Spirit Ibadah Haji Pembawa Perubahan

spirit-ibadah-haji-pembawa-perubahan

• Oleh: Islahuddin Panggabean, S.Pd

Haji merupakan rukun Islam yang kelima hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi setiap muslim yang memenuhi syarat. Pembahasan tentang ibadah haji dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Baqarah (ayat 158, 189, 196-203), Ali Imran (ayat 97), al-Ma’idah (1-2, 97) dan surat al-Hajj.

Setiap jamaah haji pasti ingin menggapai predikat haji yang ma­brur. Sebab, balasan terbaik telah disediakan untuk mereka sebagaimana disabdakan Nabi, Haji yang mabrur tiada balasan lain untuknya kecuali surga. (HR Bukhari Muslim). Mabrur sendiri berasal dari kata barra-yabarru yang artinya taat berbakti. Sedangkan haji mabrur sendiri artinya haji yang diterima Allah Swt.

Sejatinya tidak ada definisi yang baku tentang haji mabrur, tetapi indikator dari haji mabrur adalah ketika seseorang yang telah menunaikan ibadah haji, berdampak positif terhadap peningkatan kualitas iba­dah dan akhlaknya dalam kehi­dupan sehari-hari.

Selain peningkatan ibadah per­sonal,indikator mabrurbahwa haji siap menjadi agen perubahan sosial di masyarakatnya. Dengan segala dimensi ukhuwah, sosial, jihad dan pengorbanan dalam ibadah haji, dapat disimpulkan yang mabrur adalah orang yang rela bergerak dan berkorban baik dana, waktu, pemikiran merubah masyarakat ke arah lebih baik.

Haji sebagai agen perubahan bergantung pada spirit yang mendorong seseorang melaksanakan ibadah haji.

Terkait itu, Ayang Utriza Yakin (2015) menuturkan sejarah bahwa di setiap zaman, ada ruh yang men­dorong orang berhaji. Pada abad ke 17 sampai ke 19, orang ber­haji digerakkan oleh ruh atau spirit ke­kuasaan dan keilmuan. Pada ma­sa ini, secara umum, mereka yang ke tanah suci terdiri dari golongan penguasa dan agamawan.

Kesultanan Banten tercatat mengirim dua kali rombongan ke Makkah untuk berhaji dan mendapat gelar sultan. Kesultanan Mataram juga mengirim utusan untuk meminta gelar sultan kepada Syarif Makkah dengan jalan berhaji. Para penguasa kala itu memanfaatkan momentum haji untuk menghubungkan kekuasaan mereka dengan ke­kuasaan dunia Islam.

Penguasa di Nusantara kala itu mau dianggap sebagai wakil imperium Islam yang sangat luas kala itu. Dengan gelar sultan, dianggap telah sah-lah sebagai raja Islam yang dapat restu Syarif Makkah/Turki Usmani.

Golongan kedua yakni ulama atau agamawan. Ulama abad ke 17 yakni Nuruddin Ar-Raniri, Yusuf Al-Makassari, dan Abdurrauf As-Singkili kala itu membangun jaringan keilmuan antara tanah suci dan negeri ini yang kala itu belum bernama Indonesia.

Abad ke-18 pun demikian, Abdussamad Al-Falimbani dan Arsyad Al-Banjari menjadi bukti nya­ta penyebaran ilmu lewat iba­dah haji.

Jaringan Ilmu pun berlanjut ke awal abad ke -19. Umar Nawawi Al-Bantani, Saleh Darat, Ahmad Rifai Assamarani sangat berperan. Jamaah asal Indonesia belajar pada ulama Nusantara yang ada di Mekkah. Sepulangnya ke tanah air, mereka pun menyebarkan agama Islam terutama kitab mazhab Syafi'i.

Pada kurun abad ke 19 dan awal abad ke 20, ruh berhaji rakyat Indonesia (Nusantara) menjadi identitas kebangsaan dan anti penjajahan. Pemerintah Hindia Belanda kala itu, sampai-sampai mempersulit ibadah haji.

Tahun 1859, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan 2 aturan bahwa orang yang mau berhaji harus menunjukkan kemampuan secara ekonomi dan juga harus mengikuti ujian setelah haji.

Kedua aturan itu pun akhirnya nantinya dihapus. Sedangkan pada 1872, pemerintah mewajibkan jamaah haji mendapatkan cap di konsulat Hindia Belanda di Kota Jeddah. Pemerintah kolonial pun mengawasi orang yang telah pulang haji.

Hal itu semua dilatarbelakangi kekhawatiran Hindia Belanda akan spirit anti penjajahan kala itu.

Bagaimana tidak, jamaah haji Nusantara dari daerah berbeda-beda berkumpul di tanah suci berbagi cerita sedih tentang penjajahan.

Apalagi masa itu, sedang hangat gerakan pan-Islamisme yang menentang penjajahan Barat atas negeri-negeri Muslim. Dan Makkah adalah salah satu pusatnya. Tak ayal setelah pulang, para haji membawa fatwa dan pesan melawan penjajahan. Fatwa jihad itu dibawa dan disampaikan ke sultan-sultan yakni Aceh, Banten, Mataram dan Makassar. Fatwa, nasehat, surat-menyurat dan semangat dari para tokoh di Tanah suci yang tersampaikan melalui para hujjaj menjadi salah satu benih kesadaran awal kebangsaan pada akhir abad ke 19 dan awal abad 20.

Kuota haji Indonesia pada tahun 2019 ini mencapai 231.000 orang, yang terdiri dari kuota haji reguler 214.000 orang dan kuota haji khusus sebanyak 17.000 orang. Kuota haji khusus ini terdiri atas kuota jemaah haji khusus sebanyak 15.663 orang dan kuota petugas haji khusus 1.337 orang.

Pertanyaannya, bagaimana ruh atau spirit ibadah haji Indonesia pada masa sekarang ini? Apakah haji sebatas wisatasambil selfie-selfie,sebagaimana Imam Syuraih pernah berkata, "Jamaah haji sejati itu sedikit, sementara orang-orang yang (rekreasi) naik kendaraan itu banyak", atau sebagaiprestise agar disebut pak Haji atau Buk Hajjah, atau sebagai kamuflase sosial menutupi perilaku buruknya?

Oleh karena itulah, Allah menginformasikan bahwa bekal utama dan seharusnya menjadi spirit dalam meraih haji mabrur, yakni takwa. Hal ini sebagaimana firman-Nya, "Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal" (QS al-Baqarah [22]: 197). Ketakwaan itulah yang akan mengandung dan mengundang keberkahan bagi setiap negeri (QS Al-A'raf : 96).

Penutup

Haji 1440 H telah mencapai puncaknya. Seorang yang telah melakukan ibadah haji akan menjadi agen pengubah sejarah dalam sebuah bangsa atau masyarakat sebagai salah satu indikator mabrurnya ibadah. Hal itu akan terlihat setelah pulangnya jamaah haji.

Apakah akan terjadi gelombang perubahan besar di Indonesia atau negeri ini akan begini-begini saja. Itu semua tergantung apa yang menjadi spirit ibadah haji itu sendiri. Wallahua'lam.

()

Baca Juga

Rekomendasi