Institut Teknologi Bandung berada pada peringkat 331, Institut Pertanian Bogor berada pada peringkat 601-650 dan Universitas Airlangga masih berada pada peringkat 751-800. (sumber: Tempo.co, Peringkat Universitas Dunia 2020: UI Turun, UGM dan ITB Naik, 22 Juni 2019).
Salah satu contoh yang diangkat oleh pemerintah sebagai bukti kesuksesan dari kepemimpinan seorang rektor asing ialah Nanyang Technological University (NTU), Singapura. NTU yang didirikan pada tahun 1981 dalam kurun waktu 38 tahun dapat menembus peringkat 50 besar dunia setelah dipimpin oleh rektor dan sebagian dosen yang berasal dari Amerika Serikat. Oleh karenanya, pemerintah meyakini bahwa prestasi yang dicapai oleh NTU juga dapat ditiru oleh sejumlah PTN di Indonesia dengan “mengimpor” rektor asing. Mari kita pikirkan sejenak, apakah sebenarnya sistem pendidikan Indonesia memerlukan rektor asing?
Penulis pada prinsipnya tidak setuju dengan wacana mendatangkan rektor asing yang dicanangkan oleh pemerintah dengan 3 (tiga) alasan, yakni faktor regulasi, sarana dan prasarana dan budaya.
Faktor Regulasi
Dalam hal mendatangkan rektor asing, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah regulasi yang mengatur perihal jabatan rektor di Indonesia. Sepengetahuan penulis, seluruh PTN yang telah berstatus Badan Hukum di Indonesia, misalnya Universitas Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Universitas Padjajaran di dalam statutanya yang berbentuk peraturan pemerintah telah mensyaratkan hanya warga negara Indonesia saja yang dapat menjadi rektor pada PTN dimaksud. Bahkan ada beberapa PTN, misalnya saja pada Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro yang memberikan syarat lebih ketat di dalam statutanya terkait persyaratan untuk menjadi rektor, yakni calon rektor harus berstatus sebagai dosen tetap atau dosen pegawai negeri sipil pada universitas tersebut.
Pemerintah tentu saja harus mengkaji terlebih dahulu sejumlah regulasi khususnya statuta PTN terkait syarat jabatan rektor jika bermaksud untuk mendatangkan rektor asing di Indonesia. Faktor regulasi sebenarnya tidak terlalu urgent jika dibandingkan dengan faktor sarana dan prasarana serta faktor budaya. Regulasi merupakan produk hukum dari pemerintah yang dapat direvisi sesuai dengan kondisi serta keperluan negara. Oleh karena itu, jika pemerintah berkeyakinan bahwa usaha untuk mendatangkan rektor asing merupakan hal yang penting guna memajukan pendidikan tinggi Indonesia, maka regulasi-regulasi yang berkaitan dengan jabatan rektor harus direvisi agar tidak terjadi pelanggaran hukum.
Faktor Sarana dan Prasarana
Tidak dipungkiri bahwa peran rektor dalam suatu perguruan tinggi itu penting. Rektor dipercaya sebagai seseorang yang bijaksana baik dari segi ilmu maupun kapasitas dalam memimpin, sehingga kepada dirinya dipercayakan amanah untuk menahkodai suatu universitas. Tapi, rektor sendiri juga tidak akan mampu untuk melaksanakan tugasnya dengan baik apabila tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang bagus di universitas ia mempimpin.
Wacana pemerintah untuk mendatangkan rektor asing dengan mencontoh keberhasilan di negara lain memang bagus dalam tahap konsep, yakni untuk memunculkan persaingan serta meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian PTN pada tingkat internasional. Namun pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah siap untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dapat mengimbangi kinerja rektor asing tersebut kelak? Akan menjadi suatu hal yang mubazir apabila pemerintah telah mendatangkan rektor asing akan tetapi sarana dan prasarana pada PTN yang dipimpin oleh rektor asing tersebut tidak mumpuni. Analogi sederhana dari uraian sebelumnya adalah sebagai berikut: “mau sehebat dan sepiawai apapun seorang pembalap, tidak akan ada artinya jika tidak diimbangi dengan mobil yang bagus”.
