
Oleh: Piki Darma Kristian Pardede S.Sos, M.Si
Sejak tahun 2016 Pemerintah Indonesia fokus dalam penataan ruang kawasan Pariwisata Danau Toba, danau yang digandrungi sebagai fokus investasi jangka panjang mulai menarik sektor bisnis. Namun sayang, Danau Toba makin menjadi sektor konflik bagi pemangku kebijakan dan masyarakat yang konon menjadi saksi sejarah pertumbuhan dan perkembangan kawasan Danau Toba.
Pemerintah terus mendorong pembangunan dengan mendatangkan kelompok investor dikawasan “jantung” dari energi pariwisata yang kental dengan adat istiadatnya. Semakin menarik perhatian Danau Toba bak anecdote “Negeri Kepingan Surga” ini menjadi sebuah cover dalam menunjukkan daya tarik dan ambisi pemerintah untuk memperkenalkan Indonesia ke penjuru dunia.
Pemerintah terus melakukan pengembangan agar Danau Toba masuk dalam anggota UNESCO Global Geopark. Hal ini dilakukan dalam mewujudkan obsesi pemerintah menjadikan Danau Toba sebagai destinasi bekelas dunia. Berawal dari mandat Presiden Jokowi melalui Perpres No.81/2014 tentang pengelolaan tata ruang Danau Toba, dan disambut dengan Perpres No. 49/2016 tentang pembentukan Badan Otorita Danau Toba (BODT) yang menjadi leading sector dalam pengembangan pariwisata Danau Toba, seolah-olah menjadi topeng pembangunan dan penataan lokasi wisata serta infrastruktur di kawasan tersebut.
Terkait pengembangan Danau Toba menjadi wisata superprioritas, saya tidak sepakat dengan pemerintah jika keseriusan pemerintah dengan mengucurkan dana sebesar RP 3,5 Triliun, hanya dalam pembangunan fisik semata yang terkesan egois dengan target pada tahun 2020 kawasan Danau Toba menjadi kawasan pariwisata modern.
Bukan memuji kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo yang akan memegang kembali estafet kepemimpinannya. Indonesia telah mencetak prestasi dalam kemajuan ekonomi dan pariwisatanya, ya memang tingkat pertumbuhan kita naik kelas dan masuk dalam kelompok negara ekonomi utama. Tapi sayang perkembangan itu tidak dibarengi dengan pendekatan sitematis dalam perencanaan pembangunan` yang berbasis pada masyarakat dan lingkungan (ekologi), yang kita butuhkan saat ini.
Jika memandang Danau Toba sebagai momen untuk meningkatkan ekonomi dengan menggandeng investor masuk ke Indonesia pemerintah harus lebih berupaya bagaimana menciptakan iklim pertumbuhan ekonomi yang seimbang, yang lebih menghargai manusia dan modal alam, inilah yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi hijau. Dimana masyarakat dengan tatanan sosial yang melekat dengan modal alamnya senantiasa membentuk karakter tersendiri dan butuh pendekatan yang konstruktif. Kehadiran investor jangan menjadi “jebakan” bagi pemerintah dalam pengelolaan kawasan Danau Toba.
Revitalisasi dan Konservasi
Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) diperingati setiap 5 Juni. Setiap tahun, tema atau isu yang diangkat oleh United Nation Environment Program (UNEP) dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia masih seputar pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat dunia. Peringatan hari lingkungan hidup amat penting dimaknai ketika sejumlah negara di dunia masih terus dibayangi ancaman krisis ekologi global. Krisis ini bertambah berat karena tidak diikuti pembangunan yang berciri ekonomi hijau. Ini mendorong persoalan bertambah serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan dan pangan.
Di Sumatera Utara khususnya dalam kawasan pengembangan Danau Toba tantangan perwujudan ekonomi hijau lebih berat lagi di tengah model pembangunan kawasan tersebut, sebagai destinasi superprioritas yang dikembangkan cenderung bersifat ekstraktif terhadap kondisi ekologi. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya Danau Toba yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup rakyat, namun tidak diimbangi oleh upaya konservasi, tampak mulai menampilkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup. Isu perampasan tanah, ekspoitasi hutan dan pembuangan limbah industri (pembuangan sisa pakan ikan KJA, pembuangan limbah industri bubur kertas, pembuangan sisa kotoran peternakan) langsung ke Danau Toba oleh perusahaan asing dan isu-isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan oleh pemerintah.