Menurut hemat penulis, akan lebih baik jikalau pemerintah fokus untuk membenahi sarana dan prasarana yang ada di PTN, misalnya laboratorium yang bagus, perpustakaan yang up to date, suasana ruang perkuliahan yang kondusif serta sarana dan prasarana lainnya yang bagus guna mendukung proses belajar mengajar dengan mempelajari bagaimana universitas-universitas top dunia melaksanakan pembangunan sarana dan prasarananya. Di samping itu memang perlu dirancang suatu sistem rekrutmen SDM (mahasiswa, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan) yang kompetitif dan transparan sehingga diperoleh SDM yang kualitasnya selaras dengan kualitas sarana dan prasarana yang telah disiapkan. Dengan demikian diharapkan kualitas pendidikan tinggi Indonesia dapat menjadi lebih baik tanpa harus bergantung pada asing.
Faktor Budaya
Indonesia merupakan negara yang plural jika dilihat dari segi agama, etnis, adat dan budaya. Pluralisme ini yang membentuk ciri khas Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Dalam menghadapi masyarakat yang plural, tentu saja teknik dan metode komunikasi yang dilakukan akan berbeda dalam menghadapi masyarakat yang homogen. Apakah pemerintah dapat menjaring rektor asing yang bagus dan memiliki pemahaman yang luas tentang budaya Indonesia?
Rektor pada dasarnya merupakan seorang dosen yang diberikan jabatan tambahan untuk memimpin suatu universitas. Kemampuan manajemen merupakan suatu kemampuan yang wajib dimiliki oleh seorang rektor. Salah satu bagian yang penting dari kemampuan manajemen adalah kemampuan untuk berkomunikasi. Jikalau rektor asing yang dijaring tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang Indonesia dan tidak paham bagaimana cara membawa diri dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang plural, tentu saja itu juga dapat menimbulkan permasalahan yang lain.
Selama ini proses perekrutan rektor pada PTN dilakukan dengan proses bottom up, yakni para calon rektor dijaring dari civitas akademika yang telah memenuhi syarat dan kemudian dipilih pada tingkat Senat Universitas dengan campur tangan pemerintah melalui Menristekdikti. Calon rektor yang berasal dari kalangan civitas akademika tentu saja akan lebih paham bagaimana budaya dan kebutuhan dari PTN yang akan dipimpinnya serta niscaya dapat membangun hubungan yang baik dengan civitas akademika lainnya pada PTN tersebut daripada rektor yang proses rekruitmennya top up, yakni langsung ditunjuk oleh pemerintah dalam hal ini, rektor asing. Faktor budaya menjadi faktor yang penting harus diperhatikan oleh pemerintah dalam hal merealisasikan rekruitmen rektor asing.
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis memegang keyakinan untuk tidak setuju dengan wacana dari pemerintah perihal “impor” rektor asing. Rektor asing tidak menjamin pendidikan tinggi Indonesia akan maju. Jangan sampai pemerintah melakukan blunder dengan menjaring rektor asing yang berstatus sebagai “job seeker” dan menjadikan PTN di Indonesia sebagai wadah percobaan. Kondisi yang demikian malah akan lebih banyak menimbulkan mudharat daripada maslahat dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.
Jika pemerintah menargetkan peringkat PTN Indonesia harus bisa masuk 100 besar, maka logikanya pemerintah harus dapat mendatangkan calon rektor atau “membajak” rektor dari universitas top 100 dunia. Apakah hal tersebut mungkin untuk direalisasikan? Penulis berpendapat hal tesebut mungkin, tetapi bukan hal yang mudah.
Penulis memberikan saran bahwa bukannya lebih bijaksana apabila pemerintah merekrut warga negara Indonesia yang berkemampuan internasional guna menjadi rektor-rektor di PTN? Atau setidaknya menjadi staf pengajar di PTN? Atau menjadi penasihat pada PTN? Pemerintah seharusnya “recall” putra dan putri terbaik Indonesia yang sedang mengajar atau berkarir pada universitas di luar negeri, misalnya, Prof Nelson Tansu atau Prof Nadirsyah Hosen dan masih banyak lagi yang berkarir di luar negeri untuk membagikan ilmu, pengalaman serta jaringannya dalam komunitas pendidikan di luar negeri guna memajukan pendidikan tinggi Indonesia. Jangan kita terjebak dalam pemikiran bahwa “yang impor pasti lebih baik”. Optimis bahwa suatu hari pendidikan tinggi Indonesia pasti maju tanpa harus bergantung kepada asing. ***
Penulis staf pengajar Fakultas Hukum USU dan kandidat Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UI.