Bukannya menolak ambisi pemerintah dalam membangun Danau Toba, pertumbuhan ekonomi dari sektor wisata telah menjadi tren dan proyeksi yang sampai saat ini dibangun menyebabkan pesatnya ekspansi industri berbasis sumber daya alam, pariwisata (perhotelan, hiburan dan kuliner) dan energi, sepertinya pemerintah harus adaptif terhadap tantangan yang akan dihadapi nya. Contohnya 7 Kabupaten dikawasan itu yang didominasi oleh masyarakat adat juga memiliki tradisi dan hukum yang pekat dengan unsur tradisional, masyarakat adat di kawasan Danau Toba menjadikan tanah sebagai unsur yang tidak terlepas dari budaya menjadi primadona baru bagi oknum pemangku kebijakan untuk pengembangan sektor bisnis. Semakin lama, masyarakat adat tidak lagi memiliki tanah yang menjadi warisan budaya karena sudah diserobot oleh perusahaan asing yang notabene adalah perusak lingkungan.
Bagi saya pemerintah tidak harus mendorong investor masuk ke kawasan Danau Toba hanya untuk meningkatkan daya jual pariwisata Danau Toba. Kawasan itu yang kental dengan kearifan lokalnya senantiasa harus digenjot dari pemberdayaan masyarakat yang seharusnya menjadi pilar pembangunan ekonomi, dengan pola pendekatan lokal kemasyarakatan.
Saya rasa dengan peningkatan kapasitas masyarakat dan penduduk lokal tidak mustahil mewujudkan masyarakat sebagai sektor utama atau pelaku pengembangan kawasan pasriwisata di Danau Toba. Pemerintah hanya perlu melakukan revitalisasi dalam sektor kebijakan dengan mendorong pemerintah daerah untuk menciptakan iklim kebijakan publik yang konsen kepada hak-hak masyarakat adat dan konservasi lingkungan yang akan mendukung pembangunan.
Tidak sulit untuk mewujudkan mimpi dalam membangun Danau Toba. Meskipun strategi nasional yang menciptakan ekonomi hijau belum dirumuskan, setidaknya Indonesia mampu mengadopsi pertumbuhan ekonomi hijau dalam kerangka aksi pembangunan dan pengembangan kawasan danau toba. Melalui perencanaan tata ruang yang tidak mengesampingkan pendekatan “bentang alam” untuk menyeimbangkan tujuan pengembangan danau toba dengan kelestarian ekosistem.
Pengembangan Ekonomi Hijau
Pengutamaan pengembangan Danau Toba sebagai kawasan ekonomi hijau perlu ditinjau dari aspek kebijakan dan target pengembangan KDT melalui perencanaan tata ruang yang mengedepankan manusia, alam, dan kehidupannya menjadi terminologi yang diharapkan sejalan dengan ambisi pemerintah.
Langkah awal yang harus ditempuh pemerintah adalah menertibkan perusahaan nakal yang terus beroperasi mencemari danau toba seperti PT Aquafarm, PT Allegrindo, Simalem Resort, PT Japfa dan PT Toba Pulp Lestari alias TPL yang dengan sengaja membuang limbah ke Danau Toba. Mengkaji kembali fungsi BODT dan jika pemerintah tetap berobsesi dengan pengembangan Danau Toba pemerintah seharusnya berani dalam menyikapi perusahaan perusak lingkungan kawasan itu.
Strategi pertumbuhan ekonomi hijau akan mengidentifikasi dan menargetkan titik masuk utama untuk pendekatan-pendekatan, metode-metode dan perangkat pertumbuhan ekonomi hijau, khususnya dalam perencanaan tata ruang dan pengambilan keputusan terkait investasi. Kebijakan pengembangan Danau Toba menuju ekonomi hijau perlu diselaraskan dengan tujuan dan kebijakan lain untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut berkontribusi pada tujuan strategis nasional dan regional Indonesia.
Setidaknya ada empat tantangan yang perlu diatasi agar pertumbuhan ekonomi hijau dalam pengembangan KDT berhasil. Pertama, semua rencana yang dibuat untuk sektor dan yuridiksi yang berbeda, harus tetap konsisten dan terkoordinasi dengan baik. Kedua, kapasitas masyarakat yang memadai perlu dibangun dan melengkapi diri dengan lembaga pendidikan yang berfokus pada pariwisata, ketersediaan akses pendalaman budaya dan tradisi lokal dalam menjaga produk budaya yang menjadi daya dorong peningkatan kunjungan wisata, untuk memitigasi dan beradaptasi pada perubahan paradigma pariwisata.
Ketiga, perlu adanya koordinasi secara sistematis di dalam yurisdiksi seperti pengakuan masyarakat adat dan hukum adat dimana ekosistem danau toba disebut sebagai “Home To Batak Tribe”. Lalu yang terakhir, perlu perbaikan tata kelola pemerintahan untuk dalam memerikan izin-izin kepada perusahaan yang berpotensi merusak sumber daya alam dikawasan Danau Toba. ***
Penulis adalah, pengamat lingkungan, Direktur Lembaga Penelitian dan Studi kebijakan Rumah Rakyat Institut